Pahami Aturan Baru Pemeriksaan Bukti Permulaan

Oleh: Kennedi Gurning, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut dengan UU Cipta Kerja) yang kerap kita dengar dengan nama Omnibus Law, telah berlaku. Dari sekian banyak pasal perubahan Undang-Undang Perpajakan dalam UU Cipta Kerja, beberapa pasal di antaranya terkait dengan aturan penegakan hukum di bidang perpajakan.
Perubahan yang dimaksud adalah Pasal 113 UU Cipta Kerja yang mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan atau disingkat UU KUP. Sebagaimana kita ketahui bahwa salah satu upaya penegakan hukum di bidang perpajakan adalah pemeriksaan bukti permulaan.
Pemeriksaan bukti permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan. Dengan kata lain, pemeriksaan bukti permulaan adalah upaya penegakan hukum sebelum sampai pada tahap penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Pemeriksaan bukti permulaan ini dilakukan oleh para Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang ada di Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Sebelum adanya UU Cipta Kerja, tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 239/PMK.03/2014 (PMK 239 tahun 2014) tanggal 22 Desember 2014 dan mulai berlaku pada 1 Januari 2015. Maka sebagai konsekuensi amandemen pasal-pasal UU KUP dalam UU Cipta Kerja, Menteri Keuangan telah menerbitkan aturan baru sebagai aturan pelaksanaan UU Cipta Kerja di bidang perpajakan.
Aturan tersebut adalah Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut PMK 18 tahun 2021).
Pasal 107 PMK 18 tahun 2021 tersebut membahas mengenai perubahan PMK 239 tahun 2014. Poin-poin perubahan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
- Pemeriksaan bukti permulaan yang dilakukan setelah diterbitkan surat ketetapan pajak hanya dilakukan atas data baru selain yang termuat dalam surat ketetapan pajak (Pasal 2 ayat (5)). Hal ini untuk memberi kepastian hukum bagi wajib pajak yang telah selesai dilakukan pemeriksaan.
- Dalam hal terdapat indikasi pidana, pemeriksaan bukti permulaan dapat dilakukan meskipun telah melewati jangka waktu lima tahun sejak berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, sepanjang belum melampaui daluwarsa penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan (Pasal 2 ayat (6)).
- Jangka waktu perpanjangan pemeriksaan bukti permulaan dari sebelumnya paling lama 24 bulan menjadi paling lama 12 bulan (Pasal 5 ayat (4)).
- Pemeriksa bukti permulaan juga dapat menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara elektronik, dalam hal tidak dapat dilaksanakan secara langsung (Pasal 15 ayat (4)). Hal ini untuk memberikan kemudahan bagi wajib pajak dan menyesuaikan dengan UU Administrasi Pemerintahan. Sebelumnya hal ini belum diatur.
- Menegaskan batasan ruang lingkup tindak pidana di bidang perpajakan yang dapat dilakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan. Wajib pajak yang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka dapat dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya atas tindak pidana tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 atau Pasal 39 ayat (1) huruf c dan huruf d Undang-Undang KUP (Pasal 23 ayat (1)).
- Penghapusan ketentuan bahwa pengungkapan ketidakbenaran perbuatan termasuk atas tindak pidana di bidang perpajakan yang berkaitan dan berbarengan dengan tindak pidana tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar (Pasal 23 ayat (3)).
- Penghapusan ketentuan penghitungan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang dalam format Surat Pemberitahuan sebagai salah satu syarat dalam melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan tindak pidana di bidang perpajakan. Hal ini tentu saja untuk memberikan kemudahan bagi wajib pajak dalam melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan.
- Pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan pembayaran sanksi administrasi berupa denda dalam rangka pengungkapan ketidakbenaran perbuatan tindak pidana di bidang perpajakan merupakan pemulihan kerugian pada pendapatan negara (Pasal 23 ayat (5a)) dan diperhitungkan sebagai pengurang kerugian pada pendapatan negara pada tahap penyidikan (Pasal 25 ayat (1)).
- Dalam hal pemeriksaan bukti permulaan ditindaklanjuti dengan penyidikan, pembayaran atas pengungkapan ketidakbenaran perbuatan tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat dipindahbukukan atau diminta kembali oleh wajib pajak (Pasal 25 ayat (3)).
- Penghapusan ketentuan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pasal 13A Undang-Undang KUP sebagai salah satu tindak lanjut hasil pemeriksaan bukti permulaan (Pasal 30 ayat (1)).
Poin-poin perubahan tersebut merupakan perubahan di luar perubahan yang paling pokok yakni penurunan tarif sanksi administrasi berupa denda sebagai syarat pengungkapan ketidakbenaran perbuatan dari 150% menjadi 100 % sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) UU KUP s.t.d.t.d. UU Cipta Kerja.
Jika diperhatikan, semua perubahan itu pada dasarnya mengarah pada meningkatkan kepastian hukum, menambah kemudahan bagi wajib pajak, dan meningkatkan rasa keadilan bagi wajib pajak. Dengan demikian, perubahan tersebut diharapkan dapat meningkatkan kesadaran atau kepatuhan suka rela wajib pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakan sehingga iklim usaha dapat berlangsung kondusif dan ekonomi bisa bangkit kembali.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja
- 913 kali dilihat