Oleh: Grace Sicilia Muchtar, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Tadi malam saya akhirnya memberanikan diri untuk menonton Siksa Kubur. Film garapan tangan dingin Joko Anwar, dengan genre horor yang sedang hype sejak tayang 11 April 2024 ini sukses menggelitik rasa penasaran masyarakat untuk bergegas bertandang ke gedung layar lebar, termasuk saya. Saya yang biasanya solo fighter setiap kali ke teater, mau tidak mau akhirnya mengajak teman untuk menonton bersama-sama setelah mendengar kabar tentang betapa menakutkannya film ini. Yah, biar ada yang menemani saya "disiksa" teror horornya.

Benar saja, dari menit-menit awal, kesan horornya sudah sangat mencekam. Bahkan di scene daylight sekalipun, penonton dibuat tidak tenang karena alurnya yang sulit ditebak. Banyaknya adegan jumpscare dengan music score yang intense, juga sangat mengaduk-aduk anxiety penonton. Dan gongnya ada di 10 menit terakhir filmnya. Saya pribadi sampai sesak nafas sangking takutnya. Ini bukan hanya tentang ketakutan terhadap hantu, tetapi tentang psikologi manusia yang diombang-ambing oleh iman dan ketakutannya sendiri.

Di akhir filmnya, saya yang non-Muslim ini, ikutan membasahi bibir dengan ucapan istigfar, "Astagfirullah rabbal baraya. Astagfirullah minal khataya!"

Sekali lagi sutradara Joko Anwar mampu membangkitkan dunia genre horor di Indonesia, usai kemunculan Pengabdi Setan dan Pengabdi Setan 2, Perempuan Tanah Jahanam (sebagai sutradara), serta Ratu Ilmu Hitam (sebagai penulis skenario). Genre film horor di Indonesia seperti mengalami revolusi. Entah kenapa, mengalami ketakutan berjamaah merupakan hiburan tersendiri. Hingga tulisan ini dibuat, sudah tiga juta lebih pemirsa yang rela diteror Siksa Kubur. Dan perlu dicatat pula, periode tayang film ini hampir bersamaan dengan film genre horor lainnya, Badarawuhi di Desa Penari. Keduanya masih tengah diputar di layar lebar. Bangkitnya dunia perfilman Indonesia ini tentu saja akan diikuti oleh bangkitnya industri ekonomi kreatif di tengah-tengah era industri 4.0. Tetapi tahukah kita, kalau ternyata Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga ikut berkontribusi dalam proses kebangkitan industri ekonomi kreatif di Indonesia?

Aspek Pajak

Berdasarkan Pasal 4A ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Ciptaker), menyatakan bahwa jasa kesenian dan hiburan merupakan salah satu jasa yang tidak dikenakan PPN.

Adapun, kriteria dan perincian mengenai jasa kesenian dan hiburan yang tidak dikenai PPN diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2022 tentang Kriteria dan/atau Rincian Makanan dan Minuman, Jasa Kesenian dan Hiburan, Jasa Perhotelan, Jasa Penyediaan Tempat Parkir, serta Jasa Boga atau Katering, yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai. Salah satunya adalah menonton film di bioskop. Pengecualian pengenaan PPN atas harga tiket masuk (HTM) bioskop merupakan salah satu upaya DJP untuk meningkatkan animo masyarakat mendukung dunia perfilman Indonesia. Diharapkan, "insentif" ini mampu menopang penghasilan para pekerja seni dan hiburan di tanah air. 

Pengecualian PPN atas HTM bioskop juga merupakan upaya DJP untuk menghindari ketentuan pengenaan pajak berganda karena jasa kesenian dan hiburan sendiri merupakan objek Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Merujuk Pasal 55 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), terdapat beberapa jenis jasa kesenian dan hiburan. HTM bioskop sendiri dikenakan pajak sebesar 10 persen. Hal inilah yang membuat HTM bioskop tetap terjangkau oleh masyarakat luas. HTM bioskop yang terjangkau tentu saja berimplikasi pada kebangkitan industri ekonomi kreatif pada khususnya dan pariwisata pada umumnya.

Jadi, tunggu apa lagi. Mari kita ramaikan bioskop di sekitar kita dan jangan lupa, “Say no to bajakan!”

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.