Oleh: Putu Panji Bang Kusuma Jayamahe, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Pernahkah dompet kalian terasa penuh sesak namun bukan dikarenakan lembaran atau kepingan uang yang berlebih? Jika kalian pernah merasakan hal tersebut, mungkin salah satu penyebabnya adalah karena terlalu banyak kartu identitas yang terselip di dalamnya. Seberapa banyak nomor atau kartu identitas yang biasanya kalian miliki dan simpan?

Tidak dapat dimungkiri bahwa salah satu kelemahan Indonesia dibandingkan dengan negara-negara maju di berbagai belahan dunia adalah dalam ranah administrasi pelayanan publik. Salah satu hal dasar terkait administrasi pelayanan publik adalah nomor atau kartu identitas pelayanan publik.

Di Indonesia kita mengenal berbagai macam nomor atau kartu identitas yang satu sama lain terkadang tidak terintegrasi. Masyarakat umum di Indonesia setidaknya memiliki empat nomor identitas pelayanan publik mulai dari Nomor Induk Kependudukan (NIK), Nomor Surat Izin Mengemudi (SIM), Nomor Keanggotaan Jaminan Sosial (Kartu BPJS), dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Nomor identitas akan bertambah lagi apabila beberapa instansi memberikan pelayanan publik sekaligus nomor atau kartu identitas baru.

Seiring berjalannya waktu, penyederhanaan nomor identitas pelayanan publik masih belum tampak. Menerapkan Nomor Identitas Tunggal sebagaimana telah diterapkan oleh beberapa negara maju di dunia seakan hanya angan-angan belaka. Berbagai wacana terkait hal tersebut tak kunjung terealisasi. Bukannya semakin sedikit dan sederhana, justru jumlah nomor identitas pelayanan publik semakin hari semakin banyak jumlahnya sesuai dengan bertambahnya jenis pelayanan publik yang diberikan pemerintah.

Dampak dari hal itu adalah masyarakat akan memiliki banyak nomor identitas sehingga efektivitas dari kegunaan masing-masing nomor identitas menjadi berkurang. Beberapa di antaranya akan terbuang percuma apabila masyarakat merasa sudah mendapatkan pelayanan dan fasilitas yang diinginkan.

Di sisi lain, pengadaan nomor identitas dalam bentuk kartu juga memakan anggaran negara yang tidak sedikit. Padahal perkembangan dunia yang berbasis teknologi dan informasi sedang berlangsung dengan sangat pesat. Hal tersebut mengakibatkan digitalisasi informasi terutama di ranah pelayanan publik menjadi sebuah keharusan.

Peleburan NIK-NPWP

Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang diajukan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan telah disetujui oleh DPR. UU HPP tersebut merupakan bagian tidak terpisahkan dari reformasi perpajakan yang sedang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Reformasi perpajakan tersebut dilakukan untuk mendukung upaya percepatan pemulihan ekonomi di masa pandemi dan peningkatan penerimaan pajak untuk pembangunan nasional melalui penataan ulang sistem perpajakan yang lebih kuat.

Selain itu, situasi pandemi saat ini dan perubahan dinamika di masa depan juga harus terus diantisipasi. Reformasi perpajakan juga merupakan implementasi dari perilaku utama Kementerian Keuangan yaitu senantiasa melakukan perbaikan terus-menerus untuk mencapai kesempurnaan.

Sebagai bagian dari strategi reformasi perpajakan, UU HPP juga akan mendorong peningkatan kepatuhan sukarela dengan memperkuat sistem administrasi pengawasan dan pemungutan perpajakan, serta memberikan kepastian hukum perpajakan.

Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, asas dari peraturan perpajakan yang ingin dibangun di dalam UU HPP adalah perpajakan harus menimbulkan keadilan, kesederhanaan, efisiensi, kepastian hukum, kemanfaatan, dan kepentingan nasional.

Salah satu langkah besar yang dipilih adalah dengan menggunakan NIK yang terdapat pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai NPWP Orang Pribadi. Adapun alasan utama pemerintah menggunakan NIK sebagai NPWP adalah karena terdapat irisan data yang sangat besar antara NIK dan NPWP.

Orang yang memiliki NPWP sudah pasti memiliki NIK, begitu pula jika orang tersebut sudah bekerja dan berpenghasilan, maka dapat dipastikan juga memiliki NPWP. Sejauh ini masih banyak masyarakat yang sudah memasuki usia kerja namun belum memiliki NPWP.

Hal tersebut sejalan dengan apa yang disampaikan Suryo Utomo selaku Direktur Jenderal Pajak bahwa NIK ini lebih umum daripada NPWP karena seluruh penduduk yang usianya di atas 18 tahun pasti memiliki KTP yang di dalamnya tertera NIK. Sementara NPWP belum dimiliki seluruh penduduk Indonesia.

Penggunaan NIK sebagai NPWP Orang Pribadi juga secara tegas didukung oleh Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil), Kementerian Dalam Negeri sebagai mitra kerja DJP dan Kementerian Keuangan. Selama ini Ditjen Dukcapil telah bekerja sama dengan DJP yaitu dengan memberikan akses data NIK. Menurut Direktur Dukcapil Zudan Arif Fakrulloh, seluruh penduduk Indonesia sekitar 272 juta orang sudah memiliki NIK yang bisa langsung dieksekusi oleh DJP.

Zudan juga mengungkapkan bahwa telah ada payung hukum pelaksanaan kebijakan ini. Landasannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. Dalam Pasal 64 ayat (3) undang-undang tersebut menyebutkan untuk menyelenggarakan semua pelayanan publik, pemerintah melakukan integrasi nomor identitas yang telah ada dan digunakan untuk pelayanan publik paling lambat lima tahun sejak diundangkan.

Terbukanya Peluang Single Identity Number

Nomor Identitas Tunggal atau Single Identity Number merupakan tahapan puncak dari kesederhanaan birokrasi dan pelayanan publik. Beberapa negara maju telah menerapkan Nomor Identitas Tunggal tersebut dengan berbagai sebutan.

Saat ini dengan banyaknya nomor indentitas yang dimiliki oleh seseorang seringkali berdampak pada berbelitnya sistem administrasi publik. Untuk mendapatkan suatu pelayanan atau fasilitas publik tertentu, masyarakat terkadang harus berulang kali mengisi data pribadi yang sama untuk mendapatkan nomor identitas. Hal tersebut mengakibatkan seringkali tingkat validitas dari data pada masing-masing nomor identitas berbeda. Hal ini berujung pada kecepatan dan ketepatan pelayanan publik untuk masyarakat semakin terhambat.

Nomor Identitas Tunggal akan menjelma menjadi satu nomor identitas yang terintegrasi dengan semua sistem publik yang dimiliki oleh instansi pemerintah. Hal ini tentunya akan meningkatkan kesederhanaan dan efektivitas dari administrasi pelayanan publik itu sendiri. Masyarakat akan dimudahkan dengan tidak perlu mengisi data yang sama secara berulang hanya untuk mendapatkan nomor identitas dalam pelayanan publik tertentu.

Selain itu, penerapan Nomor Identitas Tunggal juga dapat menjamin integritas dan akurasi data kependudukan, serta mengintegrasikan seluruh data baik data pribadi, maupun data keuangan. Harapan lain dari penerapan Nomor Identitas Tunggal adalah untuk meningkatkan penerimaan pajak dan pencegahan korupsi.

Secara umum ada beberapa kelebihan jika Indonesia menerapkan Nomor Identitas Tunggal yaitu:

  • Unik, tidak ada banyak identitas;
  • Terstandarisasi, struktur dari nomor identitas secara nasional akan sama;
  • Lengkap, mencakup data yang lebih lengkap jika dibandingkan dengan nomor identitas dalam jumlah banyak;
  • Permanen, tidak mudah berubah-ubah;
  • Terintegrasi dengan berbagai sistem.

Penggunaan Nomor Identitas Tunggal oleh suatu negara tentu bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan koordinasi dan sinergi antar instansi dan lembaga pemerintah untuk mewujudkan hal tersebut. Selain itu, tingkat keamanan nomor identitas tersebut juga sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah.

Namun demikian, dengan menggunakan NIK sebagai NPWP oleh DJP maka peluang untuk terciptanya Nomor Identitas Tunggal kian terbuka.

 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.