Natuna: Antara Kedaulatan Negara dan Kita

Oleh: Dani Rahmat, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Pemberitaan terkait Laut Natuna belakangan ini, cukup mengundang banyak perhatian dan perbincangan di media sosial. Ia dapat dipandang sebagai suatu hal yang menggugah sentimen kebangsaan kita. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata “sentimen” dengan suatu keterangan sifat yang “berlebihan” dan berkesan negatif. Maka dalam konteks ini, kiranya kata “sentimen” diartikan sebagai kesadaran keterikatan dalam berbangsa yang tak terlepaskan dari ikatan sebuah bangunan negara. Maka “Kedaulatan NKRI” dapat menjadi terminologi yang relevan sebagai “tema dasar” dalam pembicaraan tentang Natuna belakangan ini.
Dengan mengutip teori “kontrak sosial” yang dikemukakan J.J. Rousseau sebagai alasan berdirinya suatu negara, Prof. Hamka menuturkan bahwa konsepsi negara dipandang termasuk ke dalam perwujudan dari perjanjian/perikatan (‘uqud) di antara segala warga dalam negara itu. (lihat Tafsir Al Azhar, jilid 2/hal. 583.) Jauh sebelumnya, J.J. Rousseau (sebagaimana dikutip Aminoto dalam buku Ilmu Negara (Tangerang: Universitas Terbuka, 2016) mengemukakan teori yang menyatakan bahwa negara sebagai organisasi yang timbul atas perjanjian masyarakat atau kelompok sosial di mana hak-hak rakyat diserahkan kepada penguasa guna melindungi hak-hak rakyat itu sendiri. (hal. 2.6)
Masih dalam bahasan konsepsi negara, A.M. Hendropriyono, dalam bukunya, berjudul Filsafat Intelijen Negara Republik Indonesia, (2013), mengatakan bahwa “negara” secara imajiner bukan sekadar makhluk politik, melainkan juga sebagai makhluk kultural, yang bersendikan pada nilai atau prinsip hidup bersama secara berkeadaban. Selanjutnya dikatakan juga bahwa “negara” adalah entitas politik yang memiliki teritorial (berhubungan dengan “state”) dan harus dipertahankan—yang kalau perlu sampai dengan menggunakan kekuatan fisik atau kekuatan militer. Adapun istilah “nasional” adalah entitas kultural yang lebih luas dari sekadar teritorial fisik. (hal. 5 &10).
Maka dengan demikian, untuk menjaga kedaulatan dan mempertahankan entitas politik yang memiliki teritorial, serta melaksanakan pembangunan nasional sebagai entitas kultural sebuah bangsa (baca: memenuhi kebutuhan asasi rakyat), sebuah negara memerlukan perangkat yang hadir karena adanya dukungan kontribusi rakyat sebagai bagian darinya yang kemudian dirumuskan dalam suatu hukum yang mengikat.
Kiranya, konsep ini yang dimaksud Hans Kelsen yang menyebutkan bahwa negara adalah suatu susunan pergaulan hidup bersama dengan tata paksa (Aminoto. Ilmu Negara (Tangerang: Universitas Terbuka, 2016), hal. 1.3.). Hal ini sejalan dengan perspektif Michael Haas yang mengemukakan bahwa hak konstitusional masyarakat mensyaratkan kewajiban. (Fatmawati. Hukum Tata Usaha Negara (Tangerang: Universitas Terbuka, 2014), hal. 4.16.)
Karena yuridiksi pemajakan di Indonesia merupakan salah satu atribut kedaulatan negara, maka kemudian diatur secara tersurat dalam UUD 1945. Rumusan “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang” sebagaimana tertuang dalam Pasal 23A UUD 1945 mengandung arti bahwa pemungutan pajak beserta konsekuensi hukumnya yang akan dilakukan pemerintah sebagai pelaksana kewenangan negara sudah mendapatkan persetujuan dari rakyat pembayar pajak melalui representasi wakilnya di parlemen.
Dari uraian tersebut, kita dapat menarik suatu Raison d’etre atau reason for being (justifikasi, legitimasi, pembenaran) akan eksistensi yuridiksi pemajakan dalam suatu negara adalah karena ia merupakan salah satu atribut kedaulatan negara (sebagai perwujudan dari perjanjian yang dibuat oleh rakyat/bangsanya) untuk mengurus kepentingan bersama yang tidak dilakukan sektor privat dalam mewujudkan tujuan pendirian negara tersebut serta penjaminan atas eksistensi negara itu sendiri.
Selanjutnya, Yos Johan Utama, dalam buku Hukum Administrasi Negara (Tangerang: Universitas Terbuka, 2017) mengatakan bahwa fungsi negara sebagai pengelola kesejahteraan warga negara (bestuurszorg) mengharuskan negara memasuki ranah kehidupan privat warganya sehingga negara memberlakukan sistem administrasi. Masuknya administrasi negara ke dalam kehidupan privat ini bertujuan untuk menjalankan fungsi bestuurszorg tersebut (hal. 1.3.)
Dalam perspektif keagamaan, dalam Islam misalnya, di awal QS. Al Maidah, ayat 1. Dalam Tafsir Al Azhar, dijelaskan bahwa kata ‘uqud (الۡعُقُوۡدِ) adalah bentuk jamak dari ’aqd atau “akad” yang memiliki arti yang lebih luas daripada “janji” (perjanjian.) Sejalan dengan itu, Prof. Hamka menafsirkan “undang-undang” dan “perjanjian internasional” sebagai salah satu bentuk dari ‘uqud atau perjanjian yang harus ditepati.
Selanjutnya Prof. Hamka menegaskan bahwa QS. Al Maidah ayat 1 ini menunjukkan bahwa segala macam akad atau ‘uqud: janji dan kontrak, agreement, dan sebagainya (termasuk di dalamnya konstitusi dan undang-undang; pen.) diakui oleh Islam dan wajib diteguhi dan dipenuhi.
Dikatakan pula bahwa jika seseorang (mukmin) memungkiri janjinya dengan diri sendiri atau pun dengan sesama manusia, keluarlah dia dari golongan yang beriman. Dengan kalimat lain, si pelanggar telah melepaskan diri dari ciri-ciri orang yang beriman. (lihat Tafsir Al Azhar, jilid 2 / hal. 583 – 585.)
Salah satu instrumen negara yang bersifat “memaksa” dalam rangka pelaksanaan fungsi negara sesuai kontrak sosial dengan warga negaranya adalah “pajak.” Keberpihakan pajak tercermin dalam definisi “pajak”—yang menurut Prof. Gunadi sebagai rumusan konseptual abstrak akademis—sebagai “kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” (Pasal 1 angka 1 Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.)
Sejatinya, pajak sebagai “pungutan paksa” yang dilakukan oleh negara dimaksudkan untuk memenuhi hak-hak warga negara. Namun demikian, “pajak” jangan diartikan hanya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) sebagai pajak yang melekat pada kepemilikan hak atas benda atau manfaat, bukan pula Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dipungut pihak lain. Jenis pajak yang relevan dalam hubungannya dengan kesadaran berbangsa tidak lain dan tidak bukan adalah Pajak Penghasilan (PPh) karena sistem pemungutannya yang mensyaratkan demikian.
Ken Dwijugeasteadi (2016) mengatakan bahwa penerapan Self Assessment System berdasar pada kepatuhan sukarela yang aktivitasnya berpusat kepada pembayar pajak sehingga tercapai keseimbangan hak dan kewajiban negara dan warganya sesuai dengan alam demokrasi modern dengan penghormatan pada hak pembayar pajak.
Keberpihakan pada pajak adalah bukti patriotisme, kecintaan tanah air, dan wujud nyata bela negara di era sekarang ini. Seharusnya tergugahnya sentimen kebangsaan dalam “Kasus Natuna” tersebut menyebabkan tergugah pula kepatuhan sukarela, kesadaran pajak , kejujuran wajib pajak , hasrat membayar pajak , disiplin pajak, moral dan etika wajib pajak, dan kemauan melakukan kepatuhan secara sukarela dalam sistem perpajakan sebagai asumsi dasar dalam keberhasilan Self Assessment System.
Bulan Maret dan April dikenal sebagai “bulan lapor pajak.” Menjelang bulan tersebut, semoga, ingatan akan “Natuna” menjadikan semua anak bangsa lebih tergugah untuk secara jujur dan patuh dalam bergotong-royong memenuhi hak dan kewajiban perpajakannya (baca: PPh). Ujungnya, kehormatan, kedaulatan, dan muruah NKRI tetap terpelihara di mata dunia. Semoga.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 881 kali dilihat