Menyigi Proposal OECD dalam Pemajakan Ekonomi Digital

Oleh: T. Qivi Hady Daholi, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Tiga puluh sembilan tahun yang lalu, pada tanggal 9 Oktober, nasabah United American Bank dapat mengakses layanan perbankan melalui komputer di rumah untuk pertama kalinya. Kejadian yang menjadi tonggak sejarah layanan perbankan digital ini terjadi di Knoxville, sebuah kota di Amerika Serikat. Di tanggal sama di tahun 2019, sejarah kembali terulang. Sebuah proposal tentang mekanisme pemajakan ekonomi digital dengan pendekatan terpadu (unified approach), diterbitkan oleh OECD untuk pertama kalinya. Segala perdebatan tentang cara pemajakan yang adil bagi bisnis digital, dan penantian akan suatu konsensus dalam pemajakannya akhirnya menemukan titik terang. Meskipun proposal ini “hanya” bersifat usulan, rentan mengalami perubahan, dan membuka peluang untuk diberikan saran, tetap saja dokumen ini telah memberikan suatu terobosan. Namun kini masih tersisa pertanyaan, terutama untuk kita, Indonesia. Bila proposal ini benar benar disepakati nantinya, akankah kita mendapatkan alokasi pajak yang lebih?
Dampak Disrupsi Digitalisasi Bisnis di Sektor Pajak
Sudah banyak media yang memberitakan bahwa para raksasa e-commerce seperti Google, Amazon, Facebook, Apple, dan sejenisnya mampu menghindar dari kewajiban membayar pajak di yurisdiksi tempat mereka beroperasi. Adanya fitur bisnis digital yang mampu menghasilkan pendapatan tanpa kehadiran fisik (physical presence) di negara sumber penghasilan telah mendisrupsi sistem perpajakan baik domestik maupun global. Secara singkat, dalam transaksi digital, kehadiran fisik tidak lagi relevan. Sebaliknya, hukum dan sistem perpajakan yang berlaku masih dilandasi pemikiran bahwa keberadaan fisik diperlukan dalam berbisnis. Konsekuensinya, eksistensi kehadiran fisik menjadi relevan bagi otoritas pajak sebagai basis untuk memajaki para pelaku usaha.
Kondisi tersebut telah menimbulkan tantangan tersendiri bagi otoritas pajak dimana pun di dunia. Oleh sebab itu, mutlak diperlukan suatu pendekatan revolusioner, untuk meninjau kembali sekaligus mengubah sistem perpajakan secara global agar mampu menangkap potensi pajak dari transaksi bisnis digital yang kian menjadi tren.
The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) telah mencoba menjawab tantangan ini dengan meluncurkan lima belas rencana aksi yang terkenal dengan Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action Plan di tahun 2015. Kesemuanya ditujukan untuk mengatasi penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional, terutama aksi penghindaran oleh para raksasa digital. Bahkan, satu buah rencana aksi dikhususkan untuk membahas bagaimana cara menghadapi tantangan yang timbul akibat pesatnya pertumbuhan ekonomi digital. Berbagai pertemuan telah dilakukan oleh OECD, pimpinan negara G-20, serta negara yang tergabung dalam Inclussive Framework on BEPS. Beberapa kesepakatan telah dicapai, yang intinya diperlukan suatu konsensus global untuk menghadapi tantangan perpajakan akibat meluasnya digitalisasi bisnis. Setelah menelaah dan membahas berbagai macam proposal, akhirnya disepakati perlunya dua pilar utama yang akan dijadikan pondasi dalam memajaki bisnis digital.
Pilar Pertama, berfokus pada bagaimana seharusnya hak pemajakan atas penghasilan dari aktivitas bisnis di era digital dialokasikan ke tiap yurisdiksi. Pilar ini memperkenalkan pendekatan baru untuk mengalokasikan hak pemajakan, yaitu dengan mempertimbangkan jumlah partisipasi pengguna (user participation), harta tidak berwujud terkait fungsi pemasaran (marketing intangible), dan eksistensi kegiatan ekonomi yang signifikan (significant economic presence). Sedangkan Pilar Kedua menyuguhkan proposal GloBE (Global anti-Base Erosion) yang berfokus pada isu penghindaran pajak lainnya dan pengembangan aturan terkait pengenaan tarif pajak minimum. Kesepakatan internasional terkait Dua Pilar ini telah mereformasi lanskap perpajakan secara global. Contohnya, dengan Pilar Pertama suatu yurisdiksi akan dapat memajaki penghasilan dari transaksi digital, meskipun tidak terdapat kehadiran fisik dari perusahaan yang melakukan transaksi tersebut.
Sekilas Proposal Pendekatan Terpadu OECD
Menindaklanjuti kesepakatan akan Pilar Pertama, OECD melalui sekretariatnya mengeluarkan proposal pemajakan bisnis digital yang terpadu1[1]. Selain itu, OECD juga meminta masukan dan komentar dari berbagai pihak, baik otoritas pajak maupun komunitas internasional untuk menyempurnakan proposal tersebut.
Dalam proposal ini, setidaknya terdapat dua pendekatan yang mengubah total “wajah” perpajakan internasional. Pertama, pengenalan neksus baru dalam pemajakan digital, yang tak lagi bergantung pada kehadiran fisik, tetapi lebih kepada besaran nilai penjualan. Dengan pendekatan ini, dapat dipastikan semua yurisdiksi akan mendapatkan jatah pembayaran pajak dari para raksasa digital sepanjang nilai penjualannya memenuhi batasan (threshold) yang disepakati.
Kedua, pengenalan kaidah baru dalam pengalokasian penghasilan. Pendekatan ini berupa penggabungan aplikasi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principle) dan penggunaan formula tertentu yang akan disepakati kemudian, untuk menghitung besaran alokasi penghasilan ke tiap yurisdiksi. Dengan adanya pendekatan kedua, kehadiran fisik di yurisdiksi tempat para pelaku e-commerce menjadi tidak relevan lagi.
Untuk menjamin kepastian bagi wajib pajak dan otoritas pajak, proposal ini juga menyediakan mekanisme untuk membagi penghasilan menjadi tiga level. Level pertama, disebut dengan jumlah A (Amount A), merupakan jumlah laba yang tersisa (residual profit) setelah alokasi laba rutin (routine profit) ke yurisdiksi dimana aktivitas bisnis tersebut dilakukan. Jumlah laba tersisa ini disebut juga dengan laba non-rutin (non-routine profit). Metode penentuan laba non-rutin serta formulasi alokasi ke tiap Negara akan dibahas lebih lanjut oleh anggota Inclussive Framework. Satu hal yang patut dicatat, metode pengalokasian laba non-rutin ini tidak akan dan tidak mungkin menggunakan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.
Level kedua, disebut dengan jumlah B (amount B), merupakan jumlah yang dipajaki berdasarkan norma perpajakan yang berlaku, seperti penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Namun, proposal ini memunculkan adanya kemungkinan pemberian remunerasi dengan persentase yang pasti (fixed remuneration) untuk kegiatan distribusi atau pemasaran yang bersifat rutin di tiap yurisdiksi. Hal ini dilakukan untuk mengurangi sengketa dalam penentuan jumlah di level ini.
Level ketiga, disebut juga dengan jumlah C (amount C), merupakan penghasilan tambahan yang dialokasikan ke yurisdiksi dimana terdapat aktivitas non-rutin melebihi kegiatan rutin yang telah dipajaki di jumlah B. Penentuan jumlah C juga harus berdasarkan penerapan prinsip kewajara dan kelaziman usaha. Untuk mencegah dan mengurangi sengketa, OECD menekankan diperlukannya pendekatan khusus dalam penyelesaian sengketa ketika menentukan jumlah C.
Jika Proposal Pendekatan Terpadu Diterapkan
Dalam studi yang dilakukan oleh Google, Temasek, bersama Bain&Co, diketahui ukuran ekonomi digital Indonesia telah mencapai $40 miliar di tahun 2019. Terbesar se-Asia Tenggara. Dengan pertumbuhan rata-rata yang mencapai 49% per tahun, diprediksi nilai ekonomi digital Indonesia akan menjadi $130 miliar di tahun 2025. Sebuah potensi pasar yang luar biasa. Oleh karena itu, Indonesia akan “berhajat” terhadap kesepakatan internasional terkait pemajakan bisnis digital agar tercipta pembagian pajak yang adil sekaligus minim sengketa.
Proposal pendekatan terpadu ini merupakan sebuah langkah OECD yang patut diapresiasi. OECD, sekali lagi, memberikan terobosan yang bahkan seakan “menabrak” prinsip kewajaran dan kelaziman usaha yang selama ini mereka gaungkan. Walaupun demikian, penulis memiliki sedikitnya dua catatan terhadap pendekatan ini, terutama jika dikaitkan dengan porsi yang bisa jadi, akan diperoleh Indonesia.
Pertama, penentuan besaran jumlah A sangat bergantung pada pendefinisian penghasilan rutin dan non rutin. Persentase tertentu dari total penghasilan akan dianggap sebagai laba rutin. Sisanya, akan dianggap sebagai laba non-rutin, yang akan dibagi ke seluruh yurisdiksi tempat perusahaan digital beroperasi. Konsekuensinya, semakin besar persentase yang dianggap sebagai kegiatan rutin, akan semakin kecil porsi Jumlah A, yang berarti akan semakin sedikit porsi bagi negara tempat kegiatan bisnis digital dilakukan. Sebagai negara dengan potensi pasar e-commerce yang sangat besar, Indonesia, bersama yurisdiksi dengan karakter serupa seperti India, Brazil, atau Cina, tentu layak mendapatkan porsi yang lebih dari total penghasilan atau dari jumlah A. Oleh sebab itu, kepentingan Indonesia untuk memproteksi hak pemajakannya sangat perlu untuk diperjuangkan di level internasional, sehingga kita bisa memperoleh porsi yang memang sepatutnya didapatkan.
Kedua, proposal OECD yang diajukan saat ini belum mengelaborasi aspek pemajakan bisnis dengan kegiatan utama pengumpulan dan pengolahan data. Dalam model bisnis ini, data dapat diperoleh dari suatu negara tertentu sebagai sumber data, untuk dijual ke pembeli di negara lain. Sementara itu, tidak terdapat penjualan sama sekali di negara sumber data. Dengan proposal OECD, negara sumber data bisa jadi tidak mendapatkan porsi penghasilan atas data yang telah diambil. Padahal, saat ini data telah dianggap sebagai "tambang emas yang baru". Ditambah lagi, terdapat risiko penyalahgunaan data yang tentu akan ditanggung oleh negara sumber data. Dengan jumlah pengguna internet yang mencapai angka 152 juta, tentu saja Indonesia menjadi tambang data yang sangat berpotensi untuk dieksploitasi, sekaligus berisiko tinggi untuk disalahgunakan. Dengan begitu, tentu sangat layak jika Indonesia diberikan remunerasi lebih dari pendapatan bisnis pengumpulan dan pengolahan data tersebut. Porsi ini dapat diperoleh dengan memberikan bobot lebih tinggi terhadap partisipasi pengguna dalam penghitungan jumlah A, atau pemberian remunerasi lebih melalui penambahan jumlah C.
Dengan demikian, tentu terjawab sudah, apakah dengan proposal ini kita akan mendapatkan porsi pajak yang lebih banyak? Jawabnya, tentu saja. Tetapi, apakah kita akan mendapatkan porsi pajak yang sepatutnya kita dapatkan? It depends. Waktu yang akan menjawab apa kesepakatan yang diambil oleh berbagai negara dalam pertemuan yang difasilitasi OECD, di tahun 2020 nanti.
*Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerinan sikap instansi penulis bekerja.
[1] Dapat diakses di https://www.oecd.org/tax/beps/oecd-invites-public-input-on-the-secretariat-proposal-for-a-unified-approach-under-pillar-one.htm
- 2457 kali dilihat