Menyederhanakan Pembayaran Pajak : Upaya dan Tantangan
Oleh: Muhammad Ditya Ariansyah, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Tahun 2009 merupakan titik balik bagi perekonomian Indonesia. Di saat negara-negara lain di dunia mengalami kemunduran, ekonomi Indonesia mampu tumbuh sebesar 4,6%. Sejak itu sampai dengan sekarang, ekonomi Indonesia terus tumbuh dengan rataan 5,8 % tiap tahunnya.
Menurut Faisal Basri, ekonomi Indonesia dapat melaju karena ditopang oleh dua mesin, yaitu konsumsi masyarakat dan pembentukan modal tetap bruto. Sebagai contoh di tahun 2015, konsumsi masyarakat berkontribusi sebesar 56,15% pada tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sedangkan di tahun yang sama, pembentukan modal tetap bruto memiliki kontribusi sebesar 20.46%.
Kedua mesin pendorong ekonomi tersebut saling berkaitan. Pembentukan modal tetap berupa pembangunan infrastruktur fisik yang sedang digalakkan akan membuka lapangan pekerjaan baru. Selain itu, koneksi antar daerah juga akan semakin baik sehingga memudahkan aktivitas perdagangan masyarakat. Akibatnya, kemakmuran masyarakat akan meningkat yang kemudian berbanding lurus dengan tingkat konsumsinya.
Selama ini, penopang utama pembentukan modal tetap berasal dari APBN dan kredit perbankan. Namun, kedua hal itu belum cukup apabila Indonesia ingin sejajar dengan negara-negara maju di dunia. Pemerintah Indonesia perlu mengakselerasinya melalui penanaman modal asing berupa investasi. Terlebih dengan jumlah investasi yang masuk ke Indonesia masih sangat minim. Berdasarkan data yang diolah penulis dari hasil studi OECD, rata-rata pertumbuhan investasi dari tahun 2012 s.d 2015 hanya sebesar 7.5%.
Sikap investor asing yang masih malu-malu kucing untuk berinvestasi disebabkan berbisnis di Indonesia tidak mudah. Hal ini ditunjukkan dengan riset Bank Dunia yang menempatkan Indonesia di peringkat 91 untuk kategori kemudahan berbisnis. Apabila dibandingkan dengan negara ASEAN lain seperti Singapura, Malaysia, dan bahkan Thailand, Indonesia masih tertinggal jauh.
Ada sepuluh indikator yang menjadi penilaian Bank Dunia, salah satunya adalah Kemudahan Pembayaran Pajak. Berdasarkan riset dari Bank Dunia dan PricewaterhouseCoopers mengenai kemudahan pembayaran pajak, peringkat Indonesia berada di level 104 dari 190 negara yang dinilai. Ada tiga sub indikator yang menjadi penilaian, yaitu jumlah pembayaran pajak per tahun, waktu pemenuhan kewajiban perpajakan, dan total tarif pajak.
Sub indikator pertama, yaitu jumlah pembayaran pajak di Indonesia sebanyak 43 pungutan. Empat puluh tiga pungutan tersebut terdiri dari PPh Badan, PPh tenaga kerja, dan pajak atas konsumsi. Misalnya saja pajak atas pendapatan usaha yang harus dibayar tiap bulan berupa PPh Pasal 25 atau PP 46 tahun 2013. Begitu pula dengan PPh tenaga kerja yang harus dibayar tiap bulan. Bandingkan dengan pembayaran pajak di Singapura yang hanya berjumlah lima. Atau negara tertangga terdekat lain Malaysia yang hanya berjumlah sembilan pembayaran. Agar jumlah pembayaran pajak berkurang, pemerintah Indonesia dapat memberlakukan kewajiban pembayaran setiap tiga atau enam bulan sekali. Niscaya jumlah pembayaran yang berjumlah 43 tersebut dapat berkurang hampir separuh.
Sub indikator kedua yaitu waktu pemenuhan kewajiban perpajakan. Wajib Pajak perlu menghabiskan waktu 75 jam untuk PPh Badan, 56 jam untuk PPh 21, dan 90 jam pajak atas konsumsi. Sehingga, apabila Wajib Pajak memiliki tiga kewajiban perpajakan tersebut, maka perlu 221 jam untuk menyelesaikan seluruhnya. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sedang menggencarkan digitalisasi sistem perpajakan untuk memangkas waktu pemenuhan kewajiban perpajakan. Mulai dari program e-filing, e-nofa, ataupun e-billing telah disediakan oleh DJP untuk memudahkan Wajib Pajak. Namun sayangnya, belum semua Wajib Pajak menikmati manfaat dari program-program tersebut. Masih banyak keluhan dari Wajib Pajak yang datang ke petugas di lapangan karena program-program yang tersedia sering error.
Tantangan lain bagi DJP, tingkat literasi teknologi yang masih minim, terutama bagi Wajib Pajak yang berada di remote area. Apabila program-program elektronik ini dapat dirasakan keseluruhan manfaatnya oleh Wajib Pajak, maka tentu akan berdampak positif pada DJP. Pasalnya, beban administrasi pajak akan berkurang. Sehingga tenaga-tenaga administrasi yang berjumlah sekitar 60% s.d 65% tersebut dapat dialihkan ke core business DJP seperti pengawasan dan konsultasi, penagihan, pemeriksaan, dan ekstensifikasi perpajakan.
Sub indikator terakhir, yaitu total tarif pajak yang berlaku di Indonesia sebesar 30.6%. Tarif tersebut terdiri dari pajak pendapatan 16.9%, pajak tenaga kerja 10.3%, dan pajak lainnya 3.4%. Total tarif pajak yang berlaku di Indonesia cukup bersaing dengan negara ASEAN lain. Berdasarkan data yang penulis ambil dari katadata.co.id, Indonesia berada di peringkat lima dari sepuluh negara lain.
Pemerintah Indonesia pernah menunjukkan adanya niat untuk menurunkan tarif PPh Badan. Hal ini terungkap setelah Luhut Panjaitan yang waktu itu menjabat sebagai Menko Polhukam, memberikan pernyataan kepada media bahwa tarif PPh Badan akan diturunkan dari 25% menjadi 18%. Apabila wacana ini dapat direalisasikan, tentu akan memberikan sentimen positif bagi iklim investasi di Indonesia. Walaupun, ada hal yang menurut penulis harus pemerintah perhatikan sebelum merealisasikan wacana tersebut, yaitu tingkat kepatuhan Wajib Pajak yang masih rendah.
Seperti yang dikutip penulis pada Okezone tanggal 29 April 2015, hanya 26 juta penduduk Indonesia yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Dari jumlah tersebut, hanya 10 juta yang patuh menyampaikan SPT Tahunan. Bahkan dari 10 juta tersebut, hanya 900 ribu penduduk yang membayar pajak. Dari paparan data tersebut, dikhawatirkan apabila tarif PPh Badan jadi diturunkan maka akan mengganggu penerimaan pajak. Sebaiknya pemerintah meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak terlebih dahulu.
Kesuksesan Program Tax Amnesty dapat menjadi katalis positif. Sejak program ini berlaku, awareness masyarakat tentang pajak semakin meningkat. Contoh sederhananya saja, penulis sering mencuri dengar orang membicarakan Tax Amnesty di tempat-tempat publik. Contoh lain, banyak Wajib Pajak yang semula tidak terdeteksi oleh petugas datang secara sukarela ke kantor untuk menanyakan kewajiban perpajakannya.
Bagaimanapun juga, upaya untuk meningkatkan kemudahan pembayaran pajak tidak semudah membalikkan tangan. Para stakeholder yang memiliki kepentingan harus terus memberikan dukungannya. Sehingga, membayar pajak akan semakin mudah, begitu juga dengan berbisnis di Indonesia. Investasi asing akan semakin banyak masuk dan mendorong perekonomian Indonesia. Asa untuk menjadi negara yang maju pun dapat terwujud!(*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.
- 1853 kali dilihat