Menjawab Tantangan Bonus Demografi
Oleh: Apri Prayoga Arrfah, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Pada 2020-2030 mendatang, Indonesia diprediksi akan mengalami era bonus demografi. Di saat penduduk usia produktif (15-64 tahun) akan lebih besar dibanding usia nonproduktif (65 tahun ke atas), dengan proporsi lebih dari 60% dari total jumlah penduduk Indonesia (BPS).
Momentum tersebut tentu menjadi peluang strategis bagi Indonesia untuk melakukan percepatan pembangunan ekonomi, dengan dukungan ketersediaan sumber daya manusia usia produktif dalam jumlah signifikan. Namun di sisi lain, bonus demografi dapat menjadi bencana apabila tidak dipersiapkan dengan baik, salah satu risikonya adalah terjebaknya Indonesia dalam middle income trap.
Untuk menjawab peluang dan tantangan tersebut, peningkatan kualitas SDM tentu menjadi hal yang krusial. Sebab melihat dari sisi penawaran angkatan kerja yang tinggi, maka kompetisi akan semakin meningkat. Jika sisi permintaan tidak berubah, justru yang terjadi adalah penalti demografi. Di samping itu, revolusi industri 4.0 pun akan menuntut kualitas dan kapasitas SDM yang lebih tinggi.
Sayangnya, kesenjangan (gap) kompetensi angkatan kerja dengan kebutuhan dunia usaha dan industri masih menjadi permasalahan dalam pasar tenaga kerja Indonesia hingga saat ini. Diperlukan pendidikan dan pelatihan yang link and match dengan kebutuhan dunia usaha dan industri. Konsep link and match tersebut akan tercipta secara optimal apabila dunia usaha dan industri turut aktif terlibat dalam pembentukan SDM.
Insentif Pajak Penghasilan
Upaya menumbuhkan keterlibatan dunia usaha dan industri dalam pembentukan SDM dilakukan pemerintah dengan menyediakan fasilitas perpajakan berupa super deduction tax atau insentif pengurangan pajak super. Kebijakan ini berlaku setelah terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.010/2019 sebagai tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2019.
Insentif yang diatur dalam beleid tersebut adalah berupa pengurangan beban Pajak Penghasilan (PPh) bagi wajib pajak badan dalam negeri yang melakukan kegiatan praktik kerja, pemagangan, atau pembelajaran pada kompetensi tertentu.
Pengurangan beban PPh tersebut dapat dinikmati wajib pajak dengan cara membebankan biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan praktik kerja, pemagangan, atau pembelajaran sebesar 200% dari biaya riilnya. Besaran diskon hingga 200% tersebut meliputi pengurangan penghasilan bruto sebesar 100% dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan praktik kerja, pemagangan, atau pembelajaran serta tambahan pengurangan penghasilan bruto maksimal 100% dari jumlah biaya-biaya tersebut.
Adapun, biaya yang dapat dibebankan meliputi biaya penyediaan fasilitas fisik khusus berupa tempat pelatihan dan biaya penunjangnya, biaya instruktur/pengajar, biaya barang/bahan, honorarium peserta, serta biaya sertifikasi kompetensi peserta.
Beleid tersebut juga menjelaskan bahwa kegiatan praktik kerja atau pemagangan merupakan kegiatan yang dilakukan wajib pajak di tempat usahanya, serta diikuti oleh siswa dan pengajar SMK/MAK, mahasiswa dan pengajar perguruan tinggi diploma vokasi, peserta latih dan tenaga kepelatihan di balai latihan kerja, serta perorangan yang tidak terikat hubungan kerja dengan pihak manapun yang dikoordinasikan oleh Dinas/Kementerian Ketenagakerjaan.
Sedangkan, kegiatan pembelajaran merupakan kegiatan pengajaran yang dilakukan oleh pihak yang ditugaskan oleh wajib pajak untuk mengajar di SMK, MAK, perguruan tinggi program diploma pada pendidikan vokasi, atau balai latihan kerja.
Lebih lanjut, fokus kompetensi yang didorong dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan tempat kompetensi diajarkan; 127 jenis kompetensi untuk siswa, pendidik dan tenaga kependidikan pada SMK atau MAK; 268 jenis untuk mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan pada perguruan tinggi program diploma vokasi; dan 58 jenis untuk perorangan, cukup beragam, mulai dari manufaktur, agribisnis, pariwisata dan industri kreatif, ekonomi digital, hingga pekerja migran.
Untuk dapat menikmati insentif tersebut, wajib pajak harus memenuhi empat persyaratan yang diatur dalam PMK No.128/2019. Pertama, telah melakukan kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran dalam rangka pembinaan dan pengembangan SDM yang berbasis kompetensi tertentu. Kedua, memiliki Perjanjian Kerja Sama. Ketiga, wajib pajak tidak dalam keadaan rugi fiskal pada tahun pajak pemanfaatan tambahan pengurangan penghasilan bruto. Keempat, wajib pajak telah menyampaikan Surat Keterangan Fiskal. Adapun untuk mendapatkan fasilitas insentif pajak tersebut, wajib pajak cukup menyampaikan pemberitahuan melalui sistem online single submission.
Perbaikan Daya Saing Global
Upaya pemerintah memberikan super deduction tax tak lepas dari visi 100 tahun kemerdekaan Indonesia pada tahun 2045, yaitu menjadi bangsa yang berdaulat, maju, adil, dan makmur. Di samping itu, terselip pula misi memperbaiki daya saing Indonesia di tingkat global. Terlebih di tahun 2019 lalu, posisi Indonesia dalam Global Competitiveness Index turun lima peringkat dibanding tahun 2018, yakni dari 45 menjadi 50.
Maka di samping insentif pajak bagi pelaksanaan praktik kerja/pemagangan, pemerintah juga menyediakan diskon pajak besar-besaran lainnya melalui pengurangan beban PPh hingga 300% bagi wajib pajak yang melakukan kegiatan research and development (R&D) yang menghasilkan invensi, inovasi, penguasaan teknologi baru, dan alih teknologi pengembangan industri.
Strategi yang Tepat
Di tengah tantangan global yang kian kompleks, investasi pada penguatan SDM adalah strategi yang tepat. Terlebih lagi, Kebijakan Ekonomi Makro & Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2020 sebagai titik start RPJMN 2020-2024 mengangkat tema “APBN untuk Akselerasi Daya Saing melalui Inovasi dan Penguatan Kualitas Sumber Daya Manusia”.
Pada akhirnya, di balik potential loss atas penerimaan pajak dalam jangka pendek, pemerintah tentu menaruh harapan agar fasilitas ini dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh dunia usaha dan industri, sehingga partisipasi aktif tersebut dapat menciptakan SDM Indonesia yang kompeten. Dengan demikian, era bonus demografi dan revolusi industri 4.0 yang sudah di depan mata dapat menjadi berkah bagi perekonomian nasional.
Lebih lanjut, kebijakan ini jangan sampai menjadi ladang penyalahgunaan wajib pajak untuk menghindari pajak (tax avoidance), sehingga PR selanjutnya bagi Direktorat Jenderal Pajak adalah mengimplementasikan tata kelola (governance) dan akuntabilitas program tersebut secara profesional.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 13166 kali dilihat