Menjaga Lingkungan Melalui Pajak Karbon

Oleh: Josua Tommy Parningotan Manurung, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Carbonium atau yang lebih kita kenal dengan karbon dengan sifat fisik padat sangat banyak digunakan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Karbon digunakan sebagai alat pembangkit listrik, pembersih logam, dan lain sebagainya. Namun, pemanfaatan karbon bukan berarti tidak memiliki efek samping. Efek samping dalam hal ini efek negatif yang dihasilkan dari penggunaan karbon adalah perubahan iklim.
Dilansir dari nationalgeographic.com, para ilmuwan telah mendokumentasikan beberapa dampak dari perubahan iklim seperti es mencair di kutub bumi (lapisan es yang menutupi Antartika Barat dan Greenland, serta es laut Arktik) yang menyebabkan meningkatnya kenaikan permukaan laut.
Beberapa cara ditempuh manusia untuk mengurangi dampak negatif dari penggunaan karbon, seperti peremajaan hutan, menggunakan transportasi ramah lingkungan seperti sepeda, membawa kantong belanja dan botol minuman sendiri, hingga penggunaan produk yang dapat didaur ulang.
Namun, upaya tersebut ternyata belum cukup untuk mengurangi dampak negatif dari penggunaan karbon. Upaya dari sisi ilmu ekonomi menurut para ekonom pun perlu dilakukan, seperti plastic packaging tax (pajak plastik kemasan) dan carbon tax (pajak karbon).
Melalui laman https://www.un.org/en/climatechange/net-zero-coalition yang dirilis Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia menjadi salah satu dari sepuluh negara penghasil emisi gas rumah kaca terbanyak di dunia dan menghasilkan lebih dari dua pertiga emisi global. Salah satu emisi gas rumah kaca tersebut berasal dari dampak negatif penggunaan karbon.
Hal Penting tentang Pajak Karbon
Secara umum, definisi pajak karbon adalah pajak yang dikenakan terhadap pemakaian bahan bakar yang mengandung karbon. Indonesia memiliki definisi tersendiri mengenai pajak karbon sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pajak karbon diartikan sebagai pengenaan pajak atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup.
Latar belakang Indonesia ikut membuat aturan pajak karbon adalah bagian dari komitmen Indonesia untuk menurunkan gas rumah kaca sesuai dengan Nationally Determined Contribution (NDC) dalam Paris Agreement pada tahun 2016. Dengan adanya Paris Agreement ini, Indonesia memiliki kewajiban untuk menurunkan emisi paling tidak 45 persen dari level total emisi pada tahun 2010.
Pajak karbon ini nantinya akan dikenakan tarif Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara dengan menggunakan mekanisme pajak berdasarkan pada batas emisi.
Tidak Hanya di Indonesia
Pajak karbon sudah diterapkan di Kanada, Kolombia, Meksiko, Selandia Baru, dan beberapa negara di Asia seperti Singapura dan China. Menurut penulis, sudah saatnya Indonesia menerapkan aturan ini. Sebab batu bara masih menjadi sumber listrik utama di Indonesia dengan perkiraan jumlah kapasitas pembangkit listrik terpasang dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) misalnya mencapai 35.216 MW setara 49,67 persen dari total kapasitas nasional 70.900 MW.
Setiap negara yang menerapkan pajak karbon memiliki aturan tersendiri mengenai jenis dan jumlah bahan bakar yang mengandung karbon yang dikenakan pajak. Di Indonesia, mulai 1 April 2022 nanti, UU HPP menyebutkan bahwa pajak karbon dikenakan terhadap badan yang bergerak di bidang PLTU batu bara. Bila Indonesia tidak segera bergerak, penulis mengkhawatirkan Indonesia tidak akan mencapai target dunia di tahun 2050 yaitu nol emisi.
Transisi Energi Menjadi Energi Ramah Lingkungan
Forum Ekonomi Dunia mengeluarkan data Indeks Transisi Energi di negara ASEAN pada tahun 2021 yang menunjukkan Indonesia masih berada di urutan ke enam dengan 56 poin dibawah Filipina dan masih jauh dari Singapura sebesar 67 poin.
Dengan adanya pajak karbon, penggunaan karbon akan berkurang sehingga menghasilkan penurunan emisi dan memacu transisi energi. Transisi energi menjadi energi yang ramah lingkungan seperti energi tenaga surya, energi panas bumi, energi gelombang dan ombak laut, energi angin, dan energi biomassa.
Bila transisi energi sudah maksimal, menurut penulis, pajak karbon ini tidak lagi diperlukan dan Indonesia dapat menikmati lingkungan yang sehat serta menambah angka harapan hidup masyarakat Indonesia.
Perlu Dukungan Semua Pihak
Menjaga lingkungan melalui pajak karbon dapat berjalan efektif bila semua pihak mendukung dan mengawasi pelaksanaan pajak karbon ini. Sebab, pajak sejatinya bertujuan untuk menambah pendapatan negara yang akan digunakan untuk membiayai pengeluaran negara.
Masyarakat juga perlu semakin sadar dan peduli terhadap lingkungan yang bersih dan sehat. Penulis mengharapkan di tahun 2050, penggunaan karbon sebagai energi pembangkit akan jauh berkurang dengan adanya transisi energi yang sebelumnya berbasis bahan fosil menjadi energi nol emisi dan ramah lingkungan.
Menurut penulis, kebijakan pajak karbon ini kemungkinan akan menimbulkan perdebatan di masyarakat. Terlebih bila masyarakat menerima informasi yang kurang tepat di media massa seperti akhir-akhir ini terdapat informasi keliru tentang Program Pengungkapan Sukarela yang disamakan dengan Tax Amnesty Jilid 2.
Bila masyarakat masih memerlukan informasi mengenai UU HPP termasuk pajak karbon, wajib pajak dapat mengunjungi situs pajak.go.id atau mengikuti kelas pajak yang diadakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 400 kali dilihat