Menilik Kekhususan Dalam Penegakan Hukum Pidana di Bidang Perpajakan

Oleh: Fajar Triyanto, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Friedman menyatakan “The function of criminal law not only to protect private property against unlawful interference, but also to protect the basic economic order of the nation”. Fungsi hukum pidana tidak hanya untuk melindungi kekayaan pribadi dari gangguan, namun terutama melindungi ketertiban sistem perekonomian suatu negara (Muladi dan Priyatno, 1991 dalam Bina Yumanto dan Paruhum Aurora Sotarduga Hutauruk, Ultimum Remedium Dalam Hukum Pidana Pajak:Teori dan Praktik, Scientax Volume Nomor 1, ISSN 2686-5718, Oktober 2022).
Aliran klasik, hukum pidana menganut sistem sanksi tunggal berupa jenis sanksi pidana yang bertujuan merampas sebagian hak dasar manusia dan mengedepankan pemidanaan sebagai pembalasan setimpal. Aliran modern, hukum pidana bertujuan untuk mencapai kemanfaatan, baik bagi korban, pelaku dan masyarakat. Berkaitan dengan hal ini, hukum pidana perpajakan memiliki kekhususan yang menyimpangi beberapa ketentuan hukum pidana pada umumnya.
Edward Omar Sharif Hiariej, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menyatakan bahwa hukum pidana pajak memenuhi kriteria sebagai lex specialis sistematis yang merupakan turunan dari asas lex specialis derogat legi generali. Dalam doktrin hukum pidana, hukum pidana pajak disebut sebagai ius singulare karena memiliki sistem norma dan sanksi tersendiri dan memiliki sifat dan karakteristik yang lebih bernuansa ekonomis dalam rangka memperoleh pendapatan negara yang sebesar-besarnya.
Penegakan Hukum Pidana Perpajakan
Ketentuan Pasal 43A ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU KUP jo. UU Ciptaker) mengatur bahwa Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Pemeriksaan Bukti Permulaan merupakan pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.
Apabila hasil pemeriksaan bukti permulaan patut diduga telah terjadi tindak pidana perpajakan, maka akan dilanjutkan dengan penyidikan untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya. Apabila penyidikan telah selesai, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum melalui penyidik Polri. Selanjutnya, apabila penuntut umum menyatakan lengkap yang ditindaklanjuti dengan penyerahan berkas, tersangka dan barang bukti, selanjutnya penuntut umum melaksanakan penuntutan dan dilanjutkan ke persidangan.
Ultimum Remedium
Hukum pidana di bidang perpajakan menerapkan asas ultimum remedium dengan mengedepankan pemulihan kerugian pada pendapatan negara daripada pemidanaan. Dalam pelaksanaannya, UU KUP jo. UU Ciptaker telah memberikan jaminan bagi wajib pajak untuk memanfaatkan solusi penyelesaian melalui mekanisme pembayaran kerugian pada pendapatan negara (KPPN) beserta sanksinya untuk mengeliminasi pemidanaan dalam setiap tahapan penegakan hukum pidana di bidang perpajakan.
Pada tahapan pemeriksaan bukti permulaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3) dan (3a) UU KUP jo. UU Ciptaker, sepanjang mulainya penyidikan belum diberitahukan kepada Penuntut Umum melalui penyidik Polri, wajib pajak dengan kemauan sendiri dapat mengungkapkan dengan pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatannya disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.
Ketentuan Pasal 44A UU KUP jo. UU Ciptaker menegaskan bahwa Penyidik di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan salah satunya karena wajib pajak melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UU KUP jo. UU Ciptaker. Dengan demikian, apabila wajib pajak melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan, maka penyidikan dugaan tindak pidana perpajakan akan dihentikan.
Tidak semua dugaan tindak pidana di bidang perpajakan dapat menggunakan mekanisme pengungkapan ketidakbenaran. Ketentuan pengungkapan ketidakbenaran ini dibatasi untuk dugaan tindak pidana tidak menyampaikan surat pemberitahuan atau menyampaikan surat pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar baik karena kealpaannya atau dengan sengaja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 atau Pasal 39 ayat (1) huruf c dan huruf d UU KUP jo. UU Ciptaker. Dengan demikian, untuk dugaan tindak pidana selain Pasal 38 atau Pasal 39 ayat (1) huruf c dan huruf d UU KUP jo. UU Ciptaker tidak dapat menggunakan mekanisme pengungkapan ketidak benaran ini.
Dalam tahap penyidikan, wajib pajak memiliki hak untuk menempuh mekanisme penghentian penyidikan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 44B UU KUP jo. UU Ciptaker yaitu untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan setelah wajib pajak atau tersangka melunasi:
- Kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 UU KUP jo. UU Ciptaker ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar satu kali jumlah kerugian pada pendapatan negara.
- Kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 UU KUP jo. UU Ciptaker ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar tiga kali jumlah kerugian pada pendapatan negara.
- Jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39A UU KUP jo. UU Ciptaker ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar empat kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.
Setelah pelunasan, untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sepanjang perkara pidana tersebut belum dilimpahkan ke pengadilan. Satu hal yang harus dipahami adalah penghentian penyidikan tersebut sepenuhnya merupakan wewenang Jaksa Agung.
Dalam tahap penuntutan atau perkara telah dilimpahkan ke pengadilan, wajib pajak tetap dapat menggunakan haknya sebagai berikut:
- Melunasi kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 UU KUP jo. UU Ciptaker ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar satu kali jumlah kerugian pada pendapatan negara.
- Melunasi kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 UU KUP jo. UU Ciptaker ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar tiga kali jumlah kerugian pada pendapatan negara.
- Melunasi jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39A UU KUP jo. UU Ciptaker ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar empat kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.
Pelunasan yang dilakukan oleh wajib pajak atau terdakwa tersebut menjadi pertimbangan untuk dituntut tanpa disertai penjatuhan pidana penjara. Pengertian dituntut tanpa disertai penjatuhan pidana penjara adalah perkara pidana yang terbukti secara sah dan meyakinkan tetap dituntut dinyatakan bersalah tetapi tanpa disertai penjatuhan pidana penjara untuk terdakwa orang. Pidana denda, baik untuk terdakwa orang maupun badan tetap dijatuhkan sebesar jumlah yang telah dilunasi terdakwa dan jumlah pelunasan tersebut diperhitungkan sebagai pidana denda.
Apabila pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak ternyata belum memenuhi jumlah yang seharusnya, maka pembayaran tersebut dapat diperhitungkan sebagai pembayaran pidana denda yang dibebankan kepada terdakwa. Dengan demikian terhadap terdakwa tetap dituntut bersalah dengan penjatuhan pidana penjara bagi terdakwa orang dan pidana denda bagi terdakwa orang ataupun badan, tetapi pembayaran tersebut dapat diperhitungkan sebagai pembayaran pidana denda yang dibebankan terhadap terdakwa.
Sifat khusus penegakan hukum pidana di bidang perpajakan adalah penerapan asas ultimum remedium dimana sanksi pidana merupakan upaya terakhir. Penegakan hukum pidana di bidang perpajakan lebih ditujukan untuk melindungi ketertiban sistem perekonomian suatu negara dengan mengedepankan pemulihan kerugian pada pendapatan negara. Penerapan asas ultimum remedium di bidang perpajakan diimplementasikan dengan membuka kesempatan seluas-luasnya bagi wajib pajak untuk melakukan pembayaran kerugian pada pendapatan negara (KPPN) beserta sanksinya untuk mengeliminasi potensi pemidanaan dalam berbagai tahapan penegakan hukum pidana di bidang perpajakan baik pada saat pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan, penuntutan bahkan sampai di persidangan.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 748 kali dilihat