Oleh: Sinta Agustin, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Akhir tahun 2019, media sosial nusantara sempat diguncang oleh fenomena yang viral. Selebritas dan influencer terkenal berlomba-lomba untuk pamer harta kekayaan. Ironisnya, saldo rekening bank yang seharusnya bersifat sangat pribadi dan rahasia, diumbar hanya demi menambah jumlah pengikut pada media sosial mereka.

Komentar pro dan kontra terus dilontarkan baik dari sesama artis maupun dari pengamat sosial. Dikutip dari Suara.com, Psikolog Intan Erlita menyoroti bahwa konten pamer saldo bank di Anjungan Tunai Mandiri (ATM) pada media sosial dapat mempertajam kesenjangan sosial. “Mungkin awalnya mau kasih tahu hasil kerja kerasnya. Tapi pada kenyataannya, di luar sana masih banyak orang yang berjuang memenuhi kehidupan harian, loh”, ujarnya.

Fenomena pamer harta kekayaan ternyata tidak hanya menggelitik pengamat media sosial. Dalam suatu kesempatan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati turut berkomentar bahwa sudah menjadi hak pribadi masing-masing untuk menunjukkan harta kekayaan kepada masyarakat. Yang jadi soal, apabila ternyata saldo rekening yang jumlahnya mencapai miliaran, ternyata atas penghasilannya tak pernah dilaporkan, bahkan tidak pernah membayar pajak yang dikenakan.

 

Kewajiban Perpajakan

Sebenarnya, fenomena cek saldo ATM selebritas dapat dimanfaatkan bagi penggalian potensi perpajakan. Dari mulai kepatuhan formal terhadap ketentuan perpajakan, sampai dengan pengenaan pajak yang terutang dan sanksi maupun denda apabila terdapat pajak yang masih terutang.

  1. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)

Sesuai Pasal 2 Undang Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan bahwa setiap wajib pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif wajib mendaftarkan diri pada Kantor Pelayanan Pajak dan kepadanya diberikan NPWP. Apabila individu yang telah mendapatkan penghasilan, tetapi terbukti belum memiliki NPWP, maka Direktorat Jenderal Pajak dapat menerbitkan NPWP secara jabatan. Atas pajak penghasilan yang telah terutang sebelumnya, masih dapat dikenakan sampai dengan 5 (lima) tahun ke belakang sebelum diterbitkan NPWP.

  1. Pajak Penghasilan (PPh)

Setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun maka diharuskan untuk memenuhi kewajiban perpajakan. Sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), maka jika penghasilan yang didapat oleh subjek pajak melebihi PTKP, yaitu 54 juta rupiah per tahun untuk wajib pajak orang pribadi, maka atas penghasilannya wajib dikenakan PPh sesuai ketentuan yang berlaku.

  1. Surat Pemberitahuan (SPT)

Setiap wajib pajak yang terdaftar wajib untuk mengisi SPT dengan benar, lengkap, dan jelas. Setiap tahunnya, wajib pajak terdaftar wajib melaporkan SPT Tahunan terkait penghasilan yang diperoleh pada tahun sebelumnya, pajak yang terutang, serta informasi atas harta kekayaan dan kewajiban (utang). Dengan terbukanya jumlah harta kekayaan yang dipamerkan, data tersebut dapat disandingkan dengan jumlah harta yang telah dilaporkan pada SPT Tahunan. Ketidaksesuaian atas harta yang tertera pada laporan, dapat berimbas kepada wajib pajak untuk dilakukan tindakan pemeriksaan.

 

Akses Informasi Keuangan

Penerapan sistem perpajakan self-assessment di Indonesia, memaksa pemerintah untuk berupaya lebih dalam pengawasan terhadap wajib pajak. Pengawasan tersebut dapat dilaksanakan dengan optimal sepanjang telah tersedianya akses yang luas bagi otoritas perpajakan, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak, untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan bagi kepentingan perpajakan dalam pembentukan basis data perpajakan yang lebih kuat dan akurat.

Pada tahun 2017, Presiden Republik Indonesia telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Tujuan yang diharapkan, agar keterbatasan otoritas pajak dalam menerima dan memperoleh informasi keuangan, baik dari sisi prosedur maupun persyaratan dapat teratasi. Terbatasnya akses informasi keuangan pada Lembaga Jasa Keuangan (LJK) dikhawatirkan akan dimanfaatkan oleh wajib pajak untuk tidak patuh melaporkan penghasilan dan harta sesungguhnya. Hal ini dapat menghambat terwujudnya penguatan basis data perpajakan, serta Indonesia berpotensi menjadi negara tujuan penempatan dana ilegal.

Sebagai tindak lanjut Perppu No. 1 Tahun 2017, Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi Berdasarkan Perjanjian Internasional dan 19/PMK.03/2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. 

Dalam Pasal 2 PMK No. 19/PMK.03/2018 telah nyata disebutkan bahwa Direktur Jenderal Pajak berwenang mendapatkan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dari LJK, LJK Lainnya dan/atau Entitas Lain. Akses informasi keuangan yang dimaksud meliputi penyampaian laporan yang berisi informasi keuangan secara otomatis, dan pemberian informasi dan/atau bukti atau keterangan berdasarkan permintaan, untuk pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan pelaksanaan Perjanjian Internasional.

Laporan atas informasi keuangan yang diterbitkan oleh LJK kepada DJP, sekurang-kurangnya memuat identitas pemegang rekening keuangan, nomor rekening keuangan, identitas LJK, LJK lainnya dan/atau entitas lain, saldo atau nilai rekening keuangan, dan penghasilan yang terkait dengan rekening keuangan (pasal 19 ayat (1) PMK No. 19/PMK.03/2018). Saldo atau nilai rekening keuangan yang disampaikan oleh LJK, khususnya Lembaga Simpanan, paling sedikit satu miliar rupiah jika rekening keuangan dipegang oleh pribadi. Sementara untuk rekening keuangan yang dipegang oleh entitas, tidak terdapat batasan saldo atau nilai rekening keuangan.

Dengan adanya keterbukaan akses informasi dari Lembaga Jasa Keuangan, diharapkan mampu meningkatkan pengawasan akan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan. Kegiatan penggalian potensi dapat dikembangkan sejalan dengan perbaikan kualitas terhadap pelayanan wajib pajak.

 

Sanksi

Dengan semakin terbukanya akses informasi keuangan, serta maraknya fenomena untuk pamer harta kekayaan, DJP dapat memanfaatkan momentum ini untuk rekonsiliasi kebenaran data pada SPT Tahunan. Potensi atas penghasilan yang belum dilaporkan dapat menjadi dasar dari pengenaan pajak terutang. Belum lagi, jikalau individu tersebut ternyata belum memiliki NPWP, maka sanksi dapat dikenakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sebagai warga negara yang baik, seharusnya seluruh kewajiban perpajakan yang telah tertuang dalam undang-undang mampu ditunaikan. Tapi terkadang, besarnya harta yang digembor-gemborkan sangat kontras dengan jumlah pajak yang dibayarkan. Fenomena pamer harta semata-mata dilakukan hanya untuk mencari ketenaran sesaat. Padahal sejatinya, warga Indonesia lebih bangga dengan kontribusi terhadap negara, bukan hanya sensasi semata.

 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.