Menghadapi Tuntutan Edukasi dengan BDS

Oleh: Lisa Amalia Artistry Ramadhani, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Hadirnya Peraturan Pemerintah (PP) nomor 23 tahun 2018 yang disahkan pada tanggal 22 Juli 2018 menggantikan PP nomor 24 tahun 2016 untuk Usha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM) layaknya perlu mendapatkan perhatian lebih. Pasalnya, peraturan ini diharapkan menjadi sebuah terobosan efektif membangun UMKM agar lebih mandiri dan produktif melalui pengurangan tarif 1% menjadi 0,5% dari omzet serta ketersediaan pintu alternatif bagi wajib pajak dengan peredaran bruto tertentu yang tidak ingin memanfaatkan fasilitas ini. Namun, timbulnya ketentuan baru tentang Batasan waktu pada PP 23 yang lahir dengan niat baik memberikan tuntutan edukasi kepada UMKM, bisa menjadi bumerang jika tanpa strategi komunikasi yang tepat untuk menyasar masyarakat UMKM daerah yang masih minim edukasi, sarana dan prasarana.
Melalui PP 46/2013 waktu itu memang memberikan solusi kemudahan bagi UMKM untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya melalui tarif flat 1% dari penghasilan bruto tanpa keharusan melaksanakan pembukuan. Walaupun bagi beberapa pihak, tarif lama ini dinilai kurang memperhatikan sisi biaya yang harus dikeluarkan pengusaha untuk bertahan hidup dalam risiko persaingan usaha. Namun di sisi lain, sistem ini dirasa menguntungkan dan memudahkan para pengusaha UMKM daerah yang minim pengetahuan dan akses informasi. Tak perlu pusing memikirkan debit kredit, hanya perlu mencatat penghasilan perbulan dan mengalikannya dengan 1% lalu melaporkannya disetiap bulan.
Melalui PP 23/2018 memang beban pajak yang ditanggung UMKM berkurang karena hadirnya penurunan tarif, namun hal ini juga menghadirkan polemik bagi masyarakat UMKM daerah. Ditetapkannya batas waktu tertentu bagi setiap pengguna PP 23/2018 menuntut pengusaha UMKM untuk mulai belajar melaksanakan pembukuan sebelum batas waktu yang ditetapkan. Tujuh tahun bagi wajib pajak orang pribadi, 4 tahun untuk badan usaha berbentuk CV/firma/koperasi dan 3 tahun untuk badan hukum berbentuk PT. Periode ini dimulai sejak ia terdaftar menjadi wajib pajak jika status wajib pajak baru disandang setelah PP ini lahir. Jika periode sudah berlalu, maka wajib pajak harus menggunakan tarif umum pasal 17 UU PPh, mau tidak mau, suka tidak suka.
Pembukuan memang sangat membantu untuk membuat pengusaha rapi dan tertib dalam menyelenggarakan kegiatan operasional usaha serta mengelola sumber daya yang dimiliki. Hasil akhir dari kegiatan pembukuan adalah laporan keuangan yang mampu menggambarkan secara spesifik bagaimana performa perusahaan sesungguhnya. Proses ini disusun mulai dari jurnal-jurnal setiap transaksi dan penghitungan aset serta liablitas yang pastinya membutuhkan tidak sedikit ilmu. Lalu, bagaimana nasib masyarakat UMKM daerah yang hanya sekadar mampu memahami matematika dasar untuk berdagang atau sekadar bisa mengingat nomor gawai dan mampu tulis menulis saja adalah hal yang patut kita syukuri?
Dewasa ini, era digital memang memudahkan untuk mengakses aplikasi pembukuan bagi UMKM melalui gawai yang mudah dibawa di manapun dan kapanpun. Namun, inovasi solutif ini rasanya tak cukup mudah diterima begitu saja bagi para pelaku UMKM daerah. Terbukti dengan hadirnya program efiling yang sampai saat ini masih menjadi pekerjaan rumah (PR) besar bagi Direktorat Jenderal Pajak untuk terus menyosialisasikan pemahaman penggunaan aplikasi pelaporan SPT Tahunan ini di masyarakat daerah. Masyarakat daerah masih banyak yang memilih melaporkan secara manual karena dirasa lebih mudah daripada melalui internet dan gawai yang mereka tidak pahami.
Tentunya hal ini membutuhkan sosialisasi intensif dengan strategi khusus untuk memberikan edukasi dan pemahaman yang tepat dan mudah diterima masyarakat UMKM Daerah. Penanaman pemahaman bahwa pajak itu mudah dan murah perlu dijadikan langkah awal untuk dapat tetap mempertahankan semangat masyarakat UMKM daerah agar terus berkontribusi aktif dalam kewajiban perpajakannya. Sosialisasi dengan metode coaching dan mentoring ala program “kakak asuh” dengan Business Development Service (BDS) bisa menjadi salah satu trobosan yang patut dilakukan secara intensif di daerah.
Layaknya seperti kawan yang tulus membantu, selain dapat memberikan bimbingan intensif kepada wajib pajak, program BDS bisa meningkatkan kepercayaan dan engagement masyarakat dengan pegawai pajak itu sendiri, sehingga sosialisasi dan penginformasian kewajiban perpajakan lainnya bisa lebih mudah diterima dengan baik oleh wajib pajak. Dengan begitu, UMKM pun merasa tidak ditinggal sendiri dan mendapat pendampingan yang baik, secara pembukuan maupun perpajakan. Sayangnya, program ini memang bukan kegiatan yang langsung terlihat hasilnya dalam waktu singkat.
Pendampingan, ilustrasi, dan studi kasus sederhana secara bertahap untuk mengenalkan pembukuan kepada UMKM sepertinya bisa menjadi solusi yang patut dicoba dan menjadi strategi komunikasi khusus untuk wajib pajak daerah. Dalam jangka panjang, masyarakat UMKM daerah diharapkan tidak hanya sekedar mampu melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik, namun juga meningkatkan performa usahanya untuk bisa lebih banyak berperan dalam ekonomi formal sebagai tulang punggung perekonomian negara.
Pengenalan dan edukasi dasar tentang teknologi informasi juga layaknya penting untuk disosialisasikan melalui program BDS. Perkembangan teknologi yang bergerak cepat seiring berjalannya waktu tak bisa membuat kita menutup mata begitu saja dan membiarkan masyarakat UMKM daerah selalu pasif menanti kemudahan. Sebagai pegawai Direktorat Jenderal Pajak, baiknya kita menggandeng masyarakat daerah untuk berlari bersama mengejar ketertinggalan. Memang masyarakat daerah perlu mendapatkan perhatian yang lebih besar, tapi keberhasilan masyarakat daerah adalah tolok ukur yang penting dalam kemajuan sebuah bangsa.(*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja
- 113 kali dilihat