Oleh: Dandy Naufalzach Fadlurahman, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Sejatinya sejak dahulu, bangsa Indonesia adalah bangsa yang telah luhur menjunjung tinggi nilai kekeluargaan, gotong royong dan demokrasi.

Dalam tinta dan titah sejarah, banyak bentuk negeri dan pemerintah lahir dari kearifan-kearifan lokal di negeri talasokrasi ini. Salah satunya kita menilik ke Pulau Sumatra, lebih tepatnya Provinsi Sumatera Selatan.

Tidak hanya kuliner khas seperti pempek dan tempoyak yang selalu memanjakan lidah, ada juga sebuah kearifan demokrasi yang sudah muncul bahkan sebelum terbentuk NKRI kini. Seperti konsep pemerintahan republik-republik mini yang dijalankan orang-orang asli Sumatera Selatan yang disebut dengan Marga.

 

Pengertian dan Konsep Marga

Dalam buku bertajuk "Iliran dan Uluan: Dinamika dan Dikotomi Sejarah Kultural Palembang" yang ditulis oleh Dedi Irwanto dkk., Marga adalah suatu bentuk pemerintah paling rendah berdasarkan hukum adat. Marga sendiri mencakup lingkup yang luas geografinya setara dengan kecamatan di masa administrasi Indonesia modern namun dengan hak dan wewenang yang lebih besar.

Pembentukan marga sendiri umumnya berdasarkan dari garis keturunan (genealogis) atau suku bangsa yang menetap, namun tunduk dan taat kepada sultan-sultan Palembang, pemerintah Hindia Belanda sampai pemerintah Indonesia pascakemerdekaan.

Mulanya setiap suku (orang Uluan) di Sumatera Selatan memiliki istilah masing-masing, seperti Suku Besemah mengenal "Sumbay", Suku Komering mengenal "Buay", Suku Rejang mengenal "Petulai", Suku Lembak mengenal "Sindang" dan Suku Ogan mengenal "Marge", tetapi semenjak pemerintah Hindia Belanda, semua istilah tersebut dikerucutkan menjadi "Marga".

Marga juga berfungsi menjalankan Undang-Undang Simbur Cahaya, yaitu sebuah undang-undang yang menjadi pedoman pelaksanaan bernegara dan adat di Sumatera Selatan. Uniknya Undang-Undang Simbur Cahaya merupakan konstitusi pertama yang pernah dilahirkan bangsa kita.

Sebuah marga dipimpin secara langsung oleh seorang Pesirah, yang dalam kedudukan modern setara dengan seorang Camat. Pesirah dipilih langsung secara demokratis oleh rakyatnya dengan sistem "baris manjang". Dalam pemilihan seorang Pesirah, rakyatnya wajib berbaris di belakang calon yang diinginkan, apabila barisan tersebut lebih banyak pemilih maka calon tersebut akan diangkat menjadi Pesirah marganya. Kehadiran Marga Sumatera Selatan ini menandakan bahwa bangsa Indonesia telah mengenal demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat sejak dahulu kala.

 

Konsep Perpajakan dan Ekonomi Marga

Setiap marga di Sumatera Selatan diberikan otonomi yang luas untuk menjalankan roda pemerintahan dan perekonomian sendiri selama masih dalam pengawasan pemerintah pusatnya di Palembang.

Dalam menjalankan pemerintahan marga, sebuah marga membutuhkan dana untuk melaksanakan tugas dan fungsinya. Maka marga-marga mengenal konsep Kas Marga yang terhimpun dari berbagai sumber penerimaan salah satunya konsep perpajakan.

Konsep pajak dalam pemerintahan marga dipungut melalui masyarakat anggota marga kelas menengah ke atas, saudagar-saudagar dan pemukim asing seperti orang-orang Tionghoa dan India. Selain pajak, marga juga melakukan penjualan hasil bumi yang bersumber dari pertanian dan hasil-hasil perhutanan dalam memenuhi Kas Marga. Pajak yang diperoleh tidak dipakai secara sembarang dan harus melalui musyawarah di balai adat dalam menentukan implementasi selanjutnya.

Dana dari Kas Marga sendiri digunakan untuk kepentingan marga salah satunya adalah meningkatkan kesejahteraan marga, pembangunan infrastruktur jalan, irigasi dan jembatan, penggajian pegawai negeri marga atau punggawo serta pemeliharaan hukum adat dan budaya marga itu sendiri dan diasaskan pada rasa gotong royong, kekeluargaan dan senasib sepenanggungan.

Kas Marga juga digunakan untuk pemerataan sandang, pangan dan papan, contohnya masyarakat dalam suatu marga yang kurang mampu dalam memiliki rumah panggung akan dibelikan bahan bangunan bahkan dibangunkan rumah panggung seperti halnya masyarakat yang kaya dengan kualitas yang sama. Kas Marga pun juga difungsikan untuk pengadaan bibit, pembangunan tengkiang/lumbung padi dan ketahanan pangan ketika terjadi masa paceklik yang panjang.

Selain Kas Marga, ada konsep ekonomi lain yang bernama Milir Sebah. Milir Sebah berasal dari Bahasa Palembang Halus yaitu "Milir" berarti pergi ke hilir, dan "Sebah" yaitu "menyembah". Milir Sebah sendiri merupakan kewajiban bagi marga yang makmur setiap tahun selama bulan Ramadaan untuk mengirimkan hasil bumi kepada sultan-sultan Palembang sebagai wujud kesetiaan dan pemenuhan kas pemerintah pusat. Sebagai gantinya sultan-sultan Palembang akan memberikan perlindungan kepada marga bersangkutan. Setelah berkuasanya Hindia Belanda, Milir Seba ini tidak dilanjutkan kembali.

Tercatat di sepanjang masa pemerintahan marga Sumatera Selatan, mayoritas penduduk di tiap marga masih terbilang makmur secara ekonomi. Roda perdagangan dan juga penerapan pajak dilaksanakan dengan efektif dan stabil meski marga-marga mengalami pergantian kekuasaan dari setelah runtuhnya Kesultanan Palembang dan di bawah naungan residen Hindia Belanda.

Runtuhnya Kesultanan Palembang tidak berpengaruh besar pada pelaksanaan kesatuan pemerintahan marga di Sumatera Selatan, meski Perang dan gejolak suku-suku lokal melawan pemerintahan Belanda memang terjadi, marga-marga masih mampu memperbaiki urusan politik dan ekonomi mereka dengan baik setelah masa pergolakan.

Semenjak dikenal konsep belasting atau perpajakan modern dan ekonomi liberal oleh pemerintah Hindia Belanda, maka memunculkan tantangan besar pada eksistensi marga-marga Sumatera Selatan, seperti pembatasan dan pergantian wewenang yang lebih sempit. Sehingga marga-marga bertransformasi menjadi pelaksana pemerintah yang tidak berdasar pada hukum adat Simbur Cahaya saja, tetapi juga melaksanakan hukum-hukum/wet Belanda demi memenuhi kepentingan pemerintah pusat dan kebutuhan rakyat di marganya.

Bahkan sampai masa kemerdekaan dan lahirnya Republik Indonesia, marga-marga masih dapat bertahan dan berfungsi dengan baik sampai dibubarkannya kesatuan pemerintahan marga di tahun 1983.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.