Mengembalikan Hakikat Pajak Natura

Penulis: Edmalia Rohmani, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
“Ia yang mengerjakan lebih dari apa yang dibayar pada suatu saat akan dibayar lebih dari apa yang ia kerjakan.” - Napoleon Hill
Untuk mencapai tujuannya, perusahaan perlu memberi perhatian lebih pada motivasi pekerja. Sejumlah penelitian membuktikan pengaruh motivasi kerja karyawan terhadap kinerja perusahaan.
Motivasi yang tinggi dapat menyebabkan kepuasan kerja dan komitmen terhadap organisasi (Karsli dan Iskender, 2009). Motivasi bekerja tak cukup berupa kata-kata mutiara. Imbalan berupa insentif dibutuhkan sebagaimana pendapat T. Hani Handoko (1987) yang mengatakan bahwa insentif bertujuan meningkatkan motivasi karyawan dalam upaya mencapai tujuan-tujuan organisasi dengan menawarkan perangsang finansial di atas dan melebihi upah dan gaji dasar.
Imbalan insentif ini tak melulu berupa uang. Dalam dunia perpajakan, dikenal istilah natura dan kenikmatan. Merujuk Penjelasan Pasal 4 Ayat (1) Huruf a Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang dimaksud dengan "imbalan dalam bentuk natura" adalah imbalan dalam bentuk barang selain uang, sedangkan "imbalan dalam bentuk kenikmatan" adalah imbalan dalam bentuk hak atas pemanfaatan suatu fasilitas dan/atau pelayanan.
Sebelum berlakunya UU HPP, apabila perusahaan memberikan imbalan natura atau kenikmatan kepada karyawan atau orang lain yang ada hubungan pekerjaan, maka kenikmatan tersebut tidak dianggap sebagai penghasilan bagi pihak penerima (non-taxable). Bagi perusahaan, jumlah tersebut tidak boleh dikurangkan sebagai biaya (non-deductible). Skema ini menimbulkan anomali karena sejatinya biaya natura masuk dalam kategori biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (3M) karena fungsinya yang memberikan motivasi pekerja sehingga seharusnya bersifat deductible.
Selain itu, menurut data Kementerian Keuangan, belanja pajak pada 2016-2019 akibat pengecualian natura dan kenikmatan sebagai objek pajak mencapai Rp5,1 triliun. Dari total belanja pajak ini, sebesar 51,17% justru dinikmati wajib pajak orang pribadi dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP) di atas Rp500 juta. Wajib pajak orang pribadi dengan PKP Rp0-Rp50 juta hanya menikmati 9,79% dari total belanja pajak yang timbul akibat pengecualian natura dari objek pajak.
Artinya, skema ini lebih menguntungkan pegawai berpenghasilan tinggi, termasuk para petinggi perusahaan (high level employee) yang mendapatkan berbagai fasilitas seperti rumah, mobil, dan lain sebagainya. Hal ini mencederai prinsip keadilan horisontal. Seharusnya dengan nilai yang sama, pegawai yang mendapat tunjangan berupa uang transportasi dan pegawai yang mendapat fasilitas mobil kantor misalnya, sama-sama dikenai pajak.
Perlu Perhatian
Dengan terbitnya UU HPP, skema pemajakan natura dikembalikan pada hakikatnya, yaitu menjadi objek pajak dan boleh dikurangkan sebagai biaya bagi perusahaan (taxable-deductible). Namun, diatur pula natura yang dikecualikan sebagai objek pajak yang meliputi: makanan, bahan makanan, bahan minuman, dan/atau minuman bagi seluruh pegawai; yang disediakan di daerah tertentu; yang harus disediakan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan; yang bersumber/dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa; atau natura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan/atau batasan tertentu.
Menurut Penjelasan Pasal 28 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022, pengecualian natura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan/atau batasan tertentu dan bahan makanan dan/atau bahan minuman bagi seluruh pegawai dengan batasan nilai tertentu antara lain berupa bingkisan dalam rangka hari raya atau fasilitas peribadatan di lokasi kerja yang dimanfaatkan oleh semua pegawai. Menilik dari jenis pengecualian dan penjelasannya, dapat ditarik kesimpulan bahwa natura dan kenikmatan yang tidak dikenai pajak lebih mengedepankan prinsip keadilan horisontal.
Menurut penulis, penerapan pajak natura ini akan memberi dampak positif terhadap penerimaan negara. Dari sisi perusahaan, sifat natura dan kenikmatan yang boleh menjadi biaya pengurang penghasilan telah sesuai dengan prinsip dasar perpajakan.
Beberapa hal yang perlu menjadi perhatian otoritas pajak antara lain pengecualian beberapa jenis natura yang bersifat nontaxable-deductible dapat menjadi celah perencanaan pajak sehingga perlu diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menter Keuangan. Menurut Dewanto dan Wijaya (2018), pengecualian tersebut memicu upaya-upaya tax planning yang tentunya merugikan negara dari segi penerimaan pajak.
Selain itu, perlu diatur lebih detail tentang nilai yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak. Sebagaimana diketahui, nilai natura dihitung berdasarkan harga pasar, sedangkan nilai kenikmatan berdasarkan jumlah biaya yang dikeluarkan atau seharusnya dikeluarkan pemberi. Hal ini memerlukan regulasi lebih lanjut, terutama untuk jenis natura yang perlakuan pajaknya belum jelas, seperti employee stock option plan (ESOP). Dengan regulasi yang lebih jelas, baik perusahaan maupun pemberi kerja akan mendapatkan kepastian hukum dan terhindar dari kesalahan hitung atau kesalahan memotong pajak natura.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 319 kali dilihat