Mengapa Harus Menggunakan Dasar Pengenaan Pajak Nilai Lain?
Oleh: (Afrialdi Syah Putra Lubis), pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Pada tanggal 31 Desember 2024 lalu, Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131 Tahun 2024 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Impor Barang Kena Pajak, Penyerahan Barang Kena Pajak, Penyerahan Jasa Kena Pajak, Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean, dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean (PMK 131/2024).
Pascapenerbitan PMK 131/2024 yang merupakan bagian dari implementasi penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% tersebut, terjadi penambahan klasifikasi Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) yang masuk golongan barang mewah dan non barang mewah akan menjadi tambahan daftar klasifikasi DPP dalam penerbitan faktur pajak.
Transaksi penyerahan BKP yang tergolong mewah akan menggunakan kode faktur 01, sedangkan transaksi penyerahan BKP yang tidak tergolong mewah akan menggunakan kode faktur 04 dengan DPP Nilai Lain sebagai dasar perhitungan. Sebelumnya, dalam praktik penerbitan faktur pajak tidak ada perbedaan penggunaan kode faktur pajak antara kategori BKP yang tergolong mewah dengan yang tidak. Seluruhnya menggunakan kode faktur 01.
Berdasarkan Pasal 16G Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN/PPnBM) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), ketentuan lebih lanjut mengenai nilai lain diatur dalam PMK.
DPP nilai lain diimplementasikan untuk pertama kalinya dalam sejarah PPN sejak tahun 1994, yaitu saat diundangkannya perubahan pertama UU PPN/PPnBM. Adapun perubahan pertama tersebut ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU 11/1994).
Saat itu, ketentuan lebih lanjut mengenai DPP nilai lain tersebut kemudian diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 642/KMK.04/1994 tentang Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak (KMK 642/1994). Dalam KMK tersebut, terdapat total 8 penyerahan BKP dan JKP menjadi yang menggunakan nilai lain sebagai DPP-nya.
Sejarah Nilai Lain sebagai DPP
Sejak disahkan pada tanggal 31 Desember 1983, UU 8/1983 telah mengalami lima kali perubahan. Pada setiap perubahannya, terdapat perluasan makna DPP dan perubahan kategori penyerahan yang menggunakan nilai lain.
DPP menurut UU 8/1983 adalah jumlah harga jual, penggantian yang diminta atau yang seharusnya diminta oleh penjual atau pemberi jasa atau nilai impor yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang. Dari definisi tersebut, DPP hanya terdiri atas tiga jenis, yaitu harga jual, penggantian, dan nilai impor.
Pada perubahan pertama UU 8/1983 lewat UU 11/1994, dari pengertian DPP dalam Pasal 1 huruf n, terdapat perluasan DPP dari yang awalnya hanya berjumlah tiga jenis menjadi lima jenis, yaitu harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, dan nilai lain. Dalam hal ini, nilai lain sudah masuk ke dalam pengertian DPP.
Dalam penjelasan UU 11/1994 disebutkan bahwa nilai lain ditetapkan sebagai DPP dalam hal penerapan harga jual, pengantian, nilai impor, atau nilai ekspor akan menimbulkan ketidakadilan atau karena harga jual atau penggantian sukar ditetapkan. Dalam konsiderans KMK 642/1994 disebutkan bahwa penetapan nilai lain sebagai DPP adalah dalam rangka mewujudkan keadilan dan kemudahan dalam pelaksanaan pemungutan PPN.
Pada perubahan kedua UU 8/1983 lewat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU 18/2000), DPP tetap terdiri atas 5 jenis. Dalam penjelasan Pasal 9 ayat (1) UU 18/2000, disebutkan bahwa DPP dapat ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) hanya untuk menjamin rasa keadilan dalam hal: a) harga jual, nilai penggnatian, nilai impor, dan nilai ekspor sukar ditetapkan; dan/atau b) penyerahan BKP yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak, seperti air minum, listrik, dan sejenisnya.
Pada perubahan ketiga UU 8/1983 lewat Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU 42/2009), jumlah jenis DPP masih sama dengan sebelumnya. Namun, melalui Pasal 8A ayat (2) UU 42/2009, ketentuan mengenai nilai lain berubah menjadi diatur dengan PMK.
Dalam penjelasan pasal tersebut juga dimuat klausul pertimbangan atas penetapan DPP berupa nilai lain yang hanya untuk menjamin rasa keadilan dalam hal: a) harga jual, nilai penggantian, nilai impor, nilai ekspor sukar ditetapkan; dan/atau b) penyerahan BKP yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak, seperti air minum dan listrik.
Langsung beralih ke perubahan kelima UU 8/1983 karena tidak terdapat perubahan mengenai ketentuan nilai lain dalam perubahan keempat UU 8/1983, lewat UU HPP, ketentuan lebih lanjut mengenai nilai lain yang diatur dalam PMK dipindahkan menjadi ketentuan Pasal 16G. Penjelasan Pasal 16G tersebut menyebutkan bahwa pemberlakuan DPP berupa nilai lain dilakukan untuk menjamin kepastian hukum dalam hal harga jual, nilai penggantian, nilai impor, dan nilai ekspor sebagai DPP sukar ditetapkan.
Apabila dikaitkan dengan pemberlakuan nilai lain sebagai DPP dalam ketentuan terakhir, sebagai rangkuman dari lima kali perubahan UU 8/1983, nilai lain ditetapkan sebagai DPP apabila DPP selain dari nilai lain implementasinya sulit ditetapkan jika menggunakan tarif PPN yang berlaku umum. Di samping itu, penetapan tersebut dilakukan atas dasar asas keadilan dan asas kepastian hukum.
Peran DPP Nilai Lain
DPP nilai lain beberapa kali diatur dengan PMK. Ketentuan yang pertama kali mengatur DPP nilai lain adalah PMK Nomor 75/PMK.03/ 2010 tentang Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak. Beberapa kali diubah, ketentuan terakhir adalah PMK Nomor 71/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu. Menurut ketentuan tersebut, nilai lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai dasar pengenaan pajak.
Salah satu alasan mengapa diterapkan DPP nilai lain pada penerbitan faktur pajak secara praktik adalah karena terdapat beberapa transaksi yang penyerahannya sulit diterapkan dengan perhitungan yang berlaku umum dan demi asas keadlian bagi wajib pajak yang penyerahannya masuk ke dalam kategori tersebut.
Sulit diterapkan dan asas keadilan menjadi dua kata kunci dalam implementasi penyerahan ini. Makna dari sulit diterapkan diartikan bahwa terdapat transaksi yang jika menggunakan DPP umum saat penyerahannya dapat menimbulkan pertanyaan. Salah satunya disebabkan karena banyaknya faktor pendukung dan yang bersinggungan dengan regulasi lain dalam menentukan harga jual. Di samping itu, terdapat pengaruhnya terhadap daya beli masyarakat sebagai pengguna akhir dari BKP atau JKP tersebut.
Sementara itu, asas keadilan, menurut hemat penulis, bermakna negara melalui undang-undang menjamin bahwa pungutan pajak berlaku secara umum tanpa diskriminasi. Artinya, kondisi yang sama diperlakukan secara adil.
Kemudahan bagi Wajib Pajak
Asas keadilan dalam tujuan pemberlakuan DPP nilai lain bagi wajib pajak selaku pelaku usaha berkaitan dengan pemberian kemudahan dalam implementasi aturan perpajakan, baik dari sisi nilai akhir PPN maupun kewajiban pelaporan. Kemudahan ini juga berpengaruh positif terdahap lawan transaksi wajib pajak yang tidak terbebani oleh perolehan PPN yang mereka tanggung selaku pembeli.
PPN merupakan pajak yang bersifat tidak langsung karena pembayaran atau pemungutan pajaknya disetorkan oleh pihak lain yang bukan penanggung pajak. Oleh sebab itu, nilai pembelian atau perolehan yang diterima oleh wajib pajak yang berstatus sebagai pembeli akan sangat diberatkan jika DPP menggunakan penghitungan umum.
Sebagai contoh, lagi-lagi menurut pandangan penulis, penyerahan pupuk bersubsidi, penyerahan liquified petroleum gas (LPG) tertentu, dan penyerahan produk hasil tembakau merupakan beberapa contoh penyerahan yang menggunakan DPP nilai lain. Ketiga penyerahan BKP memiliki harga jual ke masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh daya beli. Oleh karena itu, penentuan DPP nilai lain atas ketiga penyerahan tersebut dilakukan untuk mengakomodasi kebutuhan konsumen.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 1553 kali dilihat