Menelusuri Aspek PPN pada Segelas Kopi

Oleh: Ika Hapsari, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Berita nasional diramaikan dengan wacana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mulai tahun 2022. Isu ini mencuat setelah Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati menyampaikannya dalam Musyawarah Perancangan Pembangunan Nasional 2021 pada 4 Mei 2021.
Sebagaimana diketahui, PPN menyasar objek pemajakan pada hampir seluruh barang dan jasa, kecuali yang tergolong negative list (dikecualikan). Objek PPN dapat berupa penyerahan atas Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP). Secara rinci termaktub dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana beberapa kali telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah(UU PPN). Praktis, ihwal yang menyangkut hajat hidup banyak orang ini pun menjadi perbincangan hangat khalayak luas.
Sebelum bergabung dalam keramaian polemik lini masa, mari mengenali sejumlah karakteristik khas PPN dalam ilustrasi segelas kopi.
Pajak Objektif
Seorang reporter berita memberikan sebuah contoh yang salah kaprah terkait simulasi kenaikan tarif PPN pada sebuah kilas berita siang di salah satu stasiun televisi yang penulis saksikan. Ia menjelaskan contoh ilustrasi perubahan ketika pengenaan tarif PPN yang semula sepuluh persen naik menjadi lima belas persen. Biasanya, konsumen akan membayar segelas kopi kekinian seharga Rp20.000 ditambah PPN senilai Rp22.000. Akibat kenaikan tarif PPN menjadi lima belas persen akhirnya harus dibayar lebih mahal menjadi Rp23.000,00. Telah terjadi mispersepsi pada ilustrasi ini yang berpotensi melahirkan kekeliruan paradigma dalam memahami PPN.
Pertama, kopi siap minum yang dijual pada kedai kopi waralaba bukan contoh tepat untuk merepresentasikan objek pajak yang dikenai PPN. Hal ini didasarkan pada Pasal 4A ayat (2) UU PPN yang menyebutkan bahwa makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering merupakan barang yang dikecualikan dari pengenaan PPN.
Kedua, contoh pengenaan pajak atas kopi siap minum ini lebih pas dikategorikan sebagai pajak restoran yang tergolong dalam ranah pajak daerah. Potensi kekeliruan anggapan terjadi karena pada umumnya nota pembelian makanan atau minuman mencantumkan tambahan komponen pajak bertuliskan “PPn” yang disalah artikan oleh pembeli sebagai Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPn disini lebih bermakna sebagai Pajak Penjualan (pajak restoran) yang ditanggung oleh konsumen dengan tarif yang disesuaikan dari peraturan daerah masing-masing. Pajak ini dikenakan atas pelayanan penjualan makanan dan minuman oleh restoran, kafe, kedai, dan sejenisnya. Pengenaan tarif sebesar sepuluh persen yang sama dengan tarif PPN inilah yang melahirkan mispersepi selama ini.
PPN berada di bawah otorisasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) selaku otoritas pemungut pajak pusat sementara pajak restoran dikelola oleh pemerintah daerah kabupaten/kota. Baik PPN maupun pajak restoran merupakan pajak atas konsumsi umum dalam negeri yang ditanggung oleh masyarakat tanpa melihat apakah subjek tersebut merupakan wajib pajak atau bukan. Dengan kata lain, konsumen berperan sebagai pemikul beban pajak alias kondisi subjektif subjek pajak tidak menentukan jumlah pajak yang dikenakan. Semua orang akan menanggung pajak dengan jumlah yang sama, sehingga PPN acapkali disebut dengan pajak objektif.
Sayangnya dari persepektif berbeda, pajak objektif ini memunculkan dampak regresif. Implikasi regresif ini bermakna, semakin tinggi kemampuan konsumen, semakin ringan pajak yang dipikul, sementara semakin rendah kemampuan konsumen, semakin berat beban pajak yang dipikul. Mungkin karakteristik inilah yang kemudian memicu diskusi publik atas wacana kebijakan kenaikan tarif PPN pada tahun 2022.
Meskipun menganut sistem tarif tunggal, Pasal 7 ayat (2) UU PPN jelas menyebutkan peluang perubahan tarif PPN serendah-rendahnya lima persen dan setinggi-tingginya lima belas persen. Menteri Keuangan RI sendiri mengemukakan bahwa wacana kenaikan tarif PPN ini didasarkan atas implementasi reformasi perpajakan dalam rangka mendorong konsolidasi dan keberlanjutan fiskal Indonesia tahun 2022. Tujuan khusus lainnya adalah menggenjot penerimaan negara dalam upaya mengisi kas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan karakteristik PPN sebagai pajak objektif tadi, kontribusi PPN diharapkan mampu menambal gap defisit APBN agar tidak kian melebar dalam upaya percepatan pemulihan ekonomi nasional.
Pajak Tidak Langsung
Bergeser kembali dengan diskusi tentang segelas kopi. Bagaimana dengan kopi bubuk kemasan atau kopi kemasan siap minum instan yang dijual di toko swalayan? Apakah dikenakan PPN? Jawabannya iya. Perhatikan nota penjualan yang diperoleh dari kasir. Umumnya akan tertera nama unit usaha beserta Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pada faktur penjualan sederhana tersebut. Di bagian total belanja, penjual akan mengalikan dengan tarif PPN sebesar sepuluh persen, sehingga harga yang dibayarkan konsumen adalah Dasar Pengenaan Pajak (DPP) berupa harga jual ditambah PPN.
Penjual di sini berperan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menjual Barang Kena Pajak (BKP). Kopi kemasan yang dijual termasuk dalam BKP dan atas penjualannya harus dipungut PPN oleh PKP untuk kemudian disetorkan ke kas negara. Mekanisme ini menggambarkan PPN sebagai pajak tidak langsung, pemikul beban pajak dan penanggung jawab pelaporan dan pembayaran pajak berada pada pihak-pihak yang berbeda. Konsekuensi filosofis dari sudut pandang ini adalah apabila konsumen akhir telah membayar BKP kepada PKP, secara tidak langsung pembeli telah membayar pajak ke kas negara. Di sisi lain, dalam hal PKP tidak menyetorkan PPN yang dipungutnya ke kas negara atau bahkan tidak memungut PPN, maka tanggung jawab berada pada penjual (PKP).
Ketentuan terkait PKP sendiri termuat dalam Pasal 3A ayat (1) dan (2) UU PPN. Bahwa pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dengan batasan penghasilan bruto sebesar Rp4,8 miliar per tahun wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi PKP. Sementara bagi pengusaha kecil dengan omzet di bawah batasan tersebut dapat memilih untuk dikukuhkan menjadi PKP.
Selisih Pajak
Jika ditelusur perjalanan kopi lebih jauh lagi, apakah kopi yang masih berupa biji dikenakan PPN? Jawaban atas pertanyaan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 89/PMK.010/2020 tentang Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak atas Penyerahan Barang Hasil Pertanian Tertentu. Biji kopi tergolong sebagai komoditas hasil perkebunan yang termasuk BKP dalam kriteria DPP Nilai Lain. Dengan kata lain, biji kopi yang dipetik langsung dari pohon oleh PKP petani kemudian dijual kepada pedagang pengepul tersebut terutang PPN. Berapa besarannya? Dalam hal petani menggunakan nilai lain sebagai DPP untuk penyerahan barang pertanian ditetapkan sebesar sepuluh persen dari harga jual. Ketika DPP Nilai Lain dikalikan dengan tarif PPN sepuluh persen, maka PPN yang dibayarkan hanya sebesar satu persen dari harga jual.
Kemudahan pengadministrasian ini membawa dampak tidak dapat dikreditkannya Pajak Masukan (PM) atas penyerahan biji kopi oleh PKP petani ke pengepul. Sebagaimana diketahui, metode penghitungan PPN pada tiap rantai produksi hingga distribusi adalah indirect substraction method. Artinya, PPN yang disetor PKP ke kas negara adalah selisih dari pengurangan PPN yang dipungut PKP dengan pajak yang dibayarkan PKP atau dapat disimpulkan dengan Pajak Keluaran (PK) dikurangi Pajak Masukan (PM). Mekanisme PPN ini untuk menghindari pemungutan pajak berganda.
Baru dari segelas kopi saja, pembaca dapat memperoleh gambaran sederhana perihal PPN dan mengapa pajak ini yang dipilih sebagai opsi fiskal untuk mendongkrak penerimaan negara. Menurut hemat penulis, kenaikan tarif dapat diimbangi dengan perluasan basis pemajakan PPN secara adil dan holistik. Upaya ekstra juga penting digalakkan melalui peningkatan pengawasan pembayaran dan edukasi kepada masyarakat untuk melahirkan kepatuhan sukarela. Dibutuhkan analisis kebijakan yang lebih mendalam untuk menemukan jalan keluar menang-menang antara negara dan rakyat. Urgensi yang menjadi prioritas kini harus diselaraskan dengan harapan berbagai pihak untuk bersama membangkitkan ekonomi. Penetapan kebijakan yang tepat akan menentukan juga masa depan reformasi perpajakan Indonesia.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 687 kali dilihat