Oleh: Putu Dian Pusparini, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Selama masa pandemi, pemerintah memberlakukan aturan “di rumah aja” kepada seluruh masyarakat. Tidak banyak kegiatan yang bisa dilakukan di rumah selain kegiatan inti kehidupan yaitu makan, bekerja, dan tidur. Ada kalanya manusia akan jenuh dengan aktivitas yang dilakukan, entah kegiatan itu merupakan pekerjaan yang rutin dilakukan atau bahkan tidak tahu harus melakukan kegiatan apa lagi.

Salah satu pelarian dari kejenuhan itu adalah dengan melakukan kegiatan menghibur diri seperti menonton film, bernyanyi atau karaoke, menari, atau bahkan membaca komik.

Menonton film di bioskop adalah kegiatan menghibur diri yang lumrah dilakukan. Harga tiketnya pun tidak mahal, mulai dari Rp25.000,00 sampai Rp50.000,00 untuk fasilitas reguler. Sedangkan bioskop dengan fasilitas premium, seperti menonton dengan kasur empuk, tentu saja harganya lebih mahal yaitu berkisar Rp100.000,00 disesuaikan dengan daerah masing-masing.

Namun, selama pandemi berlangsung, bioskop harus ditutup sehingga kegiatan menonton film offline dialihkan menjadi online.

Pajak Hiburan

Perlu diketahui, dari rentang harga Rp25.000,00 sampai dengan Rp100.000,00 yang dibayarkan ke kasir bioskop, sebanyak 35% merupakan pajak hiburan. Bioskop merupakan penyelenggara hiburan, sehingga pajaknya diatur oleh pemerintah daerah bukan pemerintah pusat. Objek pajaknya adalah jasa penyelenggaraan hiburan tersebut dan subjek pajaknya tentu saja penikmat hiburan baik orang pribadi atau badan yang sudah membayar untuk menikmati hiburan tersebut.

Apabila bioskopnya diganti menjadi platform online yang menyediakan ribuan film untuk ditonton pelanggan, bagaimana dengan pengenaan pajaknya?

Kalau dipikir-pikir, pajak daerah ini berbasis kewilayahan. Pemerintah Daerah (Pemda) Kota Denpasar akan memungut pajak atas hiburan di wilayah Kota Denpasar begitu pun dengan daerah-daerah lainnya. Lalu bagaimana dengan platform online? Apakah bisa dipetakan berbasis wilayah? Lalu apa yang dijadikan dasar penentuan wilayah? Kedudukan penyelenggara jasa atau penikmat hiburan? Lalu bagaimana jika penyelenggara jasa tidak berkedudukan di Indonesia?

Atas semua pertanyaan di atas, terbitlah Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-48/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, dan Penyetoran, serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

Dengan terbitnya PMK tersebut, maka akan menjadi adil pengenaan pajak hiburan ini. Sehingga tidak ada kecemburuan ekonomi antara bioskop yang menyediakan tontonan secara offline dengan platform online.

Dikenakan PPN

PMK-48/PMK.03/2020 tersebut mengatur mengenai pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Penyediaan jasa tontonan online pun masuk di dalamnya. Hal ini karena sistem elektronik yang saat ini pesat digunakan tidak bisa mengidentifikasi daerah mana yang harus memungut pajak daerah.

PPN ini berlaku atas pemanfaatan Barang Kena Pajak (BKP) tak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) tak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean melalui PMSE. Dalam hal ini, seluruh produk digital dikenai PPN sebesar 10% dengan dasar pengenaan pajak (DPP) adalah sebesar nilai berupa uang yang dibayar oleh pembeli barang dan/atau penerima jasa.

Seperti yang kita ketahui, PPN berbeda dengan Pajak Penghasilan (PPh) yang pengenaan pajaknya progresif alias melihat keadaan subjek pajaknya. PPN hanya melihat objek pajaknya sehingga tarifnya pun tunggal alias regresif.

PPN dikenakan kepada konsumen BKP atau JKP. Dalam ini adalah pembeli barang dan/atau penerima jasa baik orang pribadi atau badan yang memenuhi kriteria:

  1. Bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di Indonesia;
  2. Melakukan pembayaran menggunakan fasilitas debit, kredit, dan/atau fasilitas pembayaran lainnya yang disediakan oleh institusi di Indonesia;
  3. Bertransaksi dengan menggunakan alamat internet protocol (ip) di Indonesia atau menggunakan nomor telepon dengan kode negara Indonesia.

Sedangkan yang bertugas melakukan pemungutan PPN adalah pelaku usaha PMSE yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Maka dari itu, jika Anda adalah pelanggan setia platform film digital, maka sejak PMK ini diresmikan yaitu 1 Juli 2020, biaya langganan Anda harusnya bertambah, asalkan platform tersebut ditunjuk sebagai pemungut PPN ini.

Urgensi PPN atas PMSE

Kita sudah memasuki zaman digital di mana semuanya serba online. Hal-hal yang masih menggunakan peralatan konvensional terlihat dan terdengar kuno atau “sudah gak zaman”. Makin ke depan, transaksi perdagangan melalui sistem elektronik ini akan semakin populer dan digemari banyak orang.

Direktorat Jenderal Pajak sebagai institusi penghimpun penerimaan negara terbesar harus semakin gesit memperluas basis pemajakan. Jika peraturan pajak tidak direformasi, lama-lama penerimaan pajak anjlok karena sumber ladang pajaknya hilang sudah berganti ke sistem lain.

Dengan reformasi pajak yang lebih menyesuaikan zaman, penerimaan pajak bisa semakin meningkat dan adil di antara para pelaku usaha baik online maupun offline.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.