Menelisik Isu Pajak Ganda dalam Usaha Rumah Makan
Oleh: Rendy Brayen Latuputty, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Petugas Pajak: Bapak punya kewajiban bayar pajak setengah persen dari omzet rumah makan bapak setiap bulannya.
Pengusaha Rumah Makan: Saya kan sudah bayar pajak sepuluh persen, Pak. Masak dipajaki lagi?
Percakapan seperti di atas jamak terjadi ketika petugas pajak meminta para pengusaha rumah makan untuk memenuhi kewajiban pajak penghasilan (PPh)-nya. Para pengusaha rumah makan beranggapan bahwa mereka dikenakan pajak ganda (double taxation) bila harus membayar PPh Final berdasarkan PP 23 Tahun 2018 (PPh Final UMKM). Sebab, mereka merasa selama ini sudah membayar pajak sebesar sebesar 10 persen. Apakah anggapan tersebut benar?
Pajak Daerah
UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) mengatur bahwa pajak restoran masuk dalam kategori pajak daerah, tepatnya pajak kabupaten/kota. Beleid tersebut mendefinisikan pajak restoran sebagai pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran. Lebih lanjut, restoran didefinisikan sebagai fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering. Jadi, atas pelayanan yang disediakan oleh rumah makan dikenai pajak restoran berdasarkan UU PDRD. Dengan demikian, rumah makan dikenai pajak daerah berupa pajak restoran.
Ketika berbicara tentang pajak, sudah barang tentu kita bicara objek, subjek, dasar pengenaan pajak (DPP), dan tarif. Bagaimana dengan pajak restoran?
Objek. Pasal 37 ayat (1) UU PDRD menyebutkan bahwa objek pajak restoran adalah pelayanan yang disediakan oleh restoran. Pelayanan seperti apa? Ayat (2) dari pasal tersebut menjelakan bahwa palayanan yang dimaksud meliputi pelayanan penjualan makanan dan/atau minuman yang dikonsumsi oleh pembeli, baik dikonsumsi di tempat pelayanan maupun di tempat lain. Jadi, penjualan makanan dan/atau minuman oleh rumah makan, baik yang dikonsumsi langsung di rumah makan tersebut maupun dibawa pulang (take away), merupakan objek pajak restoran.
Subjek. Secara sederhana, subjek pajak dapat diartikan sebagai pihak yang dituju oleh undang-undang untuk dikenai pajak. Maksudnya, pihak tersebutlah yang sesungguhnya menanggung beban pajak. Hal ini penting untuk diketahui karena pihak ‘menanggung’ beban pajak bisa berbeda dengan pihak yang ‘membayar’ pajak ke kas negara/kas daerah.
Subjek pajak restoran sendiri ialah orang pribadi atau Badan yang membeli makanan dan/atau minuman dari restoran. Jadi dalam kasus rumah makan, pihak yang sesungguhnya menanggung beban pajak restoran adalah pembeli, bukan rumah makan. Tapi, bukankah yang membayar pajak restoran ke kas daerah adalah rumah makan?
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, pihak ‘menanggung’ beban pajak bisa berbeda dengan pihak yang ‘membayar’ pajak ke kas negara/kas daerah. Dalam kasus rumah makan, rumah makan hanya “dititipi” pajak restoran oleh pembeli untuk disetorkan ke kas daerah. Sebab, nilai yang dibayarkan pembeli kepada restoran mencakup harga makanan/atau minuman ditambah pajak restoran. Jadi dalam kasus ini, rumah makan tidak menanggung beban pajak restoran.
DPP. Dasar pengenaan pajak restoran adalah jumlah pembayaran yang diterima atau yang seharusnya diterima restoran. Ini termasuk service charge yang biasanya dikenakan oleh restoran.
Tarif. UU PDRD mengatur bahwa tarif pajak restoran ditetapkan paling tinggi sebesar 10%. Beleid tersebut juga mengatur bahwa tarif pajak restoran ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Jadi, besaran tarif pajak restoran di setiap kabupaten/kota bisa saja berbeda, asalkan tidak melebihi 10%. Namun, kebanyakan kabupaten/kota menetapkan tarif maksimal untuk pajak restoran. Sebagai contoh Kabupaten Bogor yang menetapkan tarif pajak restoran sebesar 10% melalui Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 2 Tahun 2016 tentang Pajak Daerah.
Contoh kasus: Bandon Wanirno makan di Rumah Makan Bersahaja yang berada di Kabupaten Bogor dengan perincian sebagai berikut:
Makanan Rp2.000.000
Minuman Rp500.000
Subtotal Rp2.500.000
Service Charge Rp250.000
Total Rp2.750.000
Perhitungan pajak restoran atas transaksi ini adalah sebagai berikut:
Pajak restoran : Tarif x DPP
: 10% x Rp2.750.000 = Rp275.000
Dalam kasus ini, Bandon Wanirno membayar kepada Rumah Makan Bersahaja sebesar Rp3.025.000 yang mencakup nilai tagihan sebesar Rp2.750.000 ditambah pajak restoran sebesar Rp275.000. Kemudian, Rumah Makan Bersahaja wajib menyetorkan pajak restoran yang “dititipkan” oleh Bandon Wanirno sebesar Rp275.000 ke Kas Daerah. Di sini terlihat jelas bahwa yang sebenarnya menanggung beban pajak restoran adalah Bandon Wanirno selaku pembeli, bukan Rumah Makan Bersahaja. Rumah Makan Bersahaja hanya menyetorkan “uang titipan” ke Kas Daerah.
PPh Final UMKM—Bukan Pajak Ganda bagi Rumah Makan
Seperti sudah diuraikan di atas, yang dikenai pajak restoran sebenarnya adalah pembeli, bukan rumah makan. Jadi, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa rumah makan dikenai pajak ganda dengan adanya PPh Final UMKM. Justru PPh Final UMKM ini memberikan sederet kemudahan bagi para Wajib Pajak, termasuk bagi para pengusaha rumah makan. Apa saja itu?
- Tarif rendah. PPh Final UMKM menggunakan tarif tunggal sebesar 0,5%. Relatif lebih rendah dibading tarif umum pasal 17 UU PPh yang bisa mencapai 30%.
- Perhitungan simpel. Cara menghitung PPh Final UMKM cukup dengan mengalikan tarif tunggal sebesar 0,5% dengan omzet per bulan. Simpel bukan?
- Pelaporan sederhana. Bila sudah menyetor PPh Final UMKM, Wajib Pajak tidak perlu lagi repot-repot lapor SPT Masa. Sebab, dalam PPh Final UMKM tanggal penyetoran dianggap juga sebagai tanggal pelaporan SPT Masa. Jadi, Wajib Pajak cukup melaporkan SPT sekali dalam setahun, yaitu SPT Tahunan PPh.
Dengan sederet kemudahan yang ada pada PPh Final UMKM, sudah selayaknya para pengusaha rumah makan patuh dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, khususnya kewajiban PPh Final UMKM. Tidak pas rasanya kalau masih berkilah dikenai pajak ganda. Jangan sampai #SudahPunyaTapiBelum (sudah punya omzet tapi belum setor PPh Final UMKM-nya). Selain itu, di “musim” SPT Tahunan seperti sekarang ini, para pengusaha rumah makan bisa menunjukkan kepatuhan sukarelanya dalam bentuk lain, yaitu lapor SPT Tahunan lebih awal tanpa harus menunggu batas akhir pelaporan karena #LebihAwalLebihNyaman.
*)Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja
- 10342 kali dilihat