Mencegah Sengketa Transfer Pricing dengan Advance Pricing Agreement

Oleh: Astriana Widyawirasari, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Wajib pajak dalam melaksanakan tranksaksi bisnis --baik penjualan maupun pembelian-- seringkali bertransaksi dengan pihak-pihak terafiliasi atau yang memiliki hubungan istimewa. Hal ini terutama sering terjadi pada wajib pajak badan yang berstatus perusahaan multinasional. Kita perlu menengok ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh), dan diselaraskan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonsasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Menurut Pasal 18 ayat (4) UU PPh, hubungan istimewa dimaksud dapat terjadi dalam hal wajib pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% pada wajib pajak lain; hubungan antara wajib pajak dengan penyertaan paling rendah 25% pada dua wajib pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua wajib pajak atau lebih yang disebut terakhir. Hubungan istimewa juga dapat terjadi dalam hal wajib pajak menguasai wajib pajak lainnya atau dua atau lebih wajib pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung. Selain itu, hubungan istimewa juga dapat terjadi apabila terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
Jika terjadi jual-beli hubungan istimewa, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan wajib pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Yang dimaksud dengan “prinsip kewajaran dan kelaziman usaha” adalah prinsip di dalam praktik bisnis yang sehat sebagaimana berlaku di antara pihak-pihak yang tidak memiliki dan/atau dipengaruhi hubungan istimewa. Prosedur penentuan kembali transaksi agar sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha tentunya saja harus diuji melalui proses pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan wajib pajak.
Proses ini tentu saja akan memakan waktu yang tidak singkat, belum lagi jika setelah itu akan timbul berbagai sengketa perpajakan yang berujung dengan adanya upaya hukum perpajakan diantaranya upaya keberatan atas hasil pemeriksaan, upaya banding atas hasil putusan keberatan dan bahkan upaya peninjauan kembali atas hasil putusan banding. Hal ini tentu saja akan membuat proses semakin berlarut-larut, sedangkan kita membutuhkan kepastian hukum.
Untuk menghindari hal tersebut, terdapat suatu prosedur yang dapat dimanfaatkan oleh wajib pajak yaitu Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) sebagaimana telah diatur dalam UU PPh Pasal 18 ayat (3a) dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 22/PMK.03/2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) (selanjutnya disebut PMK-22). Dengan prosedur ini, Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan wajib pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir. Sebagaimana tercantum pada ketentuan tersebut, Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement/APA) adalah kesepakatan antara wajib pajak dan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties) dengannya. Persetujuan antara wajib pajak dan Direktur Jenderal Pajak tersebut dapat mencakup beberapa hal, antara lain harga jual produk yang dihasilkan, jumlah royalti dan lain-lain, tergantung pada kesepakatan.
Cegah Penyalahgunaan
Tujuan utama diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multinasional. Adapun keuntungan dari APA dari sisi fiskus di antaranya memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak karena fiskus tidak perlu lagi melakukan koreksi atas harga jual dan keuntungan produk yang dijual wajib pajak kepada perusahaan dalam grup yang sama. Dengan demikian, lantaran adanya APA, sumber daya dapat dikerahkan untuk kegiatan lainnya. Sementara dari sisi wajib pajak, APA ini memberikan kepastian perlakuan perpajakan atas transaksi afiliasi yang pada akhirnya berimbas juga menghasilkan kepastian usaha bagi wajib pajak. Lebih jauh lagi, dengan APA ini akan tercipta lower compliance cost karena pengajuan APA tidak dipungut biaya dan selain itu wajib pajak akan lebih menghemat waktu dan biaya karena Wajib Pajak terhindar dari sengketa perpajakan yang berkepanjangan.
Sesuai dengan PMK-22, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan APA paling lama lima tahun pajak setelah tahun diajukannya permohonan APA ataupun tahun-tahun pajak sebelum periode APA (roll back) kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pajak terdaftar secara langsung maupun melalui saluran lain sepanjang memenuhi ketentuan. Ketentuan dimaksud diantaranya adalah telah menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) tiga tahun terakhir, diwajibkan dan melaksanakan kewajiban menyelenggarakan Transfer Pricing Documentation tiga tahun terakhir, tidak sedang dilakukan penyidikan atau menjalani tindak pidana perpajakan, transaksi afiliasi dan pihak afiliasi dilaporkan dalam SPT serta usulan penentuan harga transfer tidak menyebabkan laba operasi menjadi lebih kecil. Permohonan APA dapat dipertimbangkan dalam hal telah diisi benar, lengkap, dan jelas, ditandatangani pengurus yang namanya tercantum dalam akta, diajukan dalam periode sampai dengan enam bulan sebelum dimulainya Periode APA serta dilampiri dengan surat pernyataan bersedia melengkapi seluruh dokumen yang diperlukan dalam proses APA dan surat pernyataan bersedia melaksanakan kesepakatan APA.
Atas permohonan APA yang dianggap sudah lengkap tersebut, Direktorat Jenderal Pajak selanjutnya akan melakukan pengujian material dengan menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Selanjutnya akan dilakukan perundingan antara pihak Direktorat Jenderal Pajak dan wajib pajak ataupun Pejabat Berwenang Mitra P3B. Hasil perundingan dapat berisi kesepakatan atau ketidaksepakatan atas kriteria-kriteria dalam penentuan harga transfer dan penentuan harga transfer. Adapun atas Naskah APA yang berisi kesepakatan ditindaklanjuti dengan menerbitkan keputusan pemberlakuan APA paling lama sebulan sejak Naskah APA ditandatangani.
Tindak Lanjut APA
Atas kesepakatan APA yang telah diterbitkan, wajib pajak maupun fiskus harus melaksanakan kesepakatan dalam APA. Dalam hal wajib pajak telah menyampaikan SPT PPh Badan dan sepanjang belum dilakukan tindakan pemeriksaan serta terdapat kekurangan pembayaran PPh yang terutang dihitung berdasarkan kesepakatan APA, Wajib Pajak harus melakukan pembetulan SPT PPh Badan sesuai kesepakatan APA paling lambat sebulan setelah diterbitkannya keputusan pemberlakuan APA.
Sebaliknya, jika wajib pajak sedang dilakukan pemeriksaan atas Periode APA dan/atau roll-back, fiskus harus menerbitkan SKP PPh Badan dengan memperhitungkan kesepakatan dalam APA, dan dalam hal telah diterbitkan SKP atas tahun pajak dalam Periode APA maka fiskus harus melakukan pembetulan atas SKP secara jabatan dengan memperhitungkan kesepakatan dalam APA.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 857 kali dilihat