Menanti UMKM Bebas Pajak (Selamanya)

Oleh: Devitasari Ratna Septi Aningtiyas, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Beberapa hari yang lalu, ada pesan masuk dari nomor tidak dikenal menghubungi saya lewat pesan Whatsapp. Setelah menyapa dan basa-basi bertanya kabar sebagai bentuk unggah-ungguh orang Indonesia, ia pun mengajukan pertanyaan yang menjadi maksud dan tujuan utamanya menghubungi saya. “Kalau aku mau bayar pajak bulanan yang tahun 2020 apa masih bisa ya? Terus sekalian mau lapor SPT Tahunan,” tanyanya.
Saya tidak langsung membalas, tetapi saya mencermati terlebih dahulu info kontak orang tersebut dan mengingat dari mana ia bisa mendapatkan nomor saya. Setelah saya cek, ternyata ia adalah salah satu anggota Whatsapp Grup Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) binaan hasil kegiatan Business Development Services (BDS) tahun lalu.
“Silakan, Bu. Seluruh proses pembayaran dan pelaporan pajak serba online,” jawabku. Ia bertanya lagi, “Saya masih agak bingung untuk pengisiannya Mbak, apakah saya bisa datang langsung ke kantor pajak?” tanyanya kembali. “Bisa, Bu. Datang saja ke bagian konsultasi dan jangan lupa siapkan catatan pemasukan yang didapat tiap bulannya ya,” ujarku.
Setelah percakapan dengan Ibu anggota UMKM ini, sebut saja Ibu Cinta, saya teringat salah satu pesan Benjamin Franklin kepada Jean-Baptise Le Roy pada tahun 1789 yakni “Tidak ada yang pasti di dunia ini kecuali kematian dan pajak”. Kita sebagai warga negara yang patuh kepada pemerintah dan berniat untuk gotong royong membangun negeri ini melalui salah satu cara yaitu membayar pajak. Namun, dapatkah kita terutama pelaku UMKM terbebas dari pajak?
Mari kita cermati kewajiban perpajakan bagi para pelaku UMKM saat ini. Sejak bulan Juli tahun 2018, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, wajib pajak yang memiliki peredaran bruto kurang dari Rp4,8 miliar tiap tahunnya dapat menggunakan tarif sebesar 0,5% dari omzet tiap bulannya.
Jangka waktu pemanfaatan tarif ini pun beragam yakni tujuh tahun bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, empat tahun bagi Wajib Pajak Badan berbentuk koperasi, cv, atau firma, dan tiga tahun bagi Wajib Pajak Badan berbentuk PT.
Tentunya, para pelaku UMKM tiap bulan harus menyetorkan pajaknya berapapun omzetnya. Hasil pengamatan saya, ada tukang cuci motor yang tiap harinya memperoleh penghasilan Rp60.000 (biaya cuci per motor sebesar Rp15.000) hingga Rp150.000 dan sebulan omzetnya berkisar Rp1.800.000 hingga Rp4.500.000. Jadi, besaran pajak yang harus ia setorkan tiap bulan berkisar Rp9.000.
Kalau kita bandingkan dengan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) terbaru yaitu Rp4.500.000/bulan atau Rp54.000.000/tahun, maka akan masih timpang pengenaan pajak bagi para pelaku UMKM ini.
Lebih dari 65 juta UMKM tersebar di Indonesia yang menopang perekonomian kita. UMKM memberikan perluasan kesempatan kerja bagi rakyat kita. Tentunya, mereka menunggu angin segar dari pemerintah agar dapat bernafas lebih lega terlebih pada masa pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai.
Program PEN
Selain penanganan krisis kesehatan, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk penanganan perekonomian nasional melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) kepada sektor yang terdampak khususnya UMKM. Banyak stimulus yang dikeluarkan seperti pembebasan pajak bagi UMKM terdampak hingga akhir tahun 2021 mendatang.
Tak hanya itu, pemerintah memberikan subsidi bunga kepada para UMKM, bantuan produktif usaha mikro, subsidi imbal jasa penjaminan, dan lain-lain. Adanya stimulus tersebut diharapkan dapat membantu stabilitas perekonomian UMKM terdampak.
Namun, apakah sudah efektif program ini? Tiada gading yang tak retak. Masih banyak para pelaku UMKM yang belum memanfaatkan program ini karena belum teredukasi dengan baik. Lantas, jika pandemi usai apakah program-progam ini akan terus berlangsung?
Pemerintah ingin “melanjutkan” program PEN ini hingga ke depannya, tentunya dengan syarat-syarat khusus. Bentuk stimulus ini menunjukkan betapa keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat ekonomi menengah ke bawah.
PTKP UMKM
Para pelaku UMKM yang menanti angin segar bebas pajak berkelanjutan sepertinya dapat memupuk pohon harapan dengan baik. Pemerintah sedang menggodok rencana kebijakan adanya PTKP bagi UMKM melalui revisi Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Kebijakan baru ini “kalau jadi” akan masuk pada susunan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Pajak (UU HPP). Jika Anda sering mencermati berita, pasti Anda bertanya-tanya mengapa pemerintah sering merevisi atau membuat peraturan pengganti? Ya, pemerintah bukannya labil namun memperhatikan kondisi atau keadaan terkini dan UU HPP bertujuan untuk menuju pajak yang adil, sehat, efektif, dan akuntabel.
Lantas, berapa pantasnya batasan PTKP bagi UMKM ini? Direncanakan, batas peredaran bruto yang dikenakan pajak adalah Rp500 juta per tahun atau sekitar Rp41 juta per bulan. Nominal yang fantastis dan sangat menjangkau para pelaku UMKM yang masih berkembang.
Kita doakan saja, agar kebijakan ini dapat disetujui oleh para pemangku kebijakan dan dapat dilaksanakan dengan baik sehingga para pelaku UMKM dapat bernafas lega dan dapat menjalankan roda perekonomian Indonesia dengan lancar. Seperti kata Abraham H. Maslow, “Seseorang bisa bergerak mundur dan nyaman, atau maju terus dan bertumbuh.” Setuju?
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 744 kali dilihat