Menanti Formula Apik untuk Rasio Pajak yang Naik

Oleh: Teddy Ferdian, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Dalam kurun lima tahun terakhir, rasio pajak Indonesia masih belum bisa menembus angka 11%. Angka tertinggi diperoleh pada tahun 2022, 10,4%. Itu pun boleh jadi dipengaruhi oleh adanya Program Pengungkapan Sukarela (PPS) serta kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11% dan tax bracket Pajak Penghasilan (PPh) 35% yang cukup mampu mendongkrak penerimaan pajak pada tahun tersebut.
Gagasan, pendapat, maupun usulan kebijakan banyak mengemuka terkait upaya meningkatkan rasio pajak. Gagasan ini bahkan muncul juga menjadi gagasan calon pemimpin bangsa dalam pesta demokrasi lima tahunan di Indonesia. Formula-formula peningkatan rasio pajak bermunculan sebagai gambaran kebijakan yang akan diambil pemimpin negeri jika nanti terpilih oleh mayoritas rakyat.
Sebagaimana kita ketahui, rakyat Indonesia baru saja menunaikan hak pilih mereka untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi dan Kabupaten/Kota. Memang masih ada beberapa daerah yang harus mengadakan pemungutan suara ulang karena berbagai alasan, namun secara umum, kini rakyat sedang menunggu kepastian siapa yang akan menjadi pemimpin negeri dan wakil mereka yang akan duduk di parlemen, baik pusat maupun daerah.
Tantangan lama yang belum dapat ditemukan solusi ampuhnya ini masih menanti formula apik dari pemerintah. Angka rasio pajak Indonesia sebenarnya pernah menyentuh angka 11% – 13% dalam kurun 2002 – 2014, namun kemudian menurun sampai di bawah 10% di tahun-tahun berikutnya. Rasio pajak tertinggi pernah dicapai di tahun 2008 dengan 13,3%. Di tahun tersebut, pemerintah melaksanakan program Sunset Policy yang merupakan pemberian fasilitas perpajakan berupa penghapusan sanksi administrasi perpajakan. Kebijakan yang hampir mirip juga dilakukan di tahun 2016 melalui Program Amnesti Pajak. Namun, program yang cukup berpengaruh pada peningkatan penerimaan pajak ini ternyata tidak terlalu berdampak pada peningkatan rasio pajak.
Jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara, rasio pajak Indonesia masih berada di bawah beberapa negara tetangga. Tahun 2022, untuk Kawasan Asia Tenggara, rasio pajak Indonesia hanya lebih tinggi daripada 3 negara, yaitu Laos, Myanmar, dan Brunei. Di antara negara-negara G20, rasio pajak Indonesia juga hanya berada di posisi 18 dari 20 negara, hanya lebih baik dari India dan Afrika Selatan.
Rasio pajak merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja penerimaan pajak di suatu negara. Menghitung rasio pajak berarti kita membandingkan penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto di suatu negara. Sederhananya, rasio pajak menunjukkan seberapa besar kenaikan penerimaan pajak akibat meningkatnya Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar satu rupiah.
Ini berarti ada dua komponen yang dapat menentukan meningkatnya rasio pajak, penerimaan pajak dan PDB. Untuk meningkatkan rasio pajak, pertumbuhan penerimaan pajak harus lebih tinggi dari pertumbuhan PDB. PDB sendiri merupakan jumlah nilai produksi barang dan jasa yang dihasilkan semua badan usaha dan orang di suatu negara, termasuk nilai tambah, dalam satu tahun.
Meningkatnya PDB menjadi indikator bahwa perekonomian suatu negara tumbuh. Lebih lanjut, pertumbuhan ekonomi sangat berpotensi untuk meningkatkan penerimaan pajak. Sehingga biasanya meningkatnya PDB akan sejalan dengan meningkatnya penerimaan pajak. Tantangannya adalah untuk memastikan bahwa peningkatan penerimaan pajak lebih tinggi daripada peningkatan PDB.
Beberapa faktor dapat mempengaruhi rasio pajak, antara lain tarif pajak, perluasan basis pajak, pendapatan per kapita, tingkat kepatuhan wajib pajak, koordinasi antar Lembaga negara, dan trust wajib pajak terhadap otoritas perpajakan. Faktor-faktor ini dapat dijadikan dasar penentuan kebijakan nantinya terkait dengan upaya peningkatan rasio pajak.
Ketika meningkatkan tarif pajak menjadi kebijakan yang rentan dengan pro kontra, perluasan basis pajak dapat dilakukan dan memang sedang dilakukan oleh pemerintah. Upaya-upaya peningkatan kepatuhan wajib pajak dan trust wajib pajak terhadap otoritas perpajakan juga terus digalakkan. Salah satunya adalah dengan melaksanakan reformasi perpajakan yang saat ini sedang dilakukan oleh otoritas perpajakan di Indonesia melalui pembaruan sistem inti administrasi perpajakan.
Usulan penguatan otoritas perpajakan dengan dibentuknya Badan Penerimaan Negara agar proses meningkatkan penerimaan negara menjadi lebih fokus dan terarah juga mengemuka. Gagasan ini muncul karena dilatarbelakangi pentingnya menjadikan institusi perpajakan menjadi kuat secara kelembagaan. Apalagi penerimaan pajak menguasai hampir 80% penerimaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Peluang untuk meningkatkan rasio pajak itu masih ada. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024 memberikan target rasio pajak sebesar 10,7% – 12,3%. Walaupun Rencana Kerja Pemerintah 2024 sesuai Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2023 hanya menargetkan rasio pajak 10% – 10,2% di tahun 2024, Indonesia masih memiliki potensi untuk mencapai atau bahkan melampaui target RPJMN.
Kini Indonesia menanti formula apik yang akan dilaksanakan pemimpin negeri. Tantangan itu masih di depan mata. Jika jadwal masih sesuai rencana, pengucapan sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden yang baru akan dilaksanakan pada tanggal 20 Oktober 2024. Setelah hari itu, komitmen pemimpin negeri akan benar-benar diuji. Mampukah pemerintah menciptakan formula apik untuk rasio pajak yang naik? Komitmen besar dalam mewujudkan pajak yang kuat, APBN sehat, untuk Indonesia yang sejahtera.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 359 kali dilihat