Menangkap Momentum Popularitas Bitcoin ( Sumber gambar dari cointelegraph.com )

Oleh: Edmalia Rohmani, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Setelah nilai tukarnya sempat merosot lantaran kebijakan pemerintah Cina yang melarang transaksi Bitcoin pada pertengahan September lalu, pada tanggal 2 November 2017 harga harian Bitcoin berhasil mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah, yaitu menembus angka USD 7 ribu per BTC. Ini merupakan efek dari pernyataan CME Group Inc. yang mengumumkan akan menyediakan kontrak berjangka bagi Bitcoin. Hingga tanggal 11 November 2017 sore, tren harga per koinnya mulai turun hingga ke level USD 6769.42.

Demikian tingginya tingkat volatilitas Bitcoin yang dipengaruhi oleh berita seputar kebijakan pemerintah serta peristiwa geopilitik lainnya, sehingga wajar bila Warren Buffet tidak terlalu optimis tentang masa depan uang maya. Dalam beberapa kesempatan, salah satu investor tersukses sepanjang masa itu bahkan menyebutnya sebagai gelembung ekonomi yang sewaktu-waktu bisa meledak. Mirip sekali dengan kisah demam Gelombang Cinta yang sempat melanda masyarakat kita dan menyebabkan kekayaan sekaligus kebangkrutan mendadak pada level sosial tertentu.

Sifat kepemilikannya yang anonim menyebabkan Vladimir Putin memutuskan untuk menentang penggunaan mata uang kripto secara umum dan Bitcoin secara khusus. Sejalan dengan alasan pemerintah Cina, pemimpin Rusia itu menganggap bahwa mata uang digital dapat digunakan untuk membiayai terorisme, menghindari pajak, pencucian uang, dan bahwa Bitcoin sendiri adalah sebuah skema piramida.

Namun, semua sentimen negatif itu rupanya tidak menghalangi kedigdayaan Bitcoin. Tepat setelah Jepang memberlakukan undang-undang yang mengakui Bitcoin sebagai alat perdagangan yang sah pada April 2017 lalu, komposisi pasar Bitcoin dunia berubah drastis. Kini, Negeri Matahari Terbit itu menguasai 60% perdagangan Bitcoin dunia, disusul oleh Negeri Paman Sam yang menyumbang sekitar 25% dari total transaksi global.

Bagaimana dengan Indonesia?

Menurut hasil wawancara katadata.co.id dengan Oscar Darmawan, CEO Bitcoin Indonesia, pada bulan Oktober 2017, perusahaannya telah mempunyai 520 ribu anggota yang terdiri dari pembeli dan penjual se-Indonesia yang terkonsentrasi di Pulau Jawa. Profilnya sebagian besar terdiri dari mahasiswa dan pekerja muda yang melek teknologi dan mendadak jadi “orang kaya baru” lantaran dulu membeli Bitcoin dengan harga yang murah. Menurut data laman resmi bitcoin.co.id pada 13 November 2017 pagi, jumlah anggota terdaftar sebanyak 588.973 orang, artinya tak kurang dari sebulan jumlah pendaftarnya bertambah sebanyak lebih dari 60 ribu anggota.

Oktober lalu, Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo menegaskan pihaknya bakal menindak masyarakat atau lembaga yang menggunakan Bitcoin sebagai alat pembayaran. Larangan itu mengacu pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, serta UU Nomor 23 Tahun 1999 yang kemudian diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 2009, sehingga penggunaan Bitcoin dan mata uang virtual lainnya sebagai alat transaksi dilarang di dalam Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP).

Meskipun Bitcoin tidak dianggap sebagai alat pembayaran yang sah oleh BI, kenyatannya transaksi Bitcoin masih bisa dilakukan oleh kedua belah pihak yang sama-sama mempunyai Bitcoin, atau menggunakan perantara dalam bursa daring. Mekanisme ini mengindikasikan penggunaan Bitcoin sebagai sebuah komoditas dan alat investasi.

Baru-baru ini, Luno sebagai penyedia serambi jual, beli, kirim, terima, dan simpan Bitcoin di Indonesia, merilis sebuah hasil survei tentang pandangan masyarakat Indonesia terhadap penggunaan Bitcoin yang lebih didominasi untuk kebutuhan investasi dan spekulasi kenaikan harga daripada untuk transaksi.

Yang menarik, sebanyak 46,6% dari total 10 ribu responden lebih memilih berinvestasi pada Bitcoin alih-alih berinvestasi pada emas, dan lebih dari 88% responden akan membeli lebih banyak Bitcoin jika pemerintah (dalam konteks ini, Bank Indonesia) membuat regulasi penggunaan Bitcoin di Indonesia. Dalam hal ini, volatilitas harga Bitcoin akan teredam jika pengguna Bitcoin semakin banyak dan jumlah Bitcoin yang tersebar juga semakin tinggi.

Bagaimana dengan potensi perpajakan Bitcoin?

Melihat data dan fakta di lapangan, ada baiknya Direktorat Jenderal Pajak melihat situasi ini sebagai sebuah peluang untuk menggali potensi di bidang perpajakan. Potensi ini bisa dilihat dari beberapa sisi:

1. Potensi PPN

Sebuah tulisan yang komprehensif mengenai aspek perpajakan penggunaan Bitcoin di Indonesia pernah diulas oleh Suhut Tumpal Sinaga dan dipublikasikan pada majalah Inside Tax edisi 20 Juni 2014 halaman 52-55. Kajian ini menjelaskan tentang implikasi Bitcoin dan kripto lainnya sebagai Barang Kena Pajak yang merupakan barang tidak berwujud.

Di dalam salah satu uraiannya, jasa yang diberikan oleh perusahaan penyedia jasa pertukaran mata uang virtual tidak dapat digolongkan sebagai jasa keuangan, sehingga apabila perusahaan tersebut telah melewati batas omset tertentu maka wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Efeknya, setiap penjualan Bitcoin yang dilakukan oleh PKP ini wajib dikenakan PPN.

Menurut pengumuman di situs Bitcoin.co.id., per tanggal 9 November 2016, semua biaya untuk transaksi jual-beli maupun penarikan yang terjadi di situs tersebut sudah termasuk PPN (Pajak Pertambahan Nilai) sebesar 10%. Tidak menutup kemungkinan atas perusahaan sejenis perlu dilakukan penelitian dan pengawasan terkait potensi pengukuhan PKP dan pemenuhan kewajiban perpajakannya agar lebih optimal.

 

2. Potensi PPh

Dalam tulisan Suhut tersebut, disebutkan tentang pembelian sebuah vila mewah di Bali dengan mahar 800 Bitcoin. Kepemilikan Bitcoin sebagai sebuah aset, entah dari hasil menambang maupun dari pembelian, belum tentu dibarengi dengan pemahaman prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas. Perlu dilakukan edukasi masif kepada para pengguna Bitcoin dan kerja sama dengan perusahaan perantara pertukaran untuk memberikan informasi tentang pengertian penghasilan yang dikenakan pajak sehingga dapat memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan prinsip self assessment.

Keuntungan modal yang didapat sebagai seorang pedagang ataupun pemborong Bitcoin yang memperlakukannya seperti saham adalah penghasilan yang dikenakan pajak. Dari sisi perusahaan perantara, penghasilan yang didapatkan dari selisih sebaran kurs jual dan beli serta jasa yang diberikan kepada anggota seperti pengiriman, penyimpanan, dan penarikan simpanan merupakan penghasilan dari kegiatan usaha yang dikenai pajak penghasilan. Melihat tren kenaikan nilai tukar yang diprediksi akan menembus angka USD 10 ribu per koin pada akhir tahun ini, terdapat potensi peningkatan pajak penghasilan dari penghasilan atas kegiatan usaha apabila dilakukan peningkatan pengawasan atas sektor ini.

Apabila upaya ini dilakukan dengan lebih fokus dan terorganisir, bukanlah hal yang mustahil DJP berhasil memanfaatkan momentum dan menambah pundi-pundi negara terkait transaksi uang maya yang sedang jadi primadona.

Sumber gambar dari cointelegraph.com (*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.