Oleh: Taripar Doly, S.E., M.M., pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Suatu ketika Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutus permohonan banding yang dilayangkan wajib pajak. Pada intinya, putusan yang dibacakan pada 30 Mei 2013 ini mengabulkan seluruhnya atas permohonan banding Pemohon Banding terhadap keputusan keberatan Direktur Jenderal Pajak.

Mulanya ada wajib pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia melakukan ekspor atau menyerahkan barang kepada orang pribadi atau badan yang bertempat kedudukan di Indonesia. Atas transaksi itu dikenakan pajak penghasilan (PPh).

Ketentuan ini sesuai Pasal 15 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Beleid tersebut menyebutkan: “Norma Penghitungan Khusus untuk menghitung penghasilan neto dari Wajib Pajak tertentu yang tidak dapat dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) atau ayat (3) ditetapkan Menteri Keuangan.”

Atas mandat ketentuan itu, maka Pasal 2 ayat (2) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 634/KMK.04/1994 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia menyebutkan: “Pelunasan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak adalah sebesar 0,44% dari nilai ekspor dan bersifat final.”

Dasar tarif efektif sebesar 0,44% diperoleh dari perhitungan sebagai berikut:

  • PPh atas penghasilan kena pajak terutang (30% x 1%) sebesar 0,30%.
  • Penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu Bentuk Usaha Tetap (20% x (1-0,30)%) sebesar 0,14%.
  • Jumlah keseluruhan menjadi sebesar 0,44%.

Penghitungan tarif tersebut dapat kita ilustrasikan seperti ini. Misalnya ada Wajib Pajak Kantor Perwakilan Dagang (KPD) Jepang diketahui melakukan ekspor dengan jumlah ekspor bruto Masa Desember 2022 sebesar Rp240 miliar. Oleh karena itu, ia dikenakan PPh Pasal 15 dengan total sebesar Rp888 juta. Jumlah tersebut berasal dari penghitungan sebagai berikut.

  • PPh atas penghasilan kena pajak terutang (30% x 1%) sebesar 0,30%.
  • Penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu Bentuk Usaha Tetap (10% x (1-0,30)%) sebesar 0,07%. Tarif 10% berasal dari tarif Penghindaran Pajak Berganda antara Indonesia dan Jepang.
  • Total tarif sebesar 0,37%, sehingga pengenaan PPh Pasal 15 berasal dari perkalian antara Rp240 miliar dan 0,37% yang menghasilkan jumlah PPh Pasal 15 sebesar Rp888 juta.

 

Putusan Pengadilan

Masih melanjutkan ilustrasi di atas, KPD Jepang menyetujui formula yang digunakan pada penetapan sebesar Rp888 juta tersebut. Namun, ia tidak menyetujui unsur tarif PPh Badan dalam formula tersebut.

Mengapa demikian? Hal ini karena tarif PPh Badan untuk tahun 2022 sudah berubah. Tidak lagi sebesar 30%, melainkan 22% sesuai UU HPP. Dengan demikian pajak yang dibayar seharusnya lebih kecil daripada Rp715,2 juta.

Wajib pajak mengajukan keberatan dan ditolak oleh Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang menaunginya. Kemudian KPD Jepang mengajukan banding ke pengadilan pajak dengan penghitungan sebagai berikut:

  • PPh atas penghasilan kena pajak terutang (22% x 1%) sebesar 0,22%.
  • Penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu Bentuk Usaha Tetap (10% x (1-0,22)%) sebesar 0,078%. Tarif 10% berasal dari tarif Penghindaran Pajak Berganda antara Indonesia dan Jepang.
  • Total tarif sebesar 0,298%, sehingga pengenaan PPh Pasal 15 berasal dari perkalian antara Rp240 miliar dan 0,298% yang menghasilkan jumlah PPh Pasal 15 sebesar Rp715,2 juta.

Oleh Pengadilan Pajak permohonan banding wajib pajak dikabulkan seluruhnya sehingga PPh Pasal 15 terutang untuk Masa Desember 2022 dari Rp888 juta menjadi Rp715,2 juta.

Dasar putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan, Norma Penghitungan Khusus untuk menghitung penghasilan neto Wajib Pajak tertentu sesuai Pasal 15 UU PPh masih merujuk pada Keputusan Menteri Keuangan Nomor 634/KMK.04/1994. Hal ini karena belum adanya Peraturan Menteri Keuangan terkini yang mengubah atau mencabut Keputusan Menteri tersebut.

Sedangkan rujukan penerbitan Keputusan Menteri Keuangan adalah UU PPh. Sehingga, menurut hemat Majelis Hakim, contoh penghitungan besarnya tarif pajak terutang masih menerapkan tarif PPh Badan tertinggi sebesar 30% dan merujuk pada surat edaran yang dikeluarkan untuk internal DJP sebagai panduan dalam penghitungan.

Untuk itu, menurut Majelis Hakim Pengadilan Pajak, formula perhitungannya sebagai berikut.

A.     PPh atas penghasilan kena pajak terutang adalah Tarif PPh Pasal 17 x 1%.

B.     Penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu Bentuk Usaha Tetap sebesar Tarif P3B x (1-Tarif PPh Pasal 17).

C.     Total tarif sebesar penjumlahan A dan B.

 Alasan menurut majelis hakim, berubahnya salah satu unsur formula di dalam penghitungan PPh Pasal 15 akan mengakibatkan tarif efektif PPh Pasal 15 juga bakal berubah.

 

Sebuah Antitesis?

Tentu kita harus menghormati wewenang dan putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Menurut pendapat penulis, perubahan tarif efektif yang dilakukan oleh Majelis Hakim itu akan menjadi sesuatu yang positif jika semangatnya adalah untuk perbaikan suatu aturan.

Namun demikian, alangkah baiknya jika perubahan itu dikomunikasikan kepada instansi yang memiliki kewenangan di bidang perpajakan, dalam hal ini DJP, dibandingkan langsung menjadi dasar untuk membatalkan suatu putusan. Hal ini juga merupakan amanah UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU 30/2014).

Bunyi ketentuan Pasal 17 UU 30/2014 adalah sebagai berikut:

(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan wewenang;

(2) Larangan penyalahgunaan wewenang meliputi:

a) larangan melampaui wewenang;

b) larangan mencampuradukkan wewenang; dan/atau

c). larangan bertindak sewenang-wenang.

Pengertian larangan bertindak sewenang-wenang adalah apabila keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan tanpa dasar kewenangan dan/atau bertentangan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, sementara adagium yang mengatakan res judicata pro veritate habetur, putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dianggap benar, merupakan sebuah antitesis.

Sebagaimana fiskus secara ketat dan disiplin bertugas melaksanakan amanah UU PPh sesuai ketentuan yang berlaku—salah satunya melalui pengumpulan penerimaan negara melalui pajak dan penerapan tarif PPh Pasal 15 untuk KPD asing. Namun, dengan mudahnya hal tersebut dibatalkan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan yang melampaui kewenangannya sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan tentang administrasi pemerintahan.

Penulis sebagai petugas pelaksana di lapangan berharap, apa pun yang menjadi ide atau masukan yang membangun di antara instansi pemerintahan sangatlah elok untuk diterima, apalagi bisa saling bersinergi untuk adanya suatu kepastian hukum yang tidak merugikan negara maupun wajib pajak.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.