Oleh: Sri Lestari Pujiastuti, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Tok! Akhirnya, DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) sebagai Undang-Undang (UU) pada Rapat Paripurna minggu lalu. Selanjutnya, mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, kita tinggal menunggu UU HPP ditandatangani Presiden dan kemudian diundangkan dalam Berita Negara.

Bila kita menengok kembali ke belakang, lahirnya RUU HPP ditujukan untuk mendorong APBN yang sehat dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan melalui kebijakan fiskal yang konsolidatif. Kebijakan fiskal yang konsolidatif dapat diwujudkan dengan melakukan langkah strategis yang berfokus pada perbaikan defisit anggaran dan peningkatan rasio pajak.

Langkah strategis dimaksud antara lain melalui penerapan kebijakan peningkatan kinerja penerimaan pajak, reformasi administrasi perpajakan, peningkatan basis perpajakan, penciptaan sistem perpajakan yang mengedepankan prinsip keadilan dan kepastian hukum, serta peningkatan kepatuhan sukarela wajib pajak.

Sistematika UU HPP terdiri dari 9 bab dan 19 pasal. Menilik beberapa pasal pada RUU HPP, kita dapat memotret upaya keras pemerintah dan DPR dalam menerapkan prinsip keadilan sebagai bentuk keberpihakan pada rakyat kecil.

Pertama, pada bab terkait Pajak Penghasilan (PPh), yakni

(a) adanya perbaikan pengaturan lapisan tarif PPh Orang Pribadi yang berhak pada lapisan penghasilan terendah yang saat ini sebesar Rp60 juta,

(b) penambahan lapisan tarif PPh Wajib Pajak Orang Pribadi sebesar 35% untuk penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar rupiah, dan

(c) penambahan batas (threshold) peredaran bruto tidak kena pajak untuk UMKM.

Saat ini, tarif pajak yang diterapkan atas penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi diatur dalam Pasal 17 UU PPh. Lapisan penghasilan sampai dengan Rp50 juta dikenakan tarif 5%. Lapisan penghasilan di atas Rp50 juta s.d. Rp250 juta dikenakan tarif 15%. Lapisan penghasilan di atasnya, yakni antara Rp250 juta s.d. Rp500 juta dikenakan tarif 25% dan terakhir untuk penghasilan di atas Rp500 juta dikenakan tarif 30%.

UU HPP melakukan perubahan tarif pajak berikut lapisan penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, yakni tarif 5% untuk penghasilan sampai dengan Rp60 juta. Lapisan penghasilan kena pajak di atas Rp60 juta s.d. Rp250 juta dikenakan tarif 15%. Lapisan penghasilan kena pajak di atas Rp250 juta s.s. Rp500 juta dikenakan tarif 25%. Lapisan penghasilan kena pajak di atas Rp500 juta s.d. Rp5 miliar dikenakan tarif 30%. Dan terakhir tarif 35% untuk lapisan penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar.

Meningkatnya batasan pada lapisan penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang dikenakan tarif 5% dapat juga diartikan sebagai pemberian insentif bagi wajib pajak penerima penghasilan sampai dengan Rp60 juta setahun. Jika semula penerima penghasilan di atas Rp50 juta s.d. Rp60 juta dikenakan tarif 15%, kini cukup dikenakan tarif 5% saja.

Meskipun terdapat penambahan lapisan tarif pajak baru yakni 35%, namun pengenaannya diperuntukan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar. Pengenaan pajak yang lebih besar pada Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki penghasilan besar sejatinya adalah implementasi dari keadilan dalam pemungutan pajak.

Pemungutan pajak dikatakan adil secara vertikal apabila orang-orang dengan tambahan kemampuan ekonomis yang berbeda dikenakan Pajak Penghasilan yang berbeda setara dengan perbedaannya atau biasa disebut dengan unequal treatment for the unequals (Mansury, 1996).

Ditinjau dari sisi optimalisasi penerimaan pajak, adanya lapisan dan tarif baru PPh tersebut merupakan sebuah langkah cerdik. Laporan Credit Suisse “Global Wealth Report 2021” yang dirilis akhir Juni 2021 menyebutkan ada 171,7 ribu orang Indonesia dengan kekayaan bersih di atas US$ 1 juta (sekitar Rp14,5 miliar) pada tahun 2020. Jumlah tersebut meningkat 61,7% di banding tahun lalu dan setara dengan 0,1% dari total penduduk.

Penambahan batas peredaran bruto tidak kena pajak untuk UMKM dengan besaran Rp500 juta juga ditujukan untuk memberikan keadilan bagi wajib pajak. Wajib Pajak UMKM atau dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh dikenal dengan nama wajib pajak dengan penghasilan tertentu, penghitungan PPh-nya bersifat final.

PPh Final bagi Wajib Pajak UMKM dihitung dengan cara mengalikan tarif dangan penghasilan bruto sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

Merujuk pada cara penghitungan tersebut, PPh UMKM memang lebih mengedepankan kesederhanaan dalam pemungutan pajak. Namun, di sisi lain menimbulkan ketidakadilan karena mengabaikan adanya besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebagai pengurang. Berapapun penghasilan Wajib Pajak UMKM mengakibatkan timbulnya PPh. Memang tidak bisa dipungkiri tarif PPh Final UMKM tergolong rendah, yakni hanya 0,5%.

Dengan demikian, penambahan batasan peredaran bruto tidak kena pajak untuk UMKM dalam RUU HPP dapat dikatakan sebagai jalan tengah dan upaya untuk memberikan rasa keadilan bagi Wajib Pajak UMKM. Sekaligus sebagai upaya untuk mempercepat pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Kedua, pada bab terkait Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yakni

(a) pemberian fasilitas pembebasan PPN atas barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa keuangan, dan jasa pelayanan sosial, dan

(b) diperkenalkannya skema PPN Final untuk sektor tertentu yang dimaksudkan untuk lebih memberikan kemudahan Pengusaha Kena Pajak (PKP) tertentu serta penyesuaian tarif secara bertahap sampai dengan 2025.

Rendahnya C-Efficiency PPN Indonesia yang hanya berada di angka 63,58% dikarenakan masih terdapat barang dan jasa yang belum masuk dalam sistem. Selain itu juga disebabkan masih banyaknya fasilitas PPN yang diberikan.

PPN memiliki karakter umum legal (general) yang berarti pajak dikenakan pada semua pengeluaran baik untuk konsumsi barang maupun jasa. Sebagai konsekuensinya tidak boleh ada diskriminasi.

UU HPP pada bab PPN, yakni pasal 4A ayat (2) menghapus barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya dan barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak dari jenis barang yang tidak dikenai PPN. Selanjutnya, Pasal 4A ayat (3) UU HPP juga hanya menyisakan enam jenis jasa yang atas penyerahannya tidak dikenakan PPN.

Namun demikian, Pasal 16B UU HPP tetap memberi ruang yakni dengan memberikan fasilitas terutang tidak dipungut atau dibebaskan baik sebagian atau seluruhnya atas beberapa jenis barang dan jasa. Pemberian fasilitas secara selektif dilakukan baik untuk sementara maupun selamanya.

Pemberian fasilitas dimaksudkan sebagai bentuk keberpihakan kepada rakyat kecil dan mendukung tersedianya barang dan jasa tertentu yang bersifat strategis dalam rangka pembangunan nasional serta tujuan-tujuan tertentu, antara lain

  • barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak,
  • jasa pelayanan kesehatan medis tertentu dan yang berada dalam sistem program jaminan kesehatan nasional,
  • jasa pelayanan sosial,
  • jasa keuangan,
  • jasa asuransi,
  • jasa pendidikan,
  • jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari jasa angkutan luar negeri, dan
  • jasa tenaga kerja.

Pemberian fasilitas tersebut diharapkan tidak akan mengubah harga jual barang dan jasa di masyarakat.

Pasal 9A UU HPP juga memberikan kemudahan pengenaan PPN bagi PKP yang memiliki peredaran usaha dalam satu tahun buku tidak melebihi jumlah tertentu, melakukan kegiatan tertentu, dan/atau melakukan penyerahan Barang Kena Pajak tertentu dan/atau Jasa Kena Pajak tertentu.

Pemungutan dan penyetoran PPN yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut dapat dengan besaran tertentu. Satu hal yang harus dicatat dari diterapkannya kesederhanaan pengenaan PPN pada pasal ini mengakibatkan tidak dapat dikreditkannya pajak masukan.

Sejalan dengan upaya mendorong pemulihan ekonomi dan untuk memberi ruang pada masyarakat, penyesuaian tarif PPN dilakukan secara bertahap. Pasal 7 UU HPP mengatur penerapan tarif PPN sebesar 11% baru mulai berlaku pada 1 April 2022. Kemudian pada 1 Januari 2025, tarif PPN yang berlaku menjadi sebesar 12%.

Dengan disahkannya UU HPP, besar harapan kita semua reformasi perpajakan dapat mendorong terciptanya sistem perpajakan yang adil, sehat, efektif, dan akuntabel. Sistem perpajakan Indonesia di masa depan haruslah fleksibel, efektif, pasti, adil, stabil, efisien, dan netral.

 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.