Oleh Wiyoso Hadi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Seni perang sangat penting bagi negara. Ini menyangkut masalah hidup atau mati, satu jalan menuju keselamatan atau kehancuran. Jadi dalam keadaan apa pun tidak boleh diabaikan,” tutur Sun Tzu (544-496 SM), sang panglima legendaris negeri Wu, salahsatu negeri di dataran Cina, sekitar 2500 tahun silam dalam kalimat pembuka karya klasiknya tentang 13 Prinsip Seni Perang.

Di zaman sekarang, pajak adalah senjata untuk memperkuat sosial-ekonomi suatu bangsa sekaligus sebagai alat untuk menjaga keutuhan suatu negara. Tanpa pajak, negara tak mampu menyediakan subsidi BBM, membangun fasilitas umum, jalan, jembatan, transportasi murah, menyediakan listrik yang terjangkau biayanya oleh masyarakat luas, sekolah-sekolah umum gratis hingga ke seluruh pelosok negeri, menyediakan keamanan bagi seluruh penduduk negeri dan pertahanan bagi bangsa dan negara.

Setiap wajib pajak (WP) yang taat bayar pajak adalah patriot bangsa yang sangat berjasa dalam memperjuangkan kemakmuran, keamanan, kesejahteraan, kemajuan, keutuhan dan keberlangsungan eksistensi nusa, bangsa, dan negara melalui pajak.

Permasalahan sekarang di Indonesia, dari total sekitar 60 juta pekerja aktif di Indonesia yang memiliki penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) baru sekitar 21 juta atau 35% yang ber-NPWP. Dan dari 21 juta WP Orang Pribadi itu, baru sekitar 8,7 juta yang menyampaikan SPT Tahunan Pajak. Estimasi sederhananya, baru 14,5% dari sekitar 60 juta warga negara yang memiliki penghasilan di atas PTKP adalah juga patriot pajak bangsa.

Nah, sekarang pertanyaannya bagaimana membangun "mental patriotisme" taat bayar pajak terhadap 85,5% warga negara yang memiliki penghasilan di atas PTKP agar juga tergerak, terpanggil hati-jiwanya untuk menjadi patriot pajak alias menjadi WP yang taat dan benar bayar pajak.

Mengacu dan mengadopsi falsasaf "Seni Perang" Sun Tzu, maka untuk memotivasi publik agar taat pajak, perlu ada alasan luhur kebangsaan, pendorong utama atau azas-azas ideologis yang besar (dalam istilah Sun Tzu disebut sebagai "Hukum Moral"), yang meyakinkan dan menyemangati sekali publik mengapa harus taat dan benar bayar pajak tanpa memikirkan aspek materialisme atau manfaat langsung apa yang akan diperolehnya, namun mengungkapkan sisi-sisi pencapaian abstrak kebangsaan yang menjadi tujuan akhirnya.

Sudah diketahui bersama bahwa dalam sistem pajak Indonesia tidak ada jasa timbal balik (kontra prestasi perseorangan) yang dapat ditunjukkan secara langsung bagi si pembayar pajak. Oleh sebab itu saran Sun Tzu tentang perlunya alasan luhur utama atau azas-azas ideologis besar yang dapat menyemangati 51,3 juta warga yang memiliki penghasilan di atas PTKP agar ikut tergerak jadi patriot pajak bangsa, meskipun tidak mendapat jasa timbal balik langsung menjadi sangat relevan dalam kondisi pemungutan pajak di Indonesia sekarang.

Menurut Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations, warga akan berkenan bayar pajak jika sistem pemungutan pajak memenuhi empat azas pemungutan pajak, atau yang juga dikenal dengan istilah "The Four Maxims", sebagai berikut: (1) Azas Equality (azas keseimbangan dengan kemampuan atau azas keadilan), yaitu pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan WP. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap WP; (2) Azas Certainty (azas kepastian hukum), yaitu semua pungutan pajak harus berdasarkan UU, sehingga bagi yang melanggar akan dikenai sanksi hukum; (3) Azas Convinience of Payment (azas pemungutan pajak yang tepat waktu atau azas kesenangan), yaitu pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi WP (saat yang paling baik), misalnya di saat WP baru menerima penghasilannya atau di saat WP menerima hadiah; dan (4) Azas Efficiency (azas efisien atau azas ekonomis), yaitu biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak.

Sedangkan menurut W.J. Langen, warga bisa tergerak bayar bayar pajak jika sistem pemungutan pajak memenuhi lima azas pemungutan pajak sebagai berikut: (1) Azas daya pikul, yaitu besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan besar kecilnya penghasilan WP. Semakin tinggi penghasilan maka semakin tinggi pajak yang dibebankan; (2) Azas manfaat, yaitu pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan umum; (3) Azas kesejahteraan, yaitu pajak yang dipungut oleh negara digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; (4) Azas kesamaan, yaitu dalam kondisi yang sama antara WP yang satu dengan yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama (diperlakukan sama); (5) Azas beban yang sekecil-kecilnya, yaitu pemungutan pajak diusahakan sekecil-kecilnya (serendah-rendahnya) jika dibandingkan dengan nilai obyek pajak sehingga tidak memberatkan para WP.

Sedangkan menurut Adolf Wagner, warga bisa terdorong untuk bayar pajak jika sistem pemungutan pajak memenuhi lima azas pemungutan pajak sebagai berikut: (1) Azas politik finansial, yaitu pajak yang dipungut negara jumlahnya memadai sehingga dapat membiayai atau mendorong semua kegiatan negara; (2) Azas ekonomi, yaitu penentuan obyek pajak harus tepat, misalnya: pajak pendapatan dan pajak untuk barang-barang mewah; (3) Azas keadilan, yaitu pungutan pajak berlaku secara umum tanpa diskriminasi, untuk kondisi yang sama diperlakukan sama pula; (4) Azas administrasi, yaitu menyangkut masalah kepastian prosedur penarikan pajak, keluwesan penagihan dan besarnya biaya pajak; dan (4) Azas yuridis, yaitu segala pungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang.

Semoga seluruh azas tersebut di atas dapat dieksekusikan dengan baik dan sempurna oleh segenap jajaran aparat Direktorat Jenderal Pajak di lapangan dan didukung oleh seluruh jajaran instansi pemerintah lainnya yang terlibat langsung dalam pendistribusian uang pajak, sehingga dapat mendorong semua warga negara yang memiliki penghasilan di atas PTKP untuk terpanggil dan bersemangat membayar pajak dengan ikhlas dan benar, sekaligus mempersatukan tekad segenap hati-jiwa anak bangsa agar bersama-sama berjuang sebagai patriot pajak nasional. Sejatinya, bangga bayar pajak adalah wujud nyata cinta kita pada Nusa dan Tanah Air! Bangga bayar Pajak.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.