Oleh: Luh Putu Benita Sari, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Sebagai salah satu sumber penerimaan negara, pajak dihimpun dari masyarakat oleh pemerintah. Adanya perbedaan kepentingan antara masyarakat selaku wajib pajak dan pemerintah selaku penghimpun pajak sering kali menimbulkan permasalahan-permasalahan dalam pemungutan pajak. Kesadaran dan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya pajak tentunya akan berkorelasi dengan penerimaan pajak pada suatu negara.

Dalam ajaran Hindu, terdapat sebuah konsep “Yadnya” yang berarti suatu persembahan yang dilakukan dengan tulus dan ikhlas. Pajak dalam ajaran Hindu merupakan sebuah kegiatan Yadnya, terlebih bila didasarkan dengan perasaan tulus dan ikhlas dari masyarakat selaku wajib pajak.

Pemahaman tentang pajak ternyata telah dikenal sejak lama, bahkan telah tertuang dalam kitab Manawa Dharmasastra yang menyebutkan, “Seorang Ksatria yang dalam keadaan susah mengambil seperempat dari hasil panen dinyatakan bebas dari kesalahan, kalau ia melindungi rakyatnya dengan sebaik-baiknya menurut kemampuannya.”

Pajak merupakan suatu pungutan yang diperkenankan dalam ajaran Hindu. Pembayaran pajak adalah hal yang benar selama pemerintah telah mengayomi masyarakatnya. Bila menilik kata Ksatria dalam seloka tersebut, sekilas kita akan membayangkan pada masa lampau Ksatria adalah sosok yang menunggangi kuda dengan panah ditangannya. Namun, pada masa kini sosok Ksatria kita jumpai dalam profesi pemerintah sebagai penghimpun pajak dengan tujuan kepentingan negara dan kemakmuran rakyat.

Profesi pemerintah sebagai penghimpun pajak juga erat kaitannya dengan konsep Catur Guru. Catur berarti empat sedangkan guru terdiri dari suku kata “gu” yang dalam bahasa Sansekerta berarti bayangan, gelap dan/atau kegelapan, dan suku kata “ru” yang berarti orang yang membawa terang, menghilangkan bayangan kegelapan. Apabila dilihat dari suku kata yang menyusun kata “guru” yang ternyata memiliki arti berlawanan, sangatlah unik apabila direnungkan makna dari sebuah pembelajaran sama seperti makna dari kata “guru” yaitu membuat sesuatu yang gelap menjadi terang.

Guru tidak hanya sebatas profesi pengajar yang tujuan utamanya untuk memperoleh imbalan berupa gaji atas jasanya mengajar di bangku pendidikan formal. Namun, lebih kepada mereka yang memiliki teladan dalam menyeimbangkan sifat-sifat utama pembentuk watak manusia. Catur Guru yang pertama disebut Guru Swadhyaya yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Kedua, Guru Wisesa yaitu pemimpin atau pemerintah. Ketiga, Guru Pengajian yaitu guru di sekolah. Keempat, Guru Rupaka yaitu orang tua.

Dalam ajaran Catur Guru, siapa pun yang duduk sebagai pemimpin atau pemerintah maka memegang peran sebagai Guru Wisesa. Pemerintah sebagai Guru Wisesa seyogianya memiliki karakter yang diteladani. Begitu pula masyarakat sebagai siswa seyogianya hormat dan patuh terhadap pemerintah.

Peran Guru Wisesa dalam menghimpun pajak bukanlah hal yang mudah. Diawali dengan merumuskan regulasi dalam bidang perpajakan, menggali sektor-sektor yang menjadi penyumbang penerimaan pajak, memberikan pelayanan berkualitas, memberikan edukasi, menjalankan pengawasan, serta melakukan penegakan hukum pajak.

Peran masyarakat dalam mendukung Guru Wisesa adalah dengan menjalankan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan dan menjadi warga negara yang baik. Salah satu cara menjadi warga negara yang baik yaitu dengan patuh membayar pajak. Hal yang masih menjadi tugas besar bagi Guru Wisesa yaitu menggungah kesadaran masyarakat untuk membayar pajak karena masyarakat menginginkan adanya kontraprestasi langsung atas pajak yang telah mereka bayarkan.

Pada hakikatnya, pajak merupakan kontribusi berdasarkan undang-undang tanpa imbalan atau kontraprestasi langsung. Masyarakat terkadang belum menyadari kontraprestasi dari pembayaran pajak yang ternyata telah menemani di beberapa sisi kehidupan manusia bahkan sejak dilahirkan.

Bayi yang baru dilahirkan, biaya persalinan bahkan beberapa imunisasi dasar ditanggung oleh jaminan kesehatan BPJS yang berasal dari pajak. Anak sekolah terutama duduk di masa wajib belajar, biaya penyelenggaraan pendidikannya dibantu dari dana BOS yang berasal dari pajak. Saat di jenjang rumah tangga, masyarakat dapat menikmati subsidi listrik, bahan bakar minyak (BBM), gas, dan lain-lain. Dalam lingkup masyarakat yang lebih luas, manfaat pajak dapat dinikmati dalam bentuk infrastruktur seperti jalan raya, jalan tol, dan gedung-gedung sekolah.

Bila melihat peran Guru Wisesa dalam menghimpun penerimaan pajak, masyarakat yang turut merasakan manfaat pajak sudah seyogianya menghormati dan menjunjung tinggi martabat bangsa, negara, dan pemerintahan. Dalam jangka panjang, berusaha menjalankan peraturan pemerintah, berupaya untuk tidak melanggar hukum, serta melaksanakan imbauan pemerintah menjadi warga negara yang baik.  Sebaliknya, pemerintah selalu memikirkan dan mengusahakan kesejahteraan rakyat.

Kesadaran masyarakat dalam membayar pajak merupakan bagian fundamental untuk mencapai kebahagiaan menurut konsep Yadnya. Kebahagiaan tercapai karena sudah turut berkontribusi terhadap negara untuk segala pembangunan serta pembiayaannya. Sehingga, kehidupan kita akan menjadi lebih baik karena telah menyeimbangkan kehidupan antara jasmani dan rohani.

Peranan Guru Wisesa dalam menyejahterakan masyarakat melalui pajak sangat tepat bila dikaitkan dengan arti kata “guru” yang memiliki arti sosok yang membuat sesuatu gelap menjadi terang. Dengan menghormati Guru Wisesa dan menjalankan Yadnya melalui pembayaran pajak berarti turut menjalankan sebagian dari ibadah.

*)Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.