Oleh : Wisnu Saka Saputra, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Ekonomi digital semakin berkembang sejalan dengan kemajuan teknologi. Aktivitas ekonomi digital seringkali terjadi transaksi antar lintas negara (cross-border transaction). Ekonomi digital menyebar luas di seluruh dunia dan meliputi berbagai aspek seperti perdagangan, pendidikan, jejaring sosial, transportasi, hingga kesehatan.

Posisi ekonomi digital yang semakin besar terlihat dari jumlah perusahaan teknologi yang dikategorikan sebagai dua puluh perusahaan terbesar di dunia. Dengan penduduk berjumlah 270 juta jiwa, besaran ekonomi digital Indonesia mencapai 70 juta dolar Amerika Serikat pada tahun 2021.

Angka tersebut diperkirakan naik hingga dua kali lipat pada tahun 2025, yakni mencapai 146 juta dolar Amerika Serikat. Besarnya potensi ini membuat pemerintah mengeluarkan peraturan pemungutan pajak atas kegiatan ekonomi digital.

Pada tahun 2017, Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2017 tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik untuk mendorong percepatan perkembangan dan mengoptimalkan potensi ekonomi digital.

Pada saat pandemi Covid-19 melanda, pemerintah juga memberlakukan pajak penghasilan (PPh) untuk transaksi sistem elektronik oleh penyedia jasa asing dengan status “kehadiran ekonomi yang signifikan” yang merupakan bentuk usaha tetap di Indonesia.

Tantangan Pajak Digital

Perhitungan pajak pada dasarnya membutuhkan dua variabel utama yaitu subjek pajak dan objek pajak. Penentuan subjek pajak umumnya berdasarkan kehadiran fisik yang tidak dibutuhkan dalam praktik ekonomi digital. Sementara, tantangan yang dihadapi dalam penentuan objek pajak adalah penentuan kategori penghasilan atau transaksi yang menjadi dasar pemajakan.

Subjek pajak menjadi bias dalam kasus penjualan online lintas negara karena tanpa adanya kehadiran toko maupun perusahaan fisik di negara tujuan. Ekonomi digital identik dengan intelectual property dan produk digital.

Penentuan penghasilan dari pemanfaatan maupun pengalihan produk tanpa wujud fisik menjadi tantangan tersendiri bagi otoritas pajak, termasuk penentuan hak pemajakan atas penghasilan tersebut.

Penggunaan celah untuk meminimalkan kewajiban perpajakan atas aktivitas ekonomi digital yang terkenal yaitu dengan skema Double Irish Dutch Sandwich. Skema tersebut dilakukan oleh perusahaan Google untuk mengalihkan sebagian besar keuntungan di luar negeri dengan melisensikan hak kekayaan intelektual kepada anak perusahaan asing.

Google mendirikan dua perusahaan di Irlandia dan Irlandia/Bermuda. Google membuat intellectual property (IP) keluar dari AS karena tarif pajak di negara ini bisa mencapat 35 persen. Google membutuhkan negara yang memberikan tarif pajak rendah dan banyak fasilitas pajak, yakni Irlandia.

Google kemudian memilih Irlandia untuk mendirikan IP. Kemudian Google kembali mendirikan manajemen efektif di Irlandia/Bermuda. Hukum di Irlandia menerapkan bahwa IP bukanlah subjek pajak, Irlandia memungut pajak dari manajemen efektif yang justru berada di Irlandia/Bermuda. Sementara Irlandia, tidak memungut pajak dari perusahaan yang berasal dari Negara lain. Hasilnya, Google tidak menjadi bagian subjek pajak manapun.

Kesepakatan Anggota G20

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam pertemuan tingkat Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara G20, membahas perpajakan di sektor digital. Menurutnya, pembahasan tersebut menjadi salah satu isu yang sangat serius di antara negara-negara G20, maupun di seluruh dunia.

Para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 sepakat mendukung penerapan kebijakan pajak digital berbasis konsensus global yang telah tertuang dalam dua pilar. Kesepakatan dari 139 negara/yurisdiksi anggota Inclusive Framework Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) dan G20 ini dicapai dalam forum pertemuan di bawah presidensi Italia secara virtual.

Kesepakatan tersebut mencakup dua pilar. Pertama, unified approach terkait dengan pajak di sektor ekonom digital. Kedua, global anti-base erosion rules, sebagai upaya menghindari praktik penghindaran pajak.

Pertama, pengenaan PPh Badan sebesar 15% untuk perusahaan yang beroperasi di beberapa negara. Ini artinya perusahaan multinasional harus membayar lebih banyak pajak di mana pun mereka menjual produk atau layanannya.

Kedua, selain memberikan ambang batas minimum 15% tersebut, perusahaan-perusahaan yang menghasilkan lebih dari 10% keuntungan dari penjualan produk atau layanan mereka di negara lain harus membayarkan pajak kepada negara tempat mereka beroperasi dan juga negara asal.

Tantangan di bidang perpajakan internasional yang dibawa oleh ekonomi digital bukan merupakan tantangan baru, tetapi merupakan tantangan yang sejak dulu telah dikenal misalnya tantangan penentuan hak pemajakan (status bentuk usaha tetap atau disingkat BUT). Tantangan pemajakan ekonomi digital dapat dibedakan menjadi tantangan dari sisi penentuan subjek pajak dan objek pajak.

Tantangan pemajakan ekonomi digital dari sisi penentuan subjek pajak utamanya berasal dari penentuan status BUT atas perusahaan multinasional yang beroperasi di dalam negeri --dalam hal ini, negara Indonesia. Dalam konsep BUT yang dikenal selama ini, kehadiran suatu usaha lebih dititikberatkan pada kehadiran fisik (physical presence) yang semakin bias dalam konteks ekonomi digital.

Sementara itu, dari sisi penentuan objek pajak khususnya PPh lebih pada bentuk penghasilan dan hak pemajakannya misalnya pendapatan dari jasa (hak pemajakan berada di negara/yuridiksi di mana jasa itu dilakukan), pendapatan dari penggunaan intellectual property dan pendapatan dari aktivitas perdagangan (hak pemajakan berada di negara/yuridiksi di mana penjual berada).

Tetapi, setelah pertemuan G20 yang membahas pajak digital lintas negara, pengenaan PPh Badan sebesar 15% untuk perusahaan yang yang beroperasi di beberapa negara.

Menghindari global anti base erosion model, bisa dijalankan sebagai suatu operasi atau suatu kebijakan yang efektif pada 2023, juga pilar pertama yang membutuhkan kesepakatan multilateral diharapkan bisa disepakati dan dilaksanakan pada 2023.

Pemerintah juga perlu mengatur aspek penyelesaian sengketa perpajakan internasional dan pajak digital. Hal ini dapat dilakukan dengan mengedepankan pendekatan pengaturan bersama atau co-regulation yang melibatkan pemerintah dengan pihak swasta.

Banyak negara yang pasti membutuhkan technical assistance, baik dari membangun legislasinya atau aturannya untuk bisa menjalankan kesepakatan ini maupun dari sisi kapasitas Direktorat Jenderal Pajak. Karena itu, G20 menyepakati akan adanya dukungan untuk kapasitas penambahan.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.