Oleh: Riky Rapasyiwih, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Berbagai fasilitas perpajakan diberikan oleh pemerintah untuk kemudahan berusaha. Contohnya, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan besaran tertentu (tarif efektif 1,1-1,2%) untuk Jasa Kena Pajak (JKP) tertentu seperti jasa pengiriman paket. Ada juga fasilitas pembebasan dari pengenaan PPN untuk jasa angkutan umum. Dalam prakteknya, terjadi kebingungan di kalangan pelaku usaha jasa ekspedisi darat mengenai definisi jasa yang mendapatkan fasilitas di atas. Apakah jasa ekspedisi darat mendapatkan fasilitas tarif efektif atau malah pembebasan pajak?

Dalam tiga tahun terakhir, pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membuat terobosan kebijakan di bidang perpajakan. Antara lain dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU Ciptaker).

Untuk dapat diterapkan, kedua aturan tersebut mengamanatkan penjabaran lebih lanjut dalam berbagai bentuk peraturan pelaksanaan seperti Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK).

Fasilitas PPN

Akhir Maret 2022, Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu (PMK-71). Melalui PMK tersebut, Pemerintah memberikan fasilitas terhadap Jasa Kena Pajak (JKP) tertentu berupa keringanan tarif PPN yang hanya terutang 10% dari tarif yang umum berlaku yakni 11% untuk saat ini, dan nantinya direncanakan menjadi 12% sebelum tahun 2025. Dengan kata lain, tarif efektifnya sekarang hanya 1,1% dan selanjutnya menjadi 1,2% dari nilai transaksi yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak (DPP).

Salah satu JKP tertentu yang mendapat fasilitas di atas adalah jasa pengiriman paket sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pos.

Belum setahun PMK-71/PMK.03/2022 berlaku, Pemerintah menerbitkan lagi peraturan baru yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai Dibebaskan dan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Tidak Dipungut atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu dan/atau Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Tertentu dari Luar Daerah Pabean (PP 49/2022).

Dalam PP 49/2022, terdapat dua fasilitas PPN yaitu fasilitas tidak dipungut dan fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN. Ada banyak jenis Barang Kena Pajak (BKP) dan JKP yang mendapatkan salah satu dari fasilitas tersebut. Salah satu JKP yang mendapatkan fasilitas berupa pembebasan dari pengenaan PPN adalah jasa angkutan barang umum di jalan darat sesuai UU di bidang angkutan jalan.

Jasa Ekspedisi

Pengusaha jasa ekspedisi darat yang sudah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) pada umumnya akan memungut tarif PPN efektif 1,1% dari nilai jasanya dan membuatkan faktur pajak (FP) dengan kode transaksi 05 sesuai PMK-71/2022. Namun, timbul pertanyaan: apakah benar demikian?

Pertanyaan bermula dari kemiripan karakteristik dua jenis JKP, yaitu jasa pengiriman paket dan jasa angkutan barang umum di jalan darat. Kedua jasa tersebut sama-sama mengantarkan barang dari satu tempat ke tempat lain berdasarkan perintah pemilik barang. Sehingga masyarakat awam hanya melihat dua JKP ini sebagai satu jenis jasa saja yaitu jasa ekspedisi/kurir, lebih khusus lagi, jasa ekspedisi darat.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring, jasa ekspedisi adalah jasa pengiriman surat, barang dan sebagainya. Pengertian ini memiliki cakupan yang sangat luas. Jadi, segala bentuk jasa pemindahan barang dari satu titik ke titik yang lain seperti jasa angkutan barang dan jasa pengiriman paket meliputi pos, dan kurir, dapat disebut sebagai jasa ekspedisi.

Jasa Pengiriman Paket

Dalam PMK-71/PMK.03/2022, ditegaskan bahwa jasa pengiriman paket yang dikenakan tarif PPN efektif adalah jasa pengiriman paket yang diatur dengan UU di bidang pos.

Adapun UU yang berlaku di bidang pos adalah Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos (UU Pos) sebagaimana telah diubah dengan UU Ciptaker. UU Pos jo. UU Ciptaker dilaksanakan dengan dengan dua PP yaitu; PP Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pos sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran; dan PP Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. Lebih lanjut, kedua PP tersebut dilaksanakan dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Nomor 4 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pos (PMKI 4/2021).

Di dalam PMKI 4/2021, layanan pos meliputi pengiriman surat, paket, logistik, transaksi keuangan dan keagenan pos. Sekilas terlihat, jasa pengiriman surat, paket dan logistik, dapat pula dilakukan oleh jasa ekspedisi darat. Namun, penyelenggaraan pos harus mendapatkan Perizinan Berusaha Penyelenggaraan Pos atau lebih dikenal dengan Izin Penyelenggaraan Pos (IPP). IPP diterbitkan oleh Menkominfo melalui Direktorat Pos, Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika. IPP inilah yang menjadi pembeda JKP yang dikenakan tarif PPN efektif dengan JKP yang dibebaskan dari pengenaan PPN. Hanya PKP yang memiliki IPP yang dikenai tarif PPN efektif 1,1%.

Lalu bagaimana dengan perlakuan PPN terhadap pengusaha jasa ekspedisi darat yang tidak memiliki IPP?

Berdasarkan PP 49/2022, jasa angkutan barang umum di jalan darat yang diberikan pembebasan dari pengenaan PPN harus sesuai dengan ketentuan yang diatur dengan UU di bidang angkutan jalan. Adapun UU yang mengatur angkutan jalan adalah Undang-Undang Nomor Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ).

Dalam pelaksanaannya, UU LLAJ dijabarkan dengan PP Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan (PP 74/2014) sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 30 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (PP 30/2021). Lebih lanjut, PP 74/2014 dilaksanakan dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 60 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Angkutan Barang dengan Kendaraan Bermotor di Jalan (Permenhub 60/2019).

Permenhub 60/2019 mengatur antara lain bentuk kendaraan yang diperbolehkan mengangkut barang. Angkutan barang umum dapat berupa mobil barang, kereta gandengan, dan/atau kereta tempelan. Angkutan barang umum tersebut tidak boleh dioperasikan di kelas jalan yang tidak sesuai dengan spesifikasinya. Selain itu, pengusaha angkutan barang juga harus menyediakan pusat distribusi logistik atau tempat bongkar muat barang.

Angkutan barang umum mutlak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan yang dibuktikan dengan Kartu Uji dan Tanda Uji yang lebih dikenal dengan KIR. Sebagai pengenal, kendaraan harus ditempeli dengan identitas Perusahaan di seluruh sisi, dan alat pemantul cahaya/reflektor pada bagian samping dan belakang. Kotak obat juga wajib tersedia dalam kendaraan. Dan yang terakhir, pengusaha jasa angkutan barang umum tunduk kepada Standar Pelayanan Minimal Angkutan Barang (SPMAB).

Dalam proses pengantaran, angkutan barang umum wajib dibekali dengan dokumen Surat Muatan Barang (SMB) dan Surat Perjanjian Pengangkutan Barang (SPPB). SMB dibuat oleh pengusaha angkutan umum dan paling sedikit memuat: identitas pemilik barang; jenis, jumlah/berat, dan dimensi barang; asal dan tujuan pengiriman barang; tarif; kelas jalan yang dapat dilalui; data awak kendaraan; dan lembar data keselamatan bahan untuk barang berbahaya.

SPPB dibuat oleh pengusaha angkutan umum yang dapat berupa bukti pembayaran sah antara pengusaha angkutan umum dengan pemilik barang. SPPB memuat sedikitnya mengenai: hak dan kewajiban pengusaha angkutan umum dan pemilik barang; tarif yang disepakati; jenis dan jumlah barang; asal dan tujuan pengiriman barang; jenis dan kapasitas kendaraan; kepemilikan barang; dan ganti kerugian terhadap pemilik barang dan/atau premi asuransi terhadap barang yang diangkut.

Apakah ada perbedaan perlakuan terhadap angkutan barang umum yang berplat hitam/putih dengan yang berplat kuning?

Sebelum berlakunya UU HPP, jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri merupakan jasa yang tidak dikenakan PPN (bukan JKP). Hal ini tercantum dalam Pasal 4A UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN).

Ketentuan UU PPN mengenai jasa angkutan umum yang tidak dipungut PPN dilaksanakan dengan PMK Nomor 80/PMK.03/2012 tentang Jasa Angkutan Umum di Darat dan Jasa Angkutan Umum di Air yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PMK-80/PMK.03/2012). Di dalam Pasal 1 PMK tersebut, jelas ditegaskan bahwa jasa angkutan umum yang tidak kena PPN (bukan JKP) harus menggunakan kendaraan bermotor berplat kuning.

Dengan berlakunya UU HPP, jasa angkutan umum tidak lagi masuk dalam kategori jasa tidak kena PPN (bukan JKP), melainkan jasa yang dikenai PPN (JKP) namun dibebaskan dari pengenaan PPN. Meskipun terlihat sama, dalam praktek perpajakan, jasa tidak kena pajak, berbeda konsekuensinya dengan JKP yang dibebaskan dari pengenaan PPN. Penyerahan jasa tidak kena pajak tidak dibuatkan FP, dan oleh karenanya, pengusaha yang hanya menyerahkan jasa tidak kena pajak, tidak diwajibkan untuk dikukuhkan sebagai PKP. Sedangkan penyerahan JKP yang dibebaskan dari pengenaan PPN oleh PKP, tetap wajib dibuatkan FP.

Sementara dalam pengaturan peralihan UU HPP, peraturan pelaksanaan UU yang bertentangan dengan UU HPP dinyatakan tidak berlaku. Dengan demikian, PMK-80/PMK.03/2012 otomatis tidak berlaku lagi, walaupun dalam laman resmi JDIH Kementerian Keuangan yang diakses pada tanggal 9 Desember 2023, PMK tersebut masih tertulis berlaku.

Kembali ke PP 49/2022, tidak diatur lagi mengenai keharusan berplat kuning bagi kendaraan angkutan umum yang digunakan untuk menyerahkan JKP yang dibebaskan dari pengenaan PPN. Sehingga fasilitas pembebasan dari pengenaan PPN berlaku untuk seluruh jasa angkutan umum yang memenuhi ketentuan UU LLAJ tanpa membedakan plat hitam/putih dan plat kuning.

Apabila pengusaha jasa ekspedisi darat memenuhi ketentuan mengenai jasa angkutan umum barang di jalan darat tersebut, diberikan pembebasan dari pengenaan PPN. Dalam hal, pengusaha sudah dikukuhkan sebagai PKP, maka untuk setiap jasa ekspedisi darat yang diserahkan, diterbitkan faktur pajak dengan kode transaksi 08.

Faktur Pajak

PKP wajib membuat FP untuk setiap penyerahan BKP dan/atau JKP. Namun berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2023 tentang Faktur Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2023 (PER-03/PJ/2023), PKP yang melakukan penyerahan JKP kepada konsumen akhir (pedagang eceran/PE), diperbolehkan membuat FP dengan format yang lebih sederhana dibanding FP yang dibuat menggunakan aplikasi e-Faktur.

FP yang dibuat sendiri oleh PKP PE tanpa melalui aplikasi e-Faktur, harus memuat data: nama, alamat dan NPWP PKP PE; jenis BKP/JKP dan harganya; PPN dan/atau PPnBM yang dipungut; dan kode, nomor seri yang ditentukan sendiri oleh PKP beserta tanggal FP. Bentuknya bisa berupa: bon kontan; faktur penjualan; segi cash register; karcis; kuitansi atau yang sejenisnya, dan dapat berbentuk elektronik.

Karakteristik Konsumen Akhir

Masih dalam PER-03/PJ/2023, dijelaskan pula mengenai karakteristik konsumen akhir yaitu konsumen yang membeli barang/jasa untuk dikonsumsi sendiri dan tidak untuk dijual lagi. Oleh karena konsumen JKP jasa pengiriman paket dan jasa angkutan barang umum di jalan darat memenuhi kriteria karakteristik konsumen akhir, maka PKP yang menyerahkan JKP tersebut tergolong PKP PE yang dapat membuat FP dalam bermacam bentuk yang telah dijelaskan di atas. Namun jika konsumen meminta PKP untuk membuatkan FP melalui aplikasi e-Faktur, PKP tetap wajib membuatkan.

Kesimpulan

Jasa ekspedisi darat dikategorikan sebagai JKP jasa pengiriman paket yang dikenai tarif PPN efektif 1,1% apabila memiliki IPP. Tetapi apabila jasa ekspedisi darat melayani pesanan berdasarkan SPPB dan SMB, dengan dibekali KIR, armada pengangkut dan tempat bongkar muat barang, dan tunduk pada SPMAB dan tidak mengantongi IPP, maka jasa tersebut digolongkan sebagai JKP jasa angkutan umum barang di jalan darat yang dibebaskan dari pengenaan PPN.

Pengusaha yang menyerahkan salah satu dari JKP tersebut, wajib dikukuhkan sebagai PKP apabila peredaran usaha/omset kotornya dalam setahun telah melampaui Rp4.800.000.000. Bagi pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP, wajib untuk membuat faktur pajak untuk setiap penyerahan BKP/JKP. Untuk kedua JKP di atas, dapat dibuatkan faktur pajak sendiri oleh PKP tanpa melalui aplikasi e-Faktur karena PKP tergolong sebagai PE yang menyerahkan JKP kepada konsumen akhir. Akhir kata, semoga tulisan ini dapat membantu khalayak ramai untuk membedakan kedua JKP satu sama lain, sehingga dapat melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya dengan tepat.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.