Oleh: Halimah Kurnia Sari, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Semakin tingginya kebutuhan masyarakat Indonesia akan tempat hunian rumah tapak yaitu jenis hunian yang dibangun menapak langsung di atas tanah membuat harga rumah selalu mengalami kenaikan setiap tahunnya. Berdasarkan data Rumah.com Indonesia Property Market Index, indeks harga rumah dalam tiga tahun terakhir meningkat 10%. Walaupun sempat mengalami perlambatan akibat pandemi di tahun 2020-2021, tren peningkatan harga kembali berlanjut di tahun 2022 dengan kenaikan 5% secara tahunan. Begitu pula pada data Property Market penyaluran kredit sektor Properti yang terelalisasi berdasarkan data survei Bank Indonesia Pada kuartal pertama 2023 sebesar SBT 52,6% mengalami kenaikan sebesar 81,9%. Kenaikan tersebut dinilai karena pertumbuhan ekonomi terus membaik dan animo masyarakat untuk mengajukan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) kembali meningkat.

Selain menyiapkan dana untuk pembelian hunian, pembeli harus menyiapkan dana untuk memenuhi kewajiban perpajakan atas jual beli properti yaitu Pajak Penghasilan (PPh) Final dan bea peralihan hak agar mendapatkan legalitas dan pengakuan atas tanah tersebut. Penjual membayar PPh final atas penghasilan yang didapat dari transaksi penjualan barang dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebagai penambahan nilai atas barang tersebut, sedangkan pembeli membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (PHTB) sebagai pengalihan hak atas tanah. PPh PHTB dan PPN dikelola oleh pusat atau Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sedangkan bea PHTB dikelola oleh pemerintah daerah sedangkan

Kewajiban Pajak Penjual

Penjual memiliki dua kewajiban pajak yaitu melakukan penyetoran PPh Final Pasal 4 ayat (2) dan memvalidasi pembayaran tersebut.

PPh Final atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan tanah dan/atau bangunan, perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan tanah dan/atau bangunan, serta penghasilan yang timbul dari perjanjian pengikatan jual beli beserta perubahannya.

Saat terjadi penjualan tanah dan/atau bangunan, penjual akan mendapat uang tambahan penghasilan, atas tambahan penghasilan inilah yang dikenakan PPh Final Pasal 4 ayat (2) sesuai kelompok tarif di bawah dari nilai yang sesungguhnya atau seharusnya diterima tanpa ada hubungan istimewa dan pajak terutang saat sudah terdapat akta jual beli atau perjanjian pengikatan jual beli.

Ada tiga kelompok tarif :

1. 0% untuk pengalihan hak atas tanah atau bangunan kepada pemerintah, BUMN yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah
2. 1% untuk tanah dan/atau bangunan berupa rumah sederhana dan rumah susun sederhana yang dilakukan oleh wajib pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah/bangunan
3. 2.5% untuk selain tarif diatas

Setelah disetorkan ke rekening kas negara, pembayaran yang sudah disetorkan harus di lakukan validasi apabila terdapat jumlah yang tidak sesuai dengan yang seharusnya dibayarkan. Pengajuan validasi dapat dilakukan di saluran tertentu DJP yaitu pajak.go.id dan memilih menu e-PHTB. Terdapat beberapa PPh PHTB yang dibebaskan dari kewajiban membayar, namun hal ini harus memenuhi syarat yang sudah ditentukan dengan meminta Surat Keterangan Bebas (SKB) pada pihak berwenang dalam hal ini DJP.

Penjual juga bias terkena Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada transaksi jual beli tanah, pengenaan ini dilihat secara subjek dan objeknya. Secara subjek, apabila bukan Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menjual tanah baik kepada PKP maupun non-PKP, atas penyerahan tersebut tidak terutang PPN berapapun nilainya. Berbeda kasus jika penjual adalah PKP, penjualan tanah yang sudah terdapat bangunan termasuk ke dalam penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) karena sudah ada nilai tambah apalagi jika tanah/bangunan tersebut memang merupakan barang dagangan maka akan dikenakan PPN sesuai ketentuan Pasal 4 huruf a UU PPN. Pembayaran PPN akan diserahkan kepada PKP penjual sebagai pemungut PPN. PPN bisa dikreditkan ke dalam pajak masukan apabila tanah dan bangunan tersebut menjadi barang modal atau aktiva sesuai Pasal 16D.

Secara objek pajak, tanah tidak masuk ke dalam negative list PPN. Setiap PKP yang melakukan transaksi penjualan tanah dan/atau bangunan wajib membuat faktur pajak dengan mencantumkan identitas pembeli (NPWP Pembeli) serta menyampaikan SPT Masa PPN.

Kewajiban Pajak Pembeli

Pembeli memiliki kewajiban pajak untuk melakukan penyetoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB). Sebelumnya BPHTB dipungut oleh pemerintah pusat, namun keberadaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menyatakan jika BPHTB dialihkan menjadi salah satu jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota yang mengartikan pajak tersebut bergantung pada daerah masing-masing.

Bea yang dimaksud di sini bukanlah pajak karena pengertian bea dan pajak sendiri sangatlah berbeda. Karakteristik bea di antaranya pembayaran pajak terjadi lebih dahulu daripada saat terutang. Contohnya, pembeli tanah bersertifikat sudah diharuskan membayar BPHTB sebelum terjadi transaksi atau sebelum akta dibuat dan ditandatangani. Hal ini terjadi juga dalam bea meterai, siapa pun pihak yang membeli meterai tempel, berarti ia sudah membayar bea meterai walaupun belum terjadi saat terutang pajak. Selain itu, frekuensi pembayaran bea terutang dapat dilakukan secara insidensial atau berkali-kali dan tidak terikat oleh waktu. Misalnya, membeli atau membayar meterai tempel dapat dilakukan kapan saja begitu pula dengan membayar Bea PHTB terutang. Saat terutang dan pelunasan BPHTB untuk jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta, yaitu tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta pemindahan hak di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris.

Bea PHTB terutang : Tarif x (NPOP-NPOPTKP)

Tarif BPHTB ditetapkan maksimal 5%. Pembeli dikenakan BPHTB yang besarnya dihitung berdasarkan harga perolehan hak atau Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) atau nilai transaksi atau nilai kesepakatan harga antara penjual dan pembeli. Namun apabila nilai NPOP lebih besar dari NJOP, yang dijadikan sebagai dasar pengenaan PPh dan BPHTB adalah NPOP. Akan tetapi, jika NPOP lebih kecil dari NJOP, yang dijadikan dasar untuk perhitungan PPh dan BPHTB adalah NJOP, hal ini dikecualikan jika transaksi terjadi atas lelang maka NPOP adalah nilai lelang. Besarnya NPOPTKP berbeda tiap daerah karena ditentukan oleh pemerintah daerah masing-masing.

Bersahabat dengan Pajak

Banyak yang berpikir jika tanah terkena berbagai macam pajak, hal ini harus dilihat dari segi subjek dan objek pajaknya. Tanah dikenakan PPh Final karena transaksi tanah dan/atau bangunan tersebut merupakan tambahan penghasilan bagi penjual, pembeli dikenakan Bea PHTB karena terdapat perubahan nama akta (balik nama) dari pemilik tanah ke pembeli, tanah juga dapat dikenakan PPN karena ada penyerahan BKP yang sudah ada nilai tambah dan memang tanah dan/atau bangunan tersebut memang barang dagangan. PPN bisa dikreditkan sebagai barang modal sesuai Pasal 16D. PPN dibayarkan melalui penjualnya sebagai PKP pemungut menggunakan NPWP Pembeli sebagai konsumen akhir.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.