Oleh: Teddy Ferdian, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Apa yang Anda rasakan ketika penghasilan yang Anda peroleh harus dipotong untuk membayar pajak?

Seorang sahabat pernah mengatakan kepada saya, "Setiap hari saya harus masuk bekerja mulai pukul 07.00 sampai pukul 17.00. Penghasilan yang saya peroleh dengan susah payah ini ketika harus dipotong pajak, rasanya kok gimana ya? Ikhlas sih ikhlas, tapi masih ada perasaan tidak rela," jelas sahabat saya.

Apakah Anda pernah merasakan hal yang sama?

Di lain cerita, saya pernah terlibat diskusi dengan seorang wajib pajak. Si wajib pajak mengeluhkan soal peraturan pajak yang sering berubah sehingga dia harus terus berupaya meng-update informasi terkait pajak agar tidak ketinggalan informasi. "Walaupun begitu, saya tetap berusaha patuh, Pak, karena saya percaya jika kontribusi saya dalam membayar pajak sedikit banyak pasti berguna untuk negara. Tetapi tolong uang pajak jangan diselewengkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab," terang si wajib pajak. Apakah Anda termasuk yang memiliki pandangan seperti si wajib pajak ini?

Love of Money

Love of money menjadi suatu konsep pemikiran yang banyak dimiliki oleh masyarakat secara umum. Tidak salah memang, karena mungkin mereka merasa sudah mengerahkan segala upaya untuk mendapatkan uang sebagai penghasilan mereka.

Konsep love of money diperkenalkan oleh seorang akademisi Thomas Li-Ping Tang melalui artikel "The Meaning of Money Revisited" pada tahun 1992 sebagai sebuah literatur psikologis untuk mengukur perasaan subjektif seseorang terhadap uang. Penelirian lebih lanjut menjelaskan love of money sebagai perilaku, keinginan, dan aspirasi seseorang terhadap uang (Tang dan Chen, 2008).

Dalam perkembangannya, banyak penelitian terkait konsep love of money dan pengaruhnya terhadap persepsi etis seseorang, misalnya di kalangan mahasiswa atau karyawan. Ada juga yang menghubungkan dengan sifat machiavellianisme yang fokus pada kepentingan pribadi  dan cara-cara memperoleh tujuan pribadi tanpa mempertimbangkan perasaan dan kepentingan orang lain.

Banyaknya pandangan terkait konsep love of money menjadikannya menarik untuk diselisik lebih lanjut. Salah satunya adalah menghubungkan love of money dengan moral pajak. Logikanya ketika seseorang mencintai uang, maka akan banyak pertimbangan yang dipikirkan ketika harus mengeluarkan uang. Apalagi pengeluarannya itu bukan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pribadi. Kewajiban membayar pajak dapat menjadi dilema tersendiri bagi seseorang yang memiliki kecenderungan love of money.

Hal ini yang bisa mengarah pada upaya menghindar dari pemenuhan kewajiban perpajakan melalui tax avoidance atau bahkan tax evasion. Adalah moral pajak yang menjadi salah satu prinsip dalam diri seseorang yang dapat menjadikan motivasi tersendiri bagi seseorang untuk patuh pajak. Yang menjadi pertanyaan menarik adalah mungkinkah seseorang dengan kecenderungan love of money dapat memiliki moral pajak?

Moral Pajak

Dalam laporannya yang berjudul: “Tax Morale: What Drives People and Businesses to Pay Tax”Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD, 2019) mendefinisikan moral pajak sebagai motivasi intrinsik untuk membayar pajak, dan ini merupakan aspek penting dalam sistem pajak. Sistem pajak di Indonesia menganut self assessment system, sehingga kepatuhan sukarela dari wajib pajak menjadi hal yang penting dalam meningkatkan penerimaan pajak. Lebih lanjut, moral pajak dapat menjadikan seseorang untuk memiliki kecenderungan untuk berkontribusi kepada negara melalui pelaksanaan kewajiban perpajakan.  

Pendapat senada tentang moral pajak juga diungkapkan oleh Benno Torgler dan Friedrich Schneider dalam penelitian terkait perilaku pembayaran pajak di Austria. Torgler dan Schneider (2005) menjelaskan bahwa moral pajak mengacu pada kemauan seseorang untuk mematuhi dan membayar pajak, sehingga berkontribusi secara sukarela pada penyediaan barang publik. Sebelumnya, Torgler (2003) dalam disertasinya berjudul “Tax Morale: Theory and Empirical Analysis of Tax Compliance” menjelaskan bahwa moral pajak juga menjadi hal yang dapat mempengaruhi kepatuhan pajak, selain peluang dan tarif pajak.

Motivasi dalam diri wajib pajak untuk membayar pajak tentu tidak tumbuh dengan sendirinya. Pastinya ada pencetus yang memunculkan motivasi tersebut. Dan hubungan antara masyarakat sebagai warga negara dan pemerintah tidak bisa dipungkiri dapat menjadi hal yang menentukan terciptanya moral pajak.

OECD mencatat bahwa setidaknya ada tiga faktor yang dapat menumbuhkan moral pajak di kalangan masyarakat, yaitu pelayanan publik, kepercayaan terhadap pemerintah, dan persepsi korupsi. Pelayanan publik sebagai salah satu faktor tumbuhnya moral pajak tentunya tidak hanya terkait dengan pelayanan perpajakan. Pajak yang dibayarkan oleh wajib pajak digunakan untuk banyak sektor sebagai tujuan pengeluaran dan belanja negara. Pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pengelolaan sumber daya alam, dan bantuan sosial adalah beberapa contoh tujuan belanja yang pemerintah lakukan.

Oleh karena itu peningkatan pelayanan publik mutlak diperlukan di berbagai sektor. Masyarakat harus dapat menikmati perlakuan yang tidak tebang pilih dalam pelayanan publik.

Presiden Prabowo Subianto sudah menegaskan dalam pidatonya di hadapan para Menteri Kabinet Merah Putih yang baru dilantik bahwa tugas pemerintah adalah melayani rakyat. Sehingga birokrasi tidak boleh mempersulit rakyat. Rakyat harus dengan mudah memperoleh pelayanan publik.

Selanjutnya, kepercayaan terhadap pemerintah selama ini menjadi isu masih yang terus dibahas. Momentum pergantian pimpinan tertinggi negara ini harusnya bisa digunakan untuk meningkatkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.

Tanda-tanda awal positif sudah diperlihatkan. Presiden berupaya mempersiapkan jajarannya, bukan hanya dari segi teknis, namun juga soliditas. Outing dan retreat yang dihelat di Akademi Militer, Magelang adalah contoh konkretnya. Ini merupakan upaya yang ditempuh oleh kepala negara dalam menyamakan visi dan meningkatkan soliditas seluruh jajarannya. Hal ini penting dalam eksekusi rencana pembangunan yang pastinya ada keterkaitan peran dari beberapa kementerian dan/atau lembaga. Presiden ingin memperlihatkan kepada rakyat bahwa kabinet baru ini memiliki satu visi untuk melayani masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Faktor ketiga adalah persepsi korupsi. Bagaimana masyarakat memiliki pandangan terhadap praktik korupsi di negeri ini. Belum lama ini publik dihebohkan oleh indikasi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh oknum hakim di Indonesia. Kasus yang bahkan diduga ikut menyeret juga oknum mantan pejabat di Mahkamah Agung ini membuktikan bahwa pejabat pemerintah masih belum bisa dikatakan bersih dari korupsi.

Faktanya, Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) tahun 2024 yang ada di angka 3,85 (skala 5) melorot dibandingkan dengan tahun 2023 yang ada di angka 3,92. Artinya  pandangan antikorupsi dari masyarakat mengalami penurunan. Penurunan kecil memang, namun harus menjadi perhatian semua pihak, khususnya yang terlibat dalam pemerintahan.

Dua dimensi penyusun indeks ini, yaitu dimensi persepsi dan dimensi pengalaman mengalami penurunan. Hal ini menjadi lampu kuning bagi pemerintahan baru yang harus bisa mencarikan formula jitu untuk meningkatkan kembali indeks ini.

Menumbuhkan moral pajak artinya pemerintah harus bisa meyakinkan masyarakat bahwa budaya antikorupsi sudah mengalir dalam diri seluruh aparatur negara. Sanksi tegas harus diberikan bagi siapapun yang melakukan penyalahgunaan wewenang untuk berbuat korupsi.

Pemikiran love of money bisa saja dimiliki oleh sebagian orang, namun bukan berarti moral pajak tidak bisa hadir di negeri ini. Memiliki uang tentu saja penting, namun uang bukan segalanya. Ada etika dan empati yang harus tetap dimiliki. Ada kepentingan umum yang perlu dipikirkan. Ada tanah air yang membutuhkan rasa cinta setiap warganya.

Akhirnya, moral pajak menjadi suatu hal yang harus menjadi perhatian negara dalam meningkatkan kepatuhan pajak. Pemerintah pusat dan daerah harus memberi keyakinan kepada rakyat bahwa kesejahteraan rakyat menjadi fokus utama. Kepatuhan pajak yang tinggi akan menghadirkan peningkatan penerimaan pajak. Artinya negara akan dapat memberikan fasilitas dan pelayanan kepada seluruh masyarakat dengan lebih optimal.

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.