Oleh: Stefany Patricia Tamba, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Libur sekolah bukan lagi sekadar momen keluarga, tetapi kini menjadi peluang strategis fiskal. Pemerintah melalui berbagai kementerian dan lembaga telah meluncurkan paket stimulus ekonomi bernilai puluhan triliun rupiah sejak awal Juni 2025. Skema ini mencakup potongan 50% tagihan listrik untuk 79 juta pelanggan rumah tangga, bantuan pangan bagi 18 juta keluarga miskin, serta diskon besar-besaran untuk moda transportasi publik selama musim libur sekolah.

Meski stimulus ini tampak sebagai pengeluaran, justru ia merupakan investasi fiskal jangka pendek yang potensial untuk mendongkrak konsumsi domestik dan memperluas basis perpajakan nasional. Apalagi, momentum ini terjadi di tengah perlambatan ekspor akibat ketidakpastian global. Konsumsi rumah tangga lantas menjadi pendorong utama pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 52,5% terhadap PDB Indonesia pada Triwulan I 2025. Dengan meningkatnya daya beli masyarakat melalui insentif fiskal ini, sektor-sektor jasa dan perdagangan yang selama ini menjadi kontributor dominan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan Final Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (PPh Final UMKM) akan kembali berdenyut.

Diskon tarif angkutan dan energi, misalnya, tidak hanya menekan inflasi musiman, tetapi juga memindahkan pengeluaran masyarakat dari kebutuhan dasar ke sektor-sektor bernilai tambah. Dalam konteks perpajakan, ini membuka peluang peningkatan penerimaan PPN dari sektor hospitality, kuliner, transportasi, hingga pariwisata lokal. Berdasarkan data penerimaan PPN tahun 2024, sektor jasa akomodasi dan makanan-minuman menyumbang Rp31,2 triliun, sementara sektor transportasi menyumbang Rp27,6 triliun. Dengan asumsi kenaikan konsumsi 10–15% selama periode liburan, potensi tambahan penerimaan negara dari dua sektor ini saja dapat mencapai Rp5–7 triliun.

Dari sisi bantuan pangan dan energi, efeknya bukan hanya menjaga ketahanan konsumsi masyarakat berpenghasilan rendah, tetapi juga mendorong perputaran dana di sektor ritel dan distribusi. Program bantuan sosial (bansos) tunai maupun nontunai, sebagaimana diteliti oleh Bank Dunia (2022), memiliki multiplier effect sebesar 1,9 kali terhadap ekonomi lokal. Artinya, setiap Rp1 bansos yang disalurkan, berkontribusi sebesar Rp1,9 terhadap output domestik. Dalam jangka pendek, ini akan memperbesar omzet pelaku usaha kecil-menengah, dan berdampak pada peningkatan PPh Final UMKM yang saat ini dikenakan sebesar 0,5% dari omzet.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai instansi teknis penerima manfaat dari stimulus ini, terus memperkuat ekosistem kepatuhan sukarela wajib pajak melalui edukasi, integrasi data, dan pendekatan berbasis risiko. Pemanfaatan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), serta ekspansi layanan digital (Coretax) memperluas jangkauan pemajakan tanpa menambah beban administratif. Hal ini penting karena sebagian besar pelaku usaha musiman selama liburan sekolah berasal dari sektor informal.

Di sisi lain, insentif fiskal oleh pemerintah juga merupakan bagian dari strategi tax expenditure yang produktif. Berdasarkan Laporan Evaluasi Belanja Perpajakan (Kemenkeu, 2024), tax expenditure Indonesia pada 2023 mencapai Rp347 triliun atau setara dengan 1,65% dari PDB. Namun, sebagian besar masih bersifat horizontal. Program stimulus liburan sekolah justru menjadi bentuk belanja perpajakan yang bersifat targeted dan berdampak langsung pada perluasan basis pajak konsumsi.

Potensi optimalisasi juga terbuka dari sektor digital. Maraknya promosi pariwisata lokal, kuliner, dan UMKM di platform seperti Instagram, TikTok, dan marketplace selama libur sekolah mendorong aktivitas ekonomi berbasis digital. Penerimaan PPN Perdagangan melalui Sistem Elektronik (PMSE) per Maret 2025 mencapai Rp26,12 triliun, tumbuh 14,3% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (DJP, 2025). Jika tren ini terus dimaksimalkan melalui edukasi dan integrasi pelaporan, maka digital economy bisa menjadi tumpuan penerimaan pajak masa depan.

Pemerintah telah membuktikan bahwa kebijakan fiskal tidak harus menunggu momentum krisis untuk hadir. Melalui stimulus musim liburan ini, negara hadir mendongkrak konsumsi rakyat, sekaligus memperkuat fondasi penerimaan negara. DJP siap mengawal proses ini melalui pendekatan yang kolaboratif, adaptif, dan akuntabel, agar setiap rupiah yang dibelanjakan hari ini menjadi fondasi fiskal yang kuat di masa depan.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.