Lapor SPT dan Bahaya Menunda-nunda
Oleh: Teddy Ferdian, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Sebagian dari kita mungkin pernah punya pengalaman menunda suatu pekerjaan. Kita memilih mengerjakan pekerjaan lain yang sebenarnya tidak lebih penting dari pekerjaan yang kita tunda. Terlepas dari apakah kita menyadari atau tidak kadar seberapa pentingnya masing-masing pekerjaan, tetapi kita telah memutuskan untuk menunda salah satu pekerjaan.
Lebih ekstrim lagi, mungkin kita pernah menunda pekerjaan untuk hal yang sebenarnya tidak penting atau perlu dilakukan. Misalnya, ada deadline tugas kantor dalam satu minggu ke depan. Jika kita mau, sebenarnya bisa menyelesaikannya hari ini. Namun, kita menundanya bahkan untuk hal yang tidak mendesak dan tidak berhubungan dengan pekerjaan, seperti menghabiskan waktu dengan bermain game online, seharian nonton serial drama, atau jalan-jalan wisata kuliner. Hingga tidak terasa besok sudah waktu deadline, tetapi pekerjaan belum selesai. Pekerjaan pun dilakukan dengan terburu-buru dan hasil akhirnya pun bisa ditebak, tidak maksimal.
Dalam ilmu psikologi, perilaku ini disebut prokrastinasi. Kata Prokrastinasi berasal dari bahasa latin yaitu gabungan kata "pro" yang berarti "maju", "ke depan", atau "lebih menyukai" dan kata "crastinus" yang berarti "besok". Sehingga, arti harfiah prokrastinasi adalah lebih suka melakukan pekerjaan besok.
Penulis buku "Still Procrastinated? The No Regrets Guide to Getting It Done" sekaligus Profesor Psikologi di De Paul University Chicago Joseph R. Ferrari menyatakan bahwa 20% orang dewasa di Amerika Serikat adalah orang-orang yang memiliki perilaku suka menunda yang kronis. Boleh jadi di Indonesia juga berlaku seperti itu atau bahkan persentasenya lebih tinggi.
Disadari atau tidak, kebiasaan menunda pekerjaan ini memang boleh jadi cukup sering dilakukan. Saat menerima penugasan suatu pekerjaan, hal pertama yang sering ditanyakan oleh penerima penugasan adalah "deadlinenya kapan?" Dan waktu deadline itu tertanam dalam alam bawah sadar sehingga secara tidak langsung mengirimkan pesan kepada diri untuk menganggap itu adalah waktu penyelesaian tugas.
Hal ini ternyata juga berlaku dalam pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh). Yang paling diingat oleh wajib pajak yang telah mengikuti sosialisasi pelaporan SPT boleh jadi adalah tanggal 31 Maret batas waktu pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi dan 30 April batas waktu pelaporan SPT Tahunan PPh Badan. Ketika masih bulan Januari, Februari, atau awal maret, banyak yang mungkin masih beranggapan bahwa belum dekat batas waktu pelaporan, nanti saja lapor SPTnya. Inilah yang menyebabkan kantor pajak selalu dipenuhi oleh wajib pajak yang melaporkan SPT Tahunan PPh pada akhir bulan Maret dan akhir bulan April. Walaupun dengan adanya e-Filing sedikit banyak mampu mengurangi wajib pajak yang hadir ke kantor pajak, namun di daerah-daerah tertentu di luar kota besar, fenomena keramaian wajib pajak di kantor pajak seperti ini masih terjadi. Ini merupakan salah satu dampak dari kurang meratanya penguasaan teknologi di setiap wilayah di Indonesia.
Prokrastinasi dalam pelaporan SPT ini yang harus dapat dihindari oleh wajib pajak. Jika tetap dilakukan, dampaknya bisa merugikan wajib pajak sendiri. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pun dari sejak awal tahun selalu mengimbau pelaporan SPT Tahunan PPh di awal waktu. Saat ini spanduk-spanduk publikasi pelaporan SPT Tahunan PPh pun bertuliskan kalimat imbauan, "Kenapa tunggu nanti? Lapor SPT Hari ini."
Menghindari prokrastinasi dalam pelaporan SPT akan memberikan manfaat tersendiri bagi wajib pajak. Pertama, aspek psikologis yang dirasakan wajib pajak. Wajib pajak akan merasa nyaman ketika telah selesai melaksanakan kewajiban pelaporan SPT Tahunan PPh. Pelaporan SPT Tahunan PPh berarti wajib pajak terhindar dari pengenaan sanksi administrasi terkait pelaporan SPT. Wajib pajak pun merasa lebih tenang karena telah menuntaskan salah satu kewajiban sebagai warga negara.
Kedua, kita tidak ada yang mengetahui apa yang akan terjadi saat mendekati batas waktu pelaporan SPT. Jika saat itu wajib pajak sedang dalam kesibukan pekerjaan yang luar biasa atau sedang dalam kondisi kesehatan yang kurang baik, bisa jadi hal ini akan membuat wajib pajak menjadi lalai dalam melaporkan SPT Tahunan PPh.
Ketiga, pelaporan SPT Tahunan PPh saat ini dapat dilakukan secara elektronik melalui e-Filing atau manual (jika belum pernah lapor secara elektronik dan masih memilih pelaporan SPT secara manual) yang dilaporkan ke kantor pajak atau dikirimkan dengan pos tercatat. Untuk wajib pajak yang sudah menggunakan e-Filing di tahun sebelumnya, maka pelaporan tahun ini dan berikutnya harus terus menggunakan e-Filing. Kendala teknologi yang mungkin saja terjadi bisa menjadi penghambat jika pelaporan dilakukan mendekati batas waktu. Walapun DJP terus mengembangkan dan meningkatkan kinerja sistem untuk memberikan pelayanan optimal kepada wajib pajak yang menggunakan layanan elektronik yang disediakan DJP, namun kendala teknologi terkait sistem, jaringan, dan proses penggunaan aplikasi masih mungkin saja terjadi. Apalagi jika di waktu yang bersamaan ada ratusan ribu bahkan jutaan wajib pajak yang menggunakan aplikasi yang sama.
Untuk wajib pajak yang masih melaporkan SPT Tahunan PPh secara manual ke kantor pajak, pelaporan mendekati batas waktu atau di hari terakhir batas waktu pelaporan SPT, bisa jadi dihadapkan pada ramainya kantor pajak. Situasi ini yang bisa membuat ketidaknyaman wajib pajak, apalagi ditambah dengan kekhawatiran bahwa saat ini masih dalam masa pandemi COVID-19.
Akhirnya, keputusan kapan wajib pajak akan melaporkan SPT akan kembali pada wajib pajak sendiri. Namun, adalah bijak jika wajib pajak bisa mencermati dan menghindari perilaku prokrastinasi dalam pelaporan SPT. Terlebih jika seluruh data yang diperlukan untuk pelaporan SPT sudah dimiliki wajib pajak, segera saja laporkan SPT Tahunan PPh. Jangan tunggu nanti, segera lapor SPT hari ini.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 716 kali dilihat