Oleh: Galih Ardin, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Setahun sudah pandemi covid 19 melanda Indonesia. Berdasarkan data yang dihimpun dari Satgas Penanganan Covid -19 (2021), diketahui bahwa sampai dengan akhir Maret 2021, jumlah penduduk Indonesia yang terinveksi virus covid 19 adalah sebanyak 1,4 juta jiwa. Dari jumlah yang terkonfirmasi positf tersebut, 1,3 juta diantaranya dinyatakan sembuh, 131 ribu dalam perawatan dan 39 ribu meninggal dunia.

Tetapi sayangnya, pandemi global tersebut tidak hanya berimbas negatif terhadap aspek kesehatan, namun juga aspek ekonomi pun ikut terpuruk sebagai akibat dari pembatasan sosial dan merosotnya kegiatan ekspor impor. Badan Pusat Statistik (2021) mencatat bahwa pada triwulan kedua tahun 2020 pertumbuhan ekonomi Indonesia terjun bebas menyentuh angka -5,32%. Angka ini kemudian perlahan naik pada triwulan ketiga menjadi -3,49% dan pada triwulan ke empat pertumbuhan ekonomi tersebut mentok di angka –2,19%. Pertumbuhan ekonomi negatif selama tiga triwulan secara berturut tersebut tak elak membuat ekonomi Indonesia masuk ke dalam pusaran resesi. Guna mencegah terperosok dalam jurang resesi ekonomi yang lebih dalam, pemerintah mengeluarkan berbagai paket kebijakan salah satunya adalah kebijakan di bidang perpajakan.

Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 21/PMK.010/2021 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Rumah Tapak dan Unit Hunian Rumah Susun yang Ditanggung Pemerintah Tahun 2021 Pemerintah memberikan fasilitas PPN ditanggung pemerintah untuk pembelian rumah tapak dan rumah susun dengan nilai dibawah lima miliar rupiah.

Pemerintah berharap, fasilitas perpajakan ini akan memberikan multiplier effect pada sisi permintaan dan penawaran pada sektor properti dan sektor lainnya sehingga pada akhirnya akan mampu mengerek pertumbuhan ekonomi. Namun demikian perlu dicermati, apakah fasilitas yang diberikan pemerintah tersebut tidak akan menimbulkan eksternalitas lainnya seperti misalnya gelembung ekonomi sebagaimana dialami oleh negeri paman sam pada tahun 2008 silam.

Menurut Boediono (2016), gelembung ekonomi dalam suatu sektor ekonomi seperti properti atau pasar saham terjadi apabila pelaku ekonomi dalam sektor tersebut mengabaikan langkah - langkah rasional dalam melakukan kegiatan ekonomi. Lebih lanjut, Boediono menyebutkan bahwa antusiasme irasional atau yang lebih jamak disebut irrational exuberance tersebut dipicu oleh adanya keuntungan sesaat yang menyebabkan nilai hutang menggelembung jauh melebihi nilai riil properti atau saham yang diperjual belikan.

Boediono (2016) menyebutkan bahwa contoh ekstrim dari gelembung ekonomi ada di negara Islandia di saat sektor perbankan berkembang dengan sangat pesat melebihi perkembangan sektor riilnya. Akibatnya, pada saat krisis 2008 terjadi, aset sektor perbankan di Islandia bernilai 10 kali PDB nya. Hal ini terjadi karena sesaat sebelum krisis ekonomi para pelaku ekonomi di Islandia berbondong-bondong melakukan pinjaman berbunga rendah yang tidak diikuti dengan kenaikan sektor riilnya. Akibatnya, pada saat krisis global terjadi pada tahun 2008 likuiditas mengetat dan gelembung ekonomi pecah.

Menurut penulis, tanpa kebijakan fasilitas DTP PPN pun kondisi industri properti dan real estat di Indonesia telah menunjukkan tanda-tanda kerawanan sebagai berikut: Pertama, pada masa pandemi sektor real estat mampu tumbuh positif sebesar 2,32% di saat sektor lainnya mengalami perlambatan bahkan pertumbuhan negatif di tahun 2020 (BPS, 2021). Artinya, dengan insentif perpajakan akan semakin memicu permintaan maupun penawaran sektor properti yang dikhawatirkan akan menimbulkan antusiasme irasional yang pada akhirnya dapat memicu gelembung ekonomi.

Kedua, berdasarkan data Bank Indonesia (2021), diketahui bahwa harga properti residensial terus menerus mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahun. Kondisi ini tercermin dari kenaikan Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) semenjak kuartal 1 tahun 2019. Secara teori, fasilitas PPN DTP atas  rumah tapak dan unit rumah susun akan menurunkan harga jual properti dan meningkatkan kurva permintaan. Namun demikian, penulis memperkirakan bahwa turunnya harga properti tersebut tidak akan berlangsung lama karena kuatnya sisi permintaan sektor properti yang tercermin dari kenaikan IHPR, yang pada akhirnya akan meningkatkan harga properti ke titik keseimbangan baru. Sampai di titik ini kita dapat mengetahui bahwa pada dasarnya pemberian insentif PPN DTP dalam jangka waktu panjang akan menjadi sia – sia karena mekanisme pasar pada akhirnya akan menaikan harga properti dan berpotensi memicu irrational exuberance dari Wajib Pajak.

Ketiga, berdasarkan laporan Bank Indonesia (2021) juga diketahui bahwa pada triwulan IV tahun 2020, sebanyak 75,31% konsumen membeli rumah atau unit hunian secara kredit. Dengan adanya fasilitas PPN tersebut maka dapat dipastikan proporsi pembelian hunian secara kredit akan meningkat karena pembeli tergiur untuk segera memanfaatkan insentif PPN DTP sebelum jangka waktu pemanfaatan berakhir pada bulan Agustus 2021. Kondisi ini memicu kerawanan timbulnya gelembung ekonomi apabila nilai kredit yang tinggi tersebut tidak diimbangi dengan nilai asset properti yang diagunkan.

Namun demikian, meskipun fasilitas PPN DTP atas pembelian rumah tapak mempunyai potensi menimbulkan bubble economy di satu sisi, namun di sisi lain pengaturan fasilitas PPN DTP dan ekosistem sistem perbankan yang baik menjadi modal utama dalam mencegah terjadinya gelembung-gelembung ekonomi karena alasan sebagai berikut. Pertama, fasilitas PPN DTP hanya diberikan terhadap aset yang dibeli oleh orang pribadi dan bernilai kurang dari Rp5 miliar. Menurut penulis, hal ini merupakan regulasi yang baik untuk mencegah timbulnya gelembung ekonomi dan mencegah fasilitas PPN DTP dimanfaatkan oleh spekulan yang dapat mempermainkan harga yang pada akhirnya dapat menimbulkan gelembung ekonomi.

Kedua, fasilitas PPN DTP terhadap pembelian rumah tapak dan unit rumah susun sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 21/PMK.010/2021 hanya berlaku selama enam bulan mulai dari bulan Maret 2021 sampai dengan Agustus 2021. Penulis berpendapat bahwa jangka waktu enam bulan adalah jangka waktu yang tepat untuk menggerakkan permintaan dan penawaran sektor properti dan industi pendukung lainnya sebelum kurva permintaan dan penawaran menyentuh ekuilibrium yang baru.

Ketiga, berdasarkan data OJK dan BPS  diketahui bahwa nilai aset produktif yang dimiliki oleh perbankan Indonesia lebih rendah daripada Produk Domestik Bruto (PDB) yang dihasilkan oleh penduduk Indonesia. OJK (2021) melaporkan bahwa nilai aset produktif bank umum konvensional dan bank persero pada akhir 2020 adalah sebesar 11.136 triliun rupiah. Di sisi lain, BPS (2021) melaporkan bahwa nilai PDB Indonesia pada tahun 2020 adalah sebesar 15.434 triliun rupiah. Hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya potensi timbulnya gelembung ekonomi cukup rendah apabila dibandingkan dengan Islandia pada tahun 2008 yang nilai aset produktifnya 10 kali lebih besar daripada PDB-nya.

Berdasarkan analisis di atas kita dapat mengetahui bahwa agaknya fasilitas PPN DTP sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 21/PMK.010/2021 telah disusun secara hati-hati sehingga dapat mencegah potensi timbulnya gelembung ekonomi. Namun demikian, Direktorat Jenderal Pajak perlu memastikan bahwa fasilitas PPN DTP tersebut dimanfaatkan oleh pihak yang tepat salah satunya dengan cara memberikan kewenangan kepada Account Representative untuk melakukan pengawasan dan penelitian atas pemanfaatan insentif. Selain itu, Bank Indonesia beserta OJK juga perlu melakukan pengawasan secara berkala terhadap Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) serta proporsi pembiayaan melalui KPR sehingga potensi terjadinya gelembung ekonomi dapat terdeteksi sedini mungkin.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.