Oleh: Fitriana Eka Wulandari, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Pemberian kewenangan dari pemerintah kepada masyarakat Indonesia secara sepenuhnya untuk melaksanakan kewajiban perpajakan mulai dari menghitung, melapor, dan membayar pajak telah dilakukan sejak reformasi tahun 1984. Kebijakan tersebut selanjutnya disebut dengan self assessment system.

Munculnya sistem tersebut secara tidak langsung memberikan kewajiban kepada masyarakat untuk memahami syarat yang harus dimiliki oleh wajib pajak agar dapat memenuhi kewajiban perpajakannya dengan baik dan benar.

Sebelumnya, perlu diketahui bahwa pajak merupakan suatu pungutan wajib dari rakyat kepada negara untuk kepentingan rakyat. Pajak mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam penerimaan negara. Berdasarkan sudut pandang fiskal, pajak adalah penerimaan negara yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan prinsip dasar menghimpun dana yang diperoleh dari dan untuk masyarakat melalui mekanisme yang mengacu pada peraturan perundang-undangan.

Pajak merupakan pemasukan dana yang memiliki potensi melalui pertumbuhan penduduk dan stabilitas perekonomian. Pajak di Indonesia sendiri menurut kewenangannya terbagi menjadi pajak pusat dan daerah (Susila dkk., 2016). Pajak negara terdiri atas Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Materai (BM), serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Secara pemahaman mengenai pajak, dapat disimpulkan bahwa beban pajak yang dibayarkan berasal dari pendapatan yang dimiliki sehingga terdapat beberapa golongan masyarakat yang dikategorikan sebagai taat pajak. Kepatuhan perpajakan didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya.

Indikator kepatuhan wajib pajak dikategorikan dalam kepatuhan untuk mendaftarkan diri sebagai wajib pajak, kepatuhan dalam menyampaikan surat pemberitahuan, kepatuhan akan pelaporan perpajakan yang benar, dan kepatuhan dalam pembayaran atas tunggakan pajak akhir tahun (Pohan, 2017).

Kepatuhan atau ketaatan wajib pajak secara empiris dipengaruhi oleh penghasilan yang didapat oleh wajib pajak, besarnya tarif pajak yang dikenakan, kemungkinan diperiksa, dan besarnya penalti (Allingham dan Sandmo, 1972). Tetapi belakangan, mulai mengemuka teori bahwa kepatuhan wajib pajak bukan hanya berdasar pada perhitungan untung rugi melainkan karena faktor sosial dan psikologis.

Secara empiris, hal ini antara lain dibuktikan oleh Phillips (2011), yang mendasarkan pada data dari Internal Revenue Service (IRS) di Amerika Serikat bahwa walaupun terdapat sejumlah penghasilan wajib pajak tertentu yang tidak dapat dilacak oleh IRS, wajib pajak tersebut tetap melaporkan penghasilannya. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat faktor dari dalam diri wajib pajak itu sendiri yang menyebabkan wajib pajak menjadi patuh.

Faktor intrinsik untuk membayar pajak inilah yang kemudian disebut sebagai tax morale atau moral pajak. Dalam penelitian tersebut diungkapkan bahwa faktor jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan sosial ekonomi, dan tingkat kepercayaan terhadap pemerintahan sebagai dasar motivasi ketaatan pembayaran pajak.

Munculnya moral pajak pada generasi muda termasuk mahasiswa dapat dikorelasikan dengan tertanamnya suatu persepsi dan kepercayaan akan fungsi pajak yang dianggap benar-benar memberikan kontribusi yang mutlak dan dibutuhkan oleh setiap warga negara untuk menciptakan kehidupan sosial yang lebih baik.

Argumen ini mudah dijelaskan dengan menghubungkan antara ketersediaan berbagai layanan publik, seperti pendidikan gratis, jaminan kesehatan, keamanan, ataupun fasilitas rekreasi yang semata-mata disediakan melalui penerimaan pajak.

Kesadaran pajak pada kalangan generasi muda termasuk mulai dari usia mahasiswa diduga didorong oleh pembelajaran tentang kesadaran pajak di lingkungan pendidikan tinggi dengan prinsip berdasar andragogi. Dari pendekatan tersebut membawa generasi muda untuk menekankan prakarsa aktif dan mandiri serta interaktif sehingga muncul kesadaran akan pajak.

Kesadaran pajak sangat relevan untuk dikaitkan dengan semua sisi kehidupan, baik dalam hal ideologi, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, maupun pertahanan dan keamanan. Sehingga, kesadaran pajak sangat perlu ditanamkan kepada seluruh generasi muda melalui pendidikan saat ini. Hal ini untuk membantu membentuk generasi muda kreatif yang berkarakter dan sadar pajak.

Pelatihan pajak sebagai suatu kegiatan untuk meningkatkan kemampuan diri berupa pengetahuan, keahlian yang dapat diterapkan dalam bidang perpajakan untuk mencapai tujuan tertentu dapat dianggap berpengaruh pada peningkatan moral pajak yang dimiliki oleh generasi muda.

Berdasarkan penelitian Komala dan Elen (2021), diketahui bahwa 72% responden aktif Tax Center di bawah satu tahun beranggapan membutuhkan wadah pelatihan untuk bisa meningkatkan kesadaran dan juga pemahaman mereka atas pajak. Meskipun demikian mayoritas responden sudah mendapatkan penjelasan tentang pajak di Tax Center. 

Selain didukung dan dipengaruhi oleh hal-hal di atas, terdapat satu faktor yang dapat dikaitkan dengan moral pajak yaitu sikap love of money atau kecintaannya pada uang yang berlebihan. Hasil pengujian menunjukan bahwa makin tinggi kecintaan seseorang pada uang maka persepsi terhadap etika penggelapan pajak juga makin tinggi. Ini berarti seseorang yang memiliki etika uang (money ethic) yang tinggi cenderung untuk melakukan penggelapan pajak karena menganggap melakukan penggelapan pajak itu etis (Basri, 2015).

Penelitian ini mendukung hasil penelitian Lau, Tang, dan Chiu (2013) yang menunjukan bahwa etika uang berhubungan dengan penghindaran pajak (tax evasion). Semakin tinggi etika uang maka semakin besar kemungkinan mahasiswa akuntansi untuk berperilaku tidak etis.

 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja