Oleh: Nela Gustina Muliawati, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Seperti halnya dalam perekonomian yang mengenal sistem ekonomi kapitalis dan sistem ekonomi sosialis, dalam dunia perpajakan juga mengenal adanya dua paradigma yang berbeda, yakni kepatuhan yang dipaksakan dan kepatuhan sukarela. Walaupun demikian, perbedaan paradigma kepatuhan pajak tidak seekstrem perbedaan paradigma sistem ekonomi yang dipengaruhi oleh ideologi suatu negara.

Paradigma kepatuhan pajak tidak ada sangkut pautnya dengan ideologi yang dianut suatu negara. Ini hanya tentang perbedaan perspektif yang terlahir dari latar belakang yang berbeda, yakni perspektif ekonomi yang terlahir dari disiplin ilmu ekonomi dan perspektif psikologi yang muncul dari disiplin ilmu psikologi dan sosiologi.

Dalam perspektif ekonomi dikenal adanya paradigma ekonomi kejahatan (Becker, dikutip dalam Kirchler, 2014). Berdasarkan paradigma ini, model standar untuk kepatuhan pajak penghasilan (Allingham & Sandmo, dikutip dalam Kirchler 2014) mendefinisikan kepatuhan pajak sebagai keputusan di bawah ketidakpastian. Wajib pajak menghadapi pilihan untuk mematuhi hukum dan membayar pajak dengan jujur atau menipu dan mengambil risiko ditangkap dan didenda. Diasumsikan bahwa probabilitas pemeriksaan, tingkat hukuman, tingkat pendapatan individu, dan tarif pajak menentukan keputusan masyarakat untuk patuh atau tidak patuh. Menurut pendekatan ekonomi neoklasik, wajib pajak didorong oleh motif memaksimalkan laba yang secara rasional membandingkan opsi yang ada dan memilih opsi yang menjanjikan keuntungan tertinggi yang diharapkan (Kirchler, 2014).

Dari perspektif ekonomi ini, wajib pajak dianggap memiliki kecenderungan untuk tidak patuh sehingga dibutuhkan upaya paksa untuk menciptakan kepatuhan pajak. Lebih lanjut, Kirchler et al (2014) menjelaskan bahwa kepatuhan yang dipaksakan bergantung pada kekuasaan otoritas dalam mendeteksi dan menghukum penggelapan pajak. Kekuasaan otoritas dianggap kuat apabila pemeriksaan sering dilakukan dan berjalan efektif, serta denda yang dikenakan cukup mengerikan. 

Selanjutnya, Kirchler et al (2014) menggambarkan kepatuhan sukarela sebagai kepatuhan yang berasal dari kepercayaan wajib pajak pada otoritas. Kepercayaan tersebut berasal dari kepercayaan masyarakat terhadap perbuatan baik otoritas pajak, orientasi layanan, dan keterlibatan profesional publik. Diasumsikan bahwa kepercayaan ini dipengaruhi terutama oleh variabel psikologis, seperti pengetahuan subjektif tentang undang-undang perpajakan, sikap terhadap sistem politik secara umum dan perpajakan pada khususnya, norma-norma pribadi dan sosial, serta keadilan yang dirasakan tentang distribusi beban pajak dan prosedur yang diterapkan oleh otoritas pajak.

Singkatnya, kepatuhan yang dipaksakan terlahir dari sudut pandang ekonomi yang mengasumsikan wajib pajak sebagai makhluk rasional yang berusaha memaksimalkan keuntungan dengan membandingkan peluang dan risiko penggelapan pajak. Sementara itu, kepatuhan sukarela terlahir dari sudut pandang psikologi yang melihat adanya moral pajak dalam diri wajib pajak yang mana keberadaanya dipengaruhi oleh variabel psikologis.

Lalu, manakah yang lebih baik? Kepatuhan yang dipaksakan atau kepatuhan sukarela? Dalam hal ini, Kirchler et al (2007, 2014), menegaskan bahwa bukti empiris tidak meninggalkan keraguan tentang pentingnya variabel psikologis dalam kepatuhan pajak tetapi pemeriksaan dan denda tidak boleh diabaikan. Dalam keadaan tertentu, faktor penentu ekonomi, seperti pemeriksaan dan denda, mungkin lebih penting daripada faktor penentu psikologis, atau sebaliknya.

Dalam konteks ini, penulis setuju bahwa besaran dan komposisi atas faktor penentu ekonomi dan faktor penentu psikologis bergantung pada bagaimana kondisi yang dihadapi. Artinya, kedua jenis kepatuhan tersebut memiliki peran dan porsinya masing-masing, keduanya saling melengkapi bukan saling menggantikan.

Kondisi yang dimaksud memiliki wujud yang beraneka ragam. Secara garis besar ada dua kondisi yang mungkin dihadapi otoritas pajak dalam mewujudkan kepatuhan wajib pajak, yakni terkait dengan jenis wajib pajak itu sendiri yang meliputi Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) dan Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN). Bagaimana kepatuhan WPDN dan WPLN dapat terwujud tentunya menempuh jalan yang berbeda.

Bagi WPDN, yang mana memiliki kontrak fiskal (transaksi pertukaran antara pembayaran pajak dan penyediaan barang publik) dengan pemerintah, penting bagi pemerintah untuk memelihara kepercayaan publik demi terwujudnya kepatuhan sukarela WPDN. Kepercayaan publik dapat dibangun dengan memberikan pengetahuan subjektif tentang pajak, menjaga nilai sadar pajak masyarakat, dan menegakan keadilan perpajakan.  

Pengetahuan subjektif tentang pajak dapat diberikan melalui penyediaan barang publik yang berkualitas. Pengalaman memanfaatkan barang publik akan membentuk pengetahuan dan opini masyarakat terkait manfaat pajak bagi kehidupan bernegara sesuai yang tercantum dalam Pasal 1 UU KUP yang menerangkan bahwa pajak digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Selanjutnya, menjaga nilai sadar pajak masyarakat dinilai penting mengingat adanya dinamika sosial yang dapat menggeser nilai dan norma yang ada di masyarakat. Penjagaan ini dapat dilakukan melalui edukasi kesadaran pajak dan kegiatan kehumasan yang intensif.

Sementara itu, keadilan pajak yang dirasakan masyarakat, baik keadilan prosedural maupun keadilan pembebanan pajak, dapat diupayakan melalui sistem dan peraturan perpajakan yang berkeadilan. Keadilan prosedural dapat diwujudkan, salah satunya, melalui digitalisasi layanan pajak yang mana mekanismenya dilaksanakan secara otomatis dan sistematis dengan memanfaatkan teknologi informasi. Berikutnya, untuk keadilan pembebanan pajak dapat diwujudkan melalui ketentuan perpajakan yang berkeadilan atau adanya level playing field bagi semua pelaku usaha, misalnya ketentuan pengenaan pajak bisnis digital asing yang dinilai dapat memberikan keadilan antara pelaku usaha konvensional dan pelaku usaha digital sekaligus keadilan antara pelaku usaha domestik dan pelaku usaha asing.

Walaupun demikian, seperti halnya dalam proses produksi yang kadang kala menghasilkan produk gagal, pemeliharaan kepercayaan publik tidak selalu menghasilkan kepatuhan pajak, terkadang muncul produk gagal dalam wujud ketidakpatuhan pajak. Produk gagal tersebut perlu diproses lebih lanjut agar dapat memberi nilai tambah pada penerimaan pajak. Dengan kata lain, perlu upaya penegakan hukum untuk melengkapi upaya pemeliharaan kepercayaan publik demi menjaga kepatuhan pajak masyarakat.

Sementara itu, bagi WPLN, yang mana tidak memiliki kontrak fiskal dengan pemerintah, maka upaya penegakan hukum memiliki peran yang penting dalam mewujudkan kepatuhan pajak WPLN. Lebih lanjut, upaya penegakan hukum yang dilakukan pun berbeda dengan upaya penegakan hukum untuk WPDN mengingat pengenaan pajak terhadap WPLN berkaitan dengan yurisdiksi negara lain. Dalam hal ini, keberadaan perjanjian perpajakan internasional dinilai penting untuk menjamin kepastian dan keadilan pemajakan antarnegara yang mana perjanjian tersebut dijadikan acuan oleh negara yang bersangkutan dalam upaya penegakan hukum.

Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan terdapat WPLN yang patuh secara sukarela. Hal ini dapat diupayakan dengan membangun moral pajak dalam setiap interaksi yang dilakukan dengan WPLN. Selain itu, pemberian layanan perpajakan yang berkualitas juga tidak kalah penting dalam mewujudkan kepatuhan pajak WPLN.  

*)Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.