Oleh: Ahmad Dahlan, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Kepada mereka ingin kusampaikan bahwa pajak yang dibayar masyarakat bukan untuk orang pajak. Orang pajak sebagaimana layaknya Aparatur Sipil Negara (ASN) lainnya hanya menerima gaji atas tugasnya itu. Penerimaan pajak yang pada tahun 2022 mencapai Rp2.034,54 triliun atau 114,04 persen dari target atau 77,46 persen dari total penerimaan negara itu memang sebagiannya untuk membayar gaji para ASN seperti guru, pegawai rumah sakit, tentara, dan lain-lain dalam tugasnya menyelenggarakan negara agar tetap tegak berdiri. 

Pengeluaran lainnya sebagaimana dikutip dari laman Kementerian Keuangan (Kemenkeu), untuk belanja barang yang pada tahun 2022 mencapai Rp423,39 triliun. Perinciannya antara lain untuk bantuan subsidi upah (BSU), bantuan tunai untuk PKL warung dan nelayan (PKLWN), penanganan pasien Covid-19, pelaksanaan vaksinasi, dan pemberian insentif tenaga kesehatan, bantuan operasional siswa (BOS), pemberian beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), dan lain-lain.

Masih dari laman Kemenkeu, pengeluaran lainnya adalah belanja bantuan sosial (Bansos) yang pada tahun 2022 mencapai Rp161,03 triliun atau 113,06 persen dari pagu. Realisasi Bansos yang melampaui pagunya tersebut dipengaruhi oleh adanya tambahan alokasi Bansos pada Kementerian Sosial untuk meringankan beban pengeluaran dan menjaga daya beli masyarakat di tengah tekanan kenaikan harga komoditas melalui program bantuan langsung tunai (BLT)
minyak goreng dan BLT BBM serta pemberian bansos untuk lansia, disabilitas dan anak
yatim piatu.

Sementara itu, realisasi belanja subsidi sampai dengan akhir tahun 2022 mencapai
Rp252,81 triliun atau 89,13 persen dari pagu naik sebesar 4,43 persen dibanding tahun sebelumnya (yoy). 

Kepada mereka ingin kusampaikan bahwa tugas Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) hanya mengumpulkan uang pajak. Tugas penggunaan uang negara ada pada direktorat lain melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ketat. Itu sebabnya tagar Ditjen Pajak yang selama ini sering disampaikan adalah "Lunasi pajaknya, awasi penggunaannya." Dalam fungsi sebagai pengawas penggunaan anggaran negara, Ditjen Pajak sama kedudukannya dengan masyarakat. 

Kepada mereka ingin kusampaikan bahwa orang miskin tidak perlu bayar pajak penghasilan (PPh). Karena ada mekanisme Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). PTKP setahun untuk pegawai yang masih sendiri (tidak mempunyai tanggungan) sebesar Rp54 juta. Artinya para pekerja yang penghasilan setahun di bawah Rp54 juta atau Rp4,5 juta per bulan tidak perlu membayar pajak. Jika mempunyai tanggungan misalnya anak atau orang tua yang biaya hidupnya ditanggung sepenuhnya, PTKP-nya bertambah sebesar Rp4,5 juta per tahun per tanggungan, maksimal tiga tanggungan. 

Demikian juga untuk pelaku usaha kecil. Atas penghasilan bruto sampai dengan Rp500 juta dalam setahun, tidak dikenai PPh. Sementara untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN), masyarakat yang benar-benar miskin mestinya tidak terbebani PPN karena atas barang kebutuhan pokok PPN-nya dibebaskan. Demikian juga untuk jasa pelayanan kesehatan medis dan jasa pendidikan, PPN-nya dibebaskan. Sedangkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) perdesaan dan perkotaan dan pajak kendaraan bermotor tidak dikelola oleh Ditjen Pajak. 

Bahwa mayoritas pegawai pajak masih menjaga integritas. Mereka yang menerima uang semata-mata hanya dari gaji dan tunjangan resmi. Karenanya kalau ada kedapatan oknum pegawai yang pamer harta bejibun, mayoritas pegawai pajak yang jumlahnya puluhan ribu itu ikut dongkol juga. Malah lebih dongkol daripada masyarakat lainnya. Apalagi kalau harta itu terbukti diperoleh dari perilaku koruptif. Oknum semacam itu tak hanya ada di institusi pajak. Kita berharap oknum-oknum semacam itu segera bertaubat demi Indonesia yang lebih baik. 

Kepada mereka ingin kusampaikan bahwa pajak tidak haram. Yang menjadi dasar orang-orang yang mengatakan pajak itu haram adalah sebuah hadits sebagai berikut: 

Dari Abu Khair radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Maslamah bin Makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkan tugas penarikan al-usyur kepada Ruwafi bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, maka ia berkata: ‘Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda sesungguhnya para penarik al-maksi (diazab) di neraka’ (HR Ahmad dan Abu Dawud).

Menurut para ulama, yang dinamakan al-maksu menurut terma dasarnya adalah bermakna pungutan liar. Adapun pajak tidak bisa dikategorikan sebagai al-maksu, sebab ada aturan yang ditetapkan oleh negara atas pihak wajib pajak.

Dikutip dari laman https://islam.nu.or.id, Joseph A. Schumpeter – ekonom skolastik dari Austria – yang ternyata isi bukunya banyak mengadopsi pemikiran al-Ghazali, suatu ketika pernah menyatakan: “Spirit sebuah bangsa, tingkat budaya, struktur sosial, dan sejarah perkembangan kebijakannya, seluruhnya adalah terekam pada sejarah perpajakan yang dimilikinya. Mereka yang paham dengan hal ini akan mampu menemukan kilatan peradaban bangsa tersebut yang lebih terang dibanding sumber mana pun.” (Richard Swedberg, Joseph A. Schumpeter: The Economics of Sociology of Capitalism, Princeton: Princeton University Press, 1991: 99). 

Jika seorang Schumpeter (Abad ke-12) yang bangunan teori ekonominya saja banyak mengadopsi dari Islam justru menemukan sisi baik dari peradaban perpajakan yang pastinya teorinya juga ia dapatkan dari Islam, lantas mengapa justru kita selaku umat Islam tidak bangga dengan peradaban itu?

Bahkan Arab Saudi yang merupakan kiblatnya umat Islam sedunia pun memungut pajak. Melansir dari CNBC, pada 11 May 2020, Pemerintah Arab Saudi mengeluarkan kebijakan untuk menaikkan pajak hingga tiga kali lipat. Hal ini diambil sebagai dampak menurunnya pemasukan negara akibat jebloknya harga minyak mentah dunia. PPN akan dinaikkan menjadi 15 persen dari semula 5 persen. Sedangkan dikutip dari Turnbackhoax, Kerajaan Arab Saudi juga menggunakan istilah dharibah untuk pajak. Pajak yang termasuk dalam istilah ini meliputi PPh, PPN, dan pajak komoditas selektif (cukai). Umumnya otoritas pajak menggunakan istilah revenue yaitu penerimaan negara, seperti IRS dan IRAS.

Kepada mereka ingin kusampaikan banyak lagi hal manfaat pajak sebagaimana kutipan yang sangat terkenal dari Hakim Agung Amerika Serikat, Oliver Wendell Holmes Jr., “Taxes are what we pay for a civilized society (pajak adalah ongkos peradaban).” Namun percuma. Mereka tengah dirasuki kebencian terhadap institusi pengumpul uang pajak. Dijelaskan seperti apa pun, mereka tidak akan percaya. 

Untungnya, selalu ada dua sisi yang saling berseberangan. Pembenci di satu sisi, pencinta di sisi yang lainnya. Mereka adalah para penjaga tegaknya negara ini. Sehingga apa pun yang tengah terjadi, mereka tetap membayar pajak. Terbukti, sampai dengan hari ini (28/2), penerimaan pajak nasional sebesar Rp264,92 triliun dari target tahun 2023 sebesar Rp1.718,03 triliun. Jumlah ini tumbuh 26,76 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.  

Para pahlawan APBN itu tak butuh penjelasan apa pun ihwal pajak. Mereka sadar, pajak itu kewajiban setiap warga negara sebagaimana terdapat pada pasal 23 A UUD 1945. Benarlah apa yang disampaikan oleh Ali bin Abi Thalib, "Jangan menjelaskan tentang dirimu kepada siapa pun. Karena yang menyukaimu tidak membutuhkan itu dan yang membencimu tidak percaya itu. 

Itu sebabnya sampai dengan hari ini aku tidak menulis apa-apa terkait isu yang tengah menerpa institusi tempatku menunaikan ibadah sambil mengais rezeki ini.

*)Artikel ini merupakan pendapat penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.