Kearifan Budaya Sumatra Selatan: Mengenal Lampik Mpat Mardike Duwe dan Pajak

Oleh: Dandy Naufalzach Fadlurahman, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Pajak merupakan unsur penting dalam membiayai perputaran hidup negara. Melihat kembali sulaman historis ke belakang, pajak secara tersirat dan tersurat sangat berpengaruh dalam suksesnya suatu negara, dengan nama dan bentuk apa pun. Di Indonesia, hadirnya pajak mewarnai bingkai peradaban dan kelompok masyarakat sejak dahulu kala.
Contoh saja bagaimana Kedatuan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit yang menerapkan pajak bumi dan bea perdagangan yang menjadikan mereka sebagai negeri yang unggul dalam kesejahteraan masyarakat, ekonomi, dan pemerintahan yang efektif di waktu itu. Ternyata, di Sumatra Selatan, kita dapat menemukan sebuah kesatuan pemerintahan lama yang menjalankan salah satu pemerintahan paling demokratis di masa lampau dan sukses dalam penerapan “pajak” yang bersifat gotong royong dan universal, yaitu Lampik Mpat Mardike Duwe.
Menurut Ahmad Bastari Suan (2008), Lampik Mpat Mardike Duwe adalah sebuah kesatuan pemerintahan demokratis masyarakat Suku Besemah kuno yang berkuasa sebelum abad ke-18. Posisi mereka berada di wilayah adat Besemah Lebar Semende Panjang yang kini mencakup Kabupaten Lahat, Muara Enim, Empat Lawang, Ogan Komering Ulu Selatan, dan Kota Pagaralam.
Nama negeri ini berasal dari kata “lampik” yang berarti alas duduk yang umum dipakai dalam persidangan pemerintahan orang-orang Besemah yang berjumlah empat. Kata “mardike” berarti “bebas” yang merujuk pada dua daerah otonomi suku Besemah yang tidak tunduk pada kuasa Sultan Palembang. Lampik Mpat Mardike Duwe terbagi atas sumbay yaitu kesatuan masyarakat yang diikat oleh satu garis keturunan yang sama. Setiap sumbay memiliki tugas menjalankan hukum, adat, dan tatanan bernegara orang Besemah.
Dalam menjalankan roda ekonomi Lampik Mpat Mardike Duwe, para pemimpin sumbay memiliki peran penting dalam memungut pajak berupa hasil bumi dan harta kekayaan seperti uang real Spanyol, koin pitis Palembang, emas, dan perak dari para anggota sumbay. Setelah dikumpulkan, pajak ini dipakai untuk pelaksanaan ritus-ritus adat, pembangunan rumah-rumah dan perbaikannya, pendirian jembatan dan kute (benteng pertahanan), upah untuk para pengurus sumbay, dan kesejahteraan sosial lainnya.
Pemungutan pajak di setiap sumbay ini bersifat wajib pada seluruh anggota, namun setiap anggota dipungut secara demokratis sesuai dengan kemampuan penghasilan dan kepemilikan harta benda mereka sendiri. Pemungutan pajak di masa Lampik Mpat Mardike Duwe sangat menjunjung tinggi sifat masyarakat yang kosmopolitan dan nirhirarki, bersifat gotong-royong, dan pengenaannya yang sangat inklusif namun tetap memperhatikan kondisi anggota Sumbay.
Kebiasaan penerapan pajak yang dilakukan oleh para sumbay ini pun tetap terbawa meski Lampik Mpat Mardike Duwe sudah berada di bawah kekuasaan Kesultanan Palembang. Sebagai wujud kerekatan aliansi dan persahabatan, orang-orang Besemah memberikan pajak hasil bumi mereka setiap 10 tahun sekali yang disebut dengan Milir Seba. Sebagai balasannya Sultan Palembang memberikan mereka otonomi dan perlindungan militer untuk sumbay-sumbay suku Besemah. Begitu pun ketika sumbay-sumbay Besemah ini jatuh ke dalam cengkeraman penjajah Belanda di tahun 1868 setelah kekalahan mereka dalam Perang Besemah-Belanda, para pemimpin Sumbay tetap menjalankan kebijakan perpajakan mereka karena Belanda tidak ikut campur dalam urusan internal para Sumbay ini.
Kini, dari Lampik Mpat Mardike Duwe secara tidak langsung kita belajar bahwa pajak tetap relevan daru zaman ke zaman dan tidak lepas dalam kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara. Bukti-bukti sejarah peradaban masa lalu seperti adanya Lampik Mpat Mardike Duwe menunjukkan kehadiran pajak baik, dalam nama dan bentuk apa pun, rupanya memberikan manfaat dan keadilan bagi kita bersama.
Sumber :
- Suan, Ahmad Bastari dkk. (2008). Besemah Lampik Mpat Mardike Duwe. Pagaralam: Pesake (Pencinta Sejarah dan Kebudayaan) Pagaralam
- Mahruf, Kamil (1999). Pasemah Sindang Merdika, 1821-1866. Jakarta: Pustaka Asri
- Bedur, Marzuki dkk. (2009). Sejarah Besemah dari Zaman Megalitikum, Lampik Mpat Mardike Duwe, Sindang Mardike ke Kota Perjuangan. Pagaralam: Pemerintah Kota Pagaralam
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 122 kali dilihat