Kasiruta

Oleh: Mohammad Yogi Khoirul Amali, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Pak Muhajir telah sampai kembali di kampungnya. Setelah tiga hari kemarin membereskan segala kesibukannya di ibu kota kabupaten. Muhajir tergolong orang paling sibuk di seluruh penjuru kampung. Jabatannya sebagai kepala desa memaksanya untuk mesti bolak-balik menyeberangi selat-selat sempit, tenang, bening tak berombak di kepulauan Halmahera Selatan. Seperti biasanya, ketika muhajir baru kembali dari kota, belum sempat di angkat semua barang-barang dari atas kapal kayu yang ditumpanginya, anak-anak sudah terlebih dahulu menunggu berjejalan di dermaga.

“Om Su Dataaaaang ...... ! “ Anak-anak itu berlarian mengerubunginya. Memanggil-manggilnya, seolah teman sekolahnya, seolah menghilangkan semua kewibawaanya sebagai seorang Kepala Desa.

“Sabar,, sabaaar ... !, biar diangkat dulu baek-baek, jang sampai ini rusak lagi, ngoni samua tara jadi makan sedap kali ini “.

Dibukalah sebuah kotak yang berisi sesuatu yang paling ditunggu oleh anak – anak itu.

“Es liliiin .... !, Ye.. ye... es lilin !!”.

Sayangnya beberapa buah es lilin yang langka itu sudah mulai meleleh berubah menjadi cairan. Meskipun sudah di simpan rapat dalam sebuah kotak steroform yang tertutup, tetap saja, Butir-butir Es Lilin itu tidak bisa mempertahan bentuk sempurnanya. Tapi mau bagaimana lagi, Es tidak bisa dibuat di wilayah tropis tanpa sebuah Lemari Pembeku, dan lemari pembeku tidak bisa berjalan tanpa listrik, sayangnya tidak ada listrik di Marituso. Jadi mau tidak mau yang bisa dinikmati adalah es lilin yang telah meleleh sebagian setelah berjam-jam dihabiskan di perjalanan, atau lebih tepatnya pelayaran. Iya. Transportasi laut adalah yang paling utama. Semua akomodasi kebutuhan warga di Desa Marituso, kampung halaman Pak Muhajir, bergantung pada jasa transportasi laut.

Tidak hanya es lilin yang langka, Karung-karung beras, terigu, bahan bakar minyak, minyak goreng, bumbu-bumbu, bawang, merica, lada, baik yang sachetan maupun yang tidak, kopi dan gula, baik yang paket sachetan berisi kopi dan gula, atau kopi saja, atau kopi, gula plus creamer, tembakau, baik yang menggunakan gulungan berfilter atau tidak, susu, minuman-minuman berkaleng, berbotol, cemilan-cemilan yang berbungkus tertutup atau tidak, semuanya diangkut dengan menggunakan transportasi laut. Semua bergantung dengan lancar tidak nya sebuah pelayaran.

Sebaliknya, Kampung halaman Pak Muhajir tidak mempunyai banyak jalan. Sehingga istilah perjalanan tidak terlalu populer. Dari rumahnya yang terletak di puncak bukit. Wilayah dengan derajat ketinggian paling besar di desanya. Hanya ada satu jalan setapak  berlapis semen selebar satu meter yang menghubungkan rumahnya dengan  pelabuhan utama Desa Marituso. Sekaligus menjadi satu-satunya jalan yang menghubungkan desa dari ujung ke ujung.  Hanya ada beberapa  warga yang memiliki sepeda motor, dan tidak satupun mobil. Sehingga masalah semacam bising suara knalpot, polusi asap dan debu kendaran, serta kemacetan tidak pernah menyentuh sedikitpun kehidupan di kampung halaman Pak Muhajir ini.

Kampung halaman pak muhajir terletak di pesisir barat laut pulau kasiruta, pulau terbesar ke tiga setelah Bacan dan Obi di wilayah kabupaten Halmahera Selatan. Butuh waktu sekitar empat jam dari Marituso di pulau Kasiruta untuk menyeberang menggunakan kapal kayu ke ibu kota kabupaten di Labuha, Pulau Bacan. Yang membuatnya merasa berkewajiban untuk mengingatkan kepada seluruh warganya agar jangan sampai menghilangkan berkas-berkas penting semacam KTP, NPWP, SIM dan lainnya. Karena untuk mengurusnya kembali tentu akan sangat merepotkan.

Pak Muhajir tersenyum lebar melihat anak-anak itu begitu gembira mengerubungi kotak es lilin yang di bawanya. Baginya, selain urusannya untuk membereskan masalah perpajakan dana desa Di Ibu Kota yang menjadi tujuan utama ekspedisinya kali ini, Melihat anak-anak di desanya tersenyum sambil ngemut es lilin juga tak kalah penting.

Tetapi ada yang berbeda dengan perjalanan ke ibu kotanya kali ini, ada satu hal yang terus memenuhi pikirannya. Setiap kali bertetap muka dengan orang-orang pemerintahan, Muhajir selalu mendengar kalimat-kalimat yang hampir sama. Orang-orang yang di mata muhajir adalah perwakilan dari apa yang dketahuinya sebagai “Negara” itu selalu bilang tentang betapa pentingnya peran desa di negara ini. Terlebih desa-desa yang  memiliki letak geografis di wilayah-wilayah terpencil seperti desanya. Desa-desa yang masih murni. Belum tersentuh globalisasi. Belum tersentuh budaya negatif kapitalis borjuis hedonis masa kini. Desa- desa yang apabila dicerminkan akan terpantul seratus persen bayangan “inilah Indonesia Raya dengan seluruh bahasa dan adat budayanya, gunung dan pantai-pantainya, nyanyian burung dan gemericik aliran ngarai-ngarainya “. Mereka selalu bilang bahwa itulah bagian terpenting dari negeri ini. bagian yang menjadi inti identitas jati diri ibu pertiwi.

Terlebih perbincangannya dengan salah seorang perwakilan negara yang ia temui di kantor Pajak pagi itu. Katanya karena telah berkenan susah-susah menempuh pelayaran, menghabiskan biaya, waktu dan tenaga demi membereskan urusan pajaknya, Peran pentingnya sebagai penjaga kemurnian bangsa dan negara bertambah berkali-kali lipat. Dia bilang bahkan dimulai ketika pak Muhajir memiliki niat dan kesadaran untuk membereskan kewajiban perpajakan yang menjadi tanggung jawabnya, derajat pentingnya dia bagi bangsa dan negara sudah bertambah berkali-kali lipat, karena pada hakikatnya hal yang paling dibutuhkan adalah kesadaran itu sendiri, jauh lebih penting dari berapa jumlah pajak yang dibayarkan. Kesadaran akan tanggung jawab dalam perpajakan berarti kesadaran sebagai bagian dari bangsa negara. Dari situlah bangsa ini dibangun. Kesadaran-kesadaran dari setiap individu warganya dikumpulkan. Dan lahirlah apa yang disebut sebagai Negara.

Pak Muhajir hampir tidak bisa percaya jika ternyata sepenting itu posisinya di negeri ini. dan tentu dia menanyakan. Apa iya, betul begitu pak? Apa iya desa-ku yang terpencil  dan tersembunyi itu adalah wajah asli dari Bangsa ini? Apa iya jika cukup dengan menyadari saja, posisiku jadi sepenting itu di negeri ini? Seorang Perwakilan Negara itu balik menanyakan. Coba lihat bagaimana negara ini dikenalkan, digaung-gaungkan, bukankah dengan hijau dan subur tanahnya, dengan jernih sungainya, dengan indah pantainya. Yang seperti itu kan lengkap dimiliki oleh desanya Pak Muhajir, jadi seandainya desa Marituso di pulau Kasiruta itu tidak memiliki kesadaran sebagai satu bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka niscaya Indonesia tidak akan menjadi “Indonesia”.

Kini Pak Muhajir telah kembali ke kampungnya lagi, telah kembali ke ritual wajibnya. merokok sore-sore di tepi sungai yang kebetulan menjadi teras depan rumahnya, sambil melihat anak-anak bermain, ibu-ibu mencuci baju, mendengarkan teriak suit-suitan khas anak-anak bermain, ocehan ibu-ibu bergosip, gemericik air dan nyanyi-nyanyian burung di kejauhan. Dan pikirannya masih terus terpenuhi. Apa iya anak-anak ini adalah wajah asli dari apa yang ia ketahui sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia, apa iya, ibu-ibu ini, ocehan-ocehannya, sungainya, ikan-ikannya, burung-burungnya? Apa iya Pulau Kasiruta yang terpencil, tersembunyi dan tak dikenal ini malah menjadi wajah asli dan bagian terpenting dari negeri ini? Apa iya?

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi di mana penulis bekerja.