Kalibrasi Tarif Pajak Orang Super Kaya

Oleh: (Hepi Cahyadi, S.E.,M.M.), pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Masa transisi kepeminpinan nasional tinggal empat bulan lagi. Presiden Joko Widodo akan digantikan Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih. Pemerintahan mendatang menghadapi tantangan yang membutuhkan strategi dan sumber pendanaan yang optimal. Janji presiden terpilih saat kampanye yang paling mudah diingat antara lain makan siang gratis, tax ratio 23%, dan melanjutkan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
Pada 2005, saat transisi dari Presiden Megawati ke Presiden SBY, kala itu devisit anggaran adalah Rp16,9 triliun. Kemudian, tahun 2015, ketika peralihan Presiden SBY ke Presiden Joko Widodo, devisit anggaran sebesar Rp257,6 triliun. Sementara itu, pada 2025 saat peralihan Presiden Jokowi ke Presiden Prabowo nanti diperkirakan devisit yang terjadi sebesar Rp600 triliun. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintahan mendatang perlu sumber pendanaan yang andal untuk menutup lubang devisit APBN.
Media mainstream kita belakangan memberitakan tentang kebijakan pemerintah yang mendapat respons negatif dari warganya, semisal Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Semua kegaduhan bermula dari keterbatasan sumber pendanaan pemerintah dalam mensejahterakan rakyatnya. Tak bisa dimungkiri sampai saat ini sumber utama pendanaan operasional pemerintahan berasal dari pajak (75-80% berasal dari pajak).
Penerimaan pajak tahun 2024 perlu kerja ekstra karena windfall harga komoditas tahun lalu tidak berulang tahun ini. Di tengah menigkatnya suku bunga dan tekanan dollar terhadap rupiah mengakibatkan kelesuan dunia usaha tanah air. Pemerintah seyogyanya memikirkan upaya ekstensifikasi berupa perluasan basis pemajakan dan intensifikasi seperti mengkalibrasi tarif atas PPh orang super kaya. Hal ini sesuai dengan janji politik pasangan nomor urut 02 yang akan menaikkan rasio pajak menjadi 23%. Tax ratio per tahun 2023 hanya sebesar 10,21%.
Tarif PPh yang berlaku saat ini untuk penghasilan setahun setelah dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sampai dengan Rp60 juta sebesar 5%, di atas Rp60 juta sampai dengan Rp250 juta sebesar 15%, Rp250 juta sampai Rp500 juta sebesar 25%, Rp500 juta sampai Rp5 miliar sebesar 30%, dan di atas Rp5 miliar sebesar 35%. Dari skema tersebut terlihat bahwa tarif pajak tertinggi Orang Pribadi (OP) adalah sebesar 35%. Sedangkan Wajib Pajak UMKM dapat memilih untuk mengikuti tarif dengan skema final 0,5%, atau menggunakan skema normal yang mengacu pada pasal 17 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Tarif batas atas masih relevan dinaikkan karena tax gap PPh di Indoensia masih terbilang tinggi. HWI atau High Wealth Individual merupakan kelompok wajib pajak super kaya yang akan diperkuat pengawasannya. Hal ini sejalan dengan kerangka ekonomi makro dan pokok kebijakan fiskal tahun 2025. Sasarannya adalah HWI, pajak group/transaksi afiliasi dan ekonomi digital.
Berdasarkan data Forbes per April 2024, lima orang terkaya Indonesia memiliki kekayaan antara Rp133,59 triliun sampai dengan Rp620,22 triliun. Berdasarkan data Hurun Global Rich (HGR) tahun 2024, jumlah orang super kaya di Indonesia dengan kekayaan di atas US$ 1 miliar atau setara 16,4T (1$= 16.460,80) sebanyak 47 orang. Sesuai riset yang dirilis juga menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah orang kaya terbanyak di dunia nomor 13, masih di atas Australia yang menempati urutan ke-14. HGR menyatakan bahwa miliader tahun 2023 sebanyak 3.112 dan tahun 2024 meningkat menjadi 3.279 miliarder. Namun demikian, tingginya pertumbuhan populasi HWI ini tidak diikuti oleh kenaikan nilai penerimaan pajak dari sektor Wajib Pajak Orang Pribadi.
Sesuai data Revenue Statistics OECD 2023, Sebagian besar negara OECD yang memiliki porsi penerimaan Wajib Pajak Badan lebih kecil dari pada Wajib Pajak Orang Pribadi, sedangkan penerimaan pajak Indonesia masih dominan dari sektor pajak perusahaan/corporate tax. HWI merupakan kelompok yang mendapat hak istimewa (privilege) dari pemerintah. Orang super kaya (HWI) biasanya mendapat akses dan fasiitas berupa konsesi tambang, kehutanan, property, dll. HWI memiliki ciri tersendiri yang berbeda dengan Wajib Pajak Orang Pribadi lainnya, sebagian besar penghasilan yang diperoleh HWI berasal dari passive income, seperti misalnya dividen, bunga, sewa atau capital gain.
Beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyinggung tentang perbandingan negara-negara eropa utara yang memberi fasilitas berlebih untuk warganya. Dengan adanya setoran pajak yang lebih tinggi, negara mempunyai kemampuan fiskal lebih besar untuk mendukung pelaksanaan berbagai fasilitas dasar negaranya, seperti kesehatan dan pendidikan. Negara eropa utara rata-rata memberlakukan pajak pendapatan sekitar 56 - 70 persen terhadap penduduknya. Contoh konkritnya, negara Finlandia penduduknya berpenghasilan 100.000 Euro, dengan tarif pajak 70% maka dia hanya membawa pulang 30.000 Euro saja.
Tahun 2023, tarif pajak di Indonesia memang paling tinggi se-Asean yakni 35%. Namun demikian, secara global masih ada tarif yang lebih tinggi yakni negara pantai gading 60%, Finlandia 56,95%, Japang 55,97%, dan Denmark 55,9%. Sesuai Asas Equality Adam Smith, pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Masih terbuka ruang kalibrasi tarif pajak HWI yang lebih partisipatif kepada negara. Alternatif lain adalah dengan memperlebar rentang penghasilan tarif teratas untuk menjaring lebih banyak miliader sebagai perluasan basis pemajakan.
Kepatuhan pajak dengan pemerintahan yang kredibel adalah sebuah keniscayaan. Sistem perpajakan Indonesia menganut Self-Assesment, yakni menghitung sendiri penghasilan dan jumlah pajak yang harus disetor. Self-Assesment sendiri mengandung karakter kepatuhan sukarela (voluntary tax compliance). Jika uang pajak tidak dikelola dengan bijak, secara linier kepatuhan pajak juga akan menurun. Pemerintah mesti menjaga kepercayaan wajib pajak dengan menjalankan program-programnya sebaik mungkin serta mengedepankan transparansi dan akuntabilitas.
Kita berharap dengan kalibarasi tarif HWI yang lebih proporsional akan lebih mendukung sumber pembiayaan negara. HWI adalah orang super kaya yang sudah selesai dengan kebutuhan dasar, sehingga diharapkan tidak ada kegaduhan dalam masyarakat. Tingkat partisipasi HWI yang lebih tinggi memberi teladan bagi golongan masyarakat lainnya dalam membayar pajak untuk pembangunan nasional.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 703 kali dilihat