Jurus Baru Tangkal Penghindaran Pajak

Oleh: Sri Lestari Pujiastuti, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Pada beberapa dekade ini, praktik penghindaran pajak (tax avoidance) menjadi momok besar yang mengancam penerimaan pajak di banyak negara. Praktik tersebut salah satunya disumbang oleh integrasi ekonomi global. Globalisasi telah menciptakan kondisi yang memungkinkan aktivitas produksi dan operasional perusahaan terus berkembang.
Perkembangan strategi perusahaan mengarah pada satu tujuan utama yakni memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan biaya dan pengeluaran, termasuk pengeluaran pajak. Sementara itu, perkembangan peraturan perpajakan yang mengenakan pajak terhadap keuntungan perusahaan global tidak banyak mengalami perubahan.
Budiman (2012) dalam bukunya yang berjudul Pengaruh Karakter Eksekutif Terhadap Penghindaran Pajak (Tax Avoidance) mengemukakan, pada 2005 terdapat 750 perusahaan Penanaman Modal Asing diketahui melakukan penghindaran pajak dengan melaporkan rugi dalam waktu lima tahun berturut-turut dan tidak membayar pajak.
Bahkan, Mantan Menteri Keuangan Agus Martowardojo sebelum melepas masa jabatannya mengatakan, ada ribuan perusahaan multinasional tidak menjalankan kewajibannya kepada negara. Agus menyebutkan hampir 4.000 perusahaan tidak membayar pajaknya selama 7 tahun (Yola & Budianto, 2013). Meski merugi dalam jangka waktu yang cukup lama, nyatanya perusahaan-perusahaan tersebut masih tetap beroperasi seperti biasa. Sesungguhnya fenomena kontroversial ini telah disoroti oleh Ning Rahayu sejak 2008 dalam disertasi doktoralnya di Universitas Indonesia.
Ning menyebut salah satu sebab tetap maraknya praktik penghindaran pajak karena kebijakan anti penghindaran pajak di Indonesia relatif belum memenuhi sifat kebijakan sebagaimana dikemukakan oleh James Anerson yaitu bersifat rasional, inkremental, dan emergence. Pada kebijakan yang ada masih banyak peluang (loopholes) yang dapat dimanfaatkan oleh wajib pajak, khususnya perusahaan PMA untuk melakukan penghindaran pajak, sehingga potensi pajak yang ada belum dapat digali secara optimal.
Legal dan Ilegal
Penghindaran pajak adalah hambatan-hambatan yang terjadi dalam pemungutan pajak sehingga mengakibatkan berkurangnya penerimaan kas negara. Penghindaran pajak (tax avoidance) selalu diartikan sebagai kegiatan yang legal (misalnya meminimalkan beban pajak tanpa melawan ketentuan perpajakan) dan penyelundupan pajak (tax evasion/tax fraud) diartikan sebagai kegiatan yang illegal (Amri, 2015).
Pada skala global, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) telah menangkap isu yang meresahkan tersebut dengan merilis rencana aksi Base Erosion and Profit Shifting (BEPS). BEPS adalah strategi perencanaan pajak (tax planning) yang memanfaatkan gap dan kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan perpajakan domestik untuk “menghilangkan” keuntungan atau mengalihkan keuntungan tersebut ke negara lain yang memiliki tarif pajak yang rendah atau bahkan bebas pajak. Tujuan akhirnya adalah agar perusahaan tidak perlu membayar pajak atau pajak yang dibayar nilainya sangat kecil terhadap pendapatan perusahaan secara keseluruhan (OECD, 2013).
Otoritas pajak di banyak negara memandang serius praktik penghindaran pajak karena menggerus penerimaan negara. Lebih dari itu, setidaknya terdapat tiga sebab, yakni bertentangan dengan prinsip keadilan (equality), mendistorsi persaingan, dan menyebabkan tidak efisien dalam pengalokasian sumber daya.
Alternative Minimum Tax (AMT)
Menteri Keuangan Sri Mulyani saat rapat kerja dengan Badan Anggaran DPRI RI, Senin (31/5) menyatakan, ”Wajib pajak badan dengan PPh terutang kurang dari batasan tertentu akan dikenai pajak penghasilan minimum”. Lebih lanjut Sri Mulyani menyatakan bahwa penerapan AMT dilakukan untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan pada wajib pajak.
IMF telah merekomendasikan AMT bagi negara berkembang dalam konteks mencegah penggerusan basis pajak serta untuk melawan praktik perencanaan pajak yang agresif secara internasional (IMF, 2015).
AMT adalah metode alternatif untuk menghitung jumlah minimum pajak yang harus dibayar wajib pajak berdasarkan penghasilannya. Meskipun memiliki tujuan mencegah terjadinya penghindaran pajak, AMT berbeda dengan regulasi anti-penghindaran pajak lainnya. AMT tidak bersifat menguji transaksi yang diduga memiliki resiko BEPS. AMT justru berperan dalam menjamin untuk setidaknya setiap korporasi membayar ‘suatu nilai minimum pajak’ kepada negara atau sebagai safeguard.
Dalam penerapannya otoritas pajak akan merumuskan indikator wajib pajak yang disasar untuk mengimplementasikan AMT. Pakistan menggunakan rasio Corporate Tax Return Tax To Return Over Ratio (CCTOR) kurang dari 1,5% untuk menyasar wajib pajak yang harus menerapkan AMT. Sementara Tanzania menyasar wajib pajak yang mengalami rugi fiskal tiga tahun berturut-turut. Berbeda dengan Pakistan dan Tanzania, Bangladesh membidik wajib pajak badan dengan pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) di bawah BDT5.000,00.
Sebagai alat untuk mencegah penggerusan pajak, AMT tidak menggunakan penghasilan kena pajak sebagai basis dalam menghitung PPh terutang. Filipina menggunakan peredaran bruto sebagai basis pajak. Korea Selatan, Amerika, dan India menggunakan adjusted total income sebagai basis pajak. Berbeda dengan negara tersebut, Argentina menggunakan nilai aset dan Italia menggunakan deemed minimum income sebagai basis pajak
Tarif yang digunakan berbagai negara yang menerapkan AMT pun berbeda-beda, seperti misalnya Filipina 2%, India 18,5%, Argentina 1% atau Italia yang mematok tarif 34,5%.
Indonesia bisa belajar dari negara lain yang lebih dulu menerapkan AMT dan merumuskan sendiri karakteristiknya selaras dengan upaya pemerintah untuk menarik investasi ke dalam negeri. Jangan sampai pula kebijakan penerapan AMT menyurutkan minat investor untuk berinvestasi di Indonesia. Namun juga, jangan sampai kebutuhan pada investasi mencederai asas pemungutan pajak yang baik.
Terlepas dari beragamnya indikator, basis, dan tarif pajak yang digunakan dalam implementasinya di berbagai negara, penulis berpendapat sudah sepatutnya Indonesia menerapkan AMT. Apalagi lewat Reformasi Perpajakan Jilid III yang tengah berlangsung, Indonesia menargetkan peningkatan kepatuhan sukarela yang diasosiasikan dengan capaian rasio pajak sebesar 15% pada 2024.
Satu hal yang patut digarisbawahi oleh kita bersama seperti dikemukakan Jackson dan Milliron (dalam Richardson, 2006), salah satu variabel nonekonomi kunci dari perilaku kepatuhan pajak adalah dimensi keadilan pajak. Sementara itu mengutip Vogel, Spicer, dan Becker (dalam Richardson, 2006) pembayar pajak cenderung untuk menghindari membayar pajak jika mereka menganggap sistem pajak tidak adil.
Apa yang dikemukakan para ahli di atas menunjukkan pentingnya dimensi keadilan pajak sebagai variabel yang memmengaruhi kepatuhan pembayar pajak. Karena itu, penting bagi otoritas pajak membuat sebuah sistem pajak dengan menerapkan regulasi yang menjamin terciptanya keadilan bagi wajib pajak.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 1145 kali dilihat