Oleh: Trisha Aurel Carissa, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Indonesia mengenal dua jenis perpajakan yang sangat melekat dengan para pelaku usaha, baik pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) ataupun pengusaha modal besar. Jenis pajak itu adalah Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

PPN hanya dikenal di dalam wilayah pabean. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN), daerah pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Ekslusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur mengenai kepabeanan.

PPN dikenakan kepada seluruh wajib pajak yang telah mendaftarkan diri sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Dalam Pasal 1 juga dijelaskan pengertian Pengusaha Kena Pajak yaitu pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai PPN.

Selain itu, seluruh pelaku usaha yang memiliki pendapatan bruto sebesar Rp4,8 miliar selama satu tahun buku wajib mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai PKP sesuai dengan Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai.

Sedangkan bagi pelaku usaha yang memiliki pendapatan bruto dibawah Rp4,8 miliar selama satu tahun buku dapat memilih untuk dikukuhkan atau tidak sebagai PKP. Terdapat dua jenis PKP yaitu Orang Pribadi dan Badan sesuai dengan jenis wajib pajak yang mengajukan permohonannya. Lalu bagaimana cara pelaku usaha menjadi PKP?

Para pelaku usaha yang ingin dikukuhkan sebagai PKP bisa langsung mendaftarkan diri kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan lokasi dimana usaha tersebut berada. Pendaftaran dimulai dengan mengisi formulir permohonan dan melengkapi berkas persyaratan formal seperti yang diatur dalam Bab IV Pasal 45 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-04/PJ/2020 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Administrasi Nomor Pokok Wajib Pajak, Sertifikat Elektronik, Dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.

Demi kemudahaan bagi para pelaku usaha, DJP memberikan tiga saluran pengajuan permohonan sesuai dengan Pasal 47 ayat (2) peraturan tersebut yaitu dapat dilakukan:

  • secara langsung dengan datang ke Kantor Pelayanan Pajak,
  • melalui pos dengan bukti pengiriman surat, atau
  • melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.

Setelah kita dikukuhkan sebagai PKP, apakah tugas kita? PKP wajib menerbitkan faktur pajak sebagai bukti pungutan pajak yang dibuat oleh setiap PKP atas penyerahan barang dan/atau jasa kena pajak. Setiap PKP memegang peran sebagai perpanjangan tangan pemerintah dalam mengumpulkan penerimaan PPN.

Hal ini dikarenakan dalam UU PPN dikenal metode Pengkreditan Pajak Keluaran dan Pajak Masukan. Pengkreditan Pajak Keluaran dan Pajak Masukan terjadi ketika ada selisih dari Pajak Keluaran dengan Pajak Masukan. Selisih tersebut yang kemudian menjadi PPN yang terutang yang harus disetorkan oleh PKP kepada Kas Negara melalui DJP. Perhitungan PPN menggunakan tarif 10% dari nilai selisih tersebut. Kemudian PKP melaporkannya dalam Surat Pemberitahuan (SPT) PPN setiap masanya.

Pajak Keluaran menurut Pasal 1 UU PPN dijelaskan bahwa PPN terutang yang wajib dipungut oleh PKP yang melakukan penyerahan barang kena pajak, penyerahan jasa kena pajak, ekspor barang kena pajak berwujud, ekspor barang kena pajak tidak berwujud, dan/atau ekspor jasa kena pajak.

Sedangkan Pajak Masukan adalah PPN yang seharusnya sudah dibayar oleh PKP karena perolehan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak dan/atau pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean dan/atau pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean dan/atau impor barang kena pajak.

Banyak para pelaku usaha belum memahami apa saja keuntungan bagi mereka ketika sudah dikukuhkan sebagai PKP. Para pelaku usaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP akan memiliki sistem pencatatan/pembukuan yang lebih baik. Hal ini dikarenakan pencatatan transaksi penyerahan ataupun perolehan tercatat dalam faktur pajak yang terdokumentasi dalam aplikasi e-Faktur sehingga memudahkan PKP dalam menghitung dan melaporkan transaksinya setiap waktu ketika jatuh tempo pelaporan pajaknya.

Dalam pelaporannya pun, PKP diberikan fasilitas pelaporan secara online sehingga dapat melaporkan di mana saja. Selain itu, PKP juga dapat lebih leluasa mengembangkan usahanya ketika harus bertransaksi dengan bendahara pemerintah yang akan memungut PPN atas transaksi pengadaaan barang/jasa dengan nilai sebesar satu juta rupiah.

Namun, selain kedua hal tersebut, kemudahan dan beberapa kebijakan yang diberikan oleh negara melalui DJP dalam sistem pengkreditan Pajak Masukan juga memberikan keuntungan.

Salah satunya pengkreditan Pajak Masukan yang boleh dilakukan oleh PKP yang sedang mulai merintis usaha dan belum melakukan penyerahan menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Undang-Undang Cipta Kerja. Bagi PKP yang belum melakukan penyerahan dapat mengkreditkan Pajak Masukannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan dapat mengajukan pengembalian atas Pajak Masukan yang telah dipungut sebelumnya ketika PKP sampai pada waktu tertentu mengalami gagal produksi. 

Melalui aturan tersebut, negara melalui DJP ingin memberikan kepastian dan kemudahan bagi para PKP yang ingin terus mencoba mengembangkan usahanya demi menggerakkan ekonomi nasional.

Semakin mengenal manfaat yang dapat diterima oleh pelaku usaha ketika dikukuhkan sebagai PKP diharapkan dapat semakin menggerakkan para pelaku usaha untuk segera mendaftarkan dan mengukuhkan  diri sebagai PKP. Dengan begitu, para pelaku usaha dapat membantu pemerintah dalam penerimaan negara khususnya dari sektor pajak.

 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.