Indonesia dan Pajak Karbon Saat Ini
Oleh: Dewi Damayanti, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Perang bagaikan dua sisi mata uang. Di satu sisi pasti mendatangkan bencana, di sisi lain seringkali mendatangkan berkah tersembunyi. Indonesia, termasuk salah satu negara yang menuai berkah tak terduga akibat perang Rusia-Ukraina.
Neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus pada 2022, akibat melonjaknya beberapa komoditas, seperti: minyak mentah, batu bara, nikel, aluminium, emas, tembaga, dan minyak sawit mentah (CPO) sebagai imbas dari perang Rusia-Ukraina. Surplus pada neraca perdagangan juga membuat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ikut menuai berkah, penerimaan pajak melampaui target.
Kementerian Keuangan mencatat sepanjang 2022 penerimaan pajak mencapai Rp.1.716,8 triliun atau 115,6 persen dari target senilai Rp1.485 triliun. Atau tumbuh 34,3 persen dari tahun sebelumnya sebesar Rp1.278,6 triliun. Namun, mengandalkan sumber daya alam energi seperti batu bara dan minyak bumi untuk terus memenuhi pundi keuangan negara tentu tak bisa diharapkan sepanjang waktu. Selain harga komoditas tersebut sangat fluktuatif dipengaruhi banyak faktor, juga akan mencederai komitmen Indonesia dalam Nationally Determined Contribution/NDC.
Kontribusi yang ditetapkan secara nasional (NDC) merupakan sebuah kerja sama global yang disepakati negara dunia untuk menanggulangi perubahan iklim. Pemerintah Indonesia pada Konvensi Kerangka Kerja tentang Perubahan Iklim (The United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) ke-21 di Paris tahun 2015, telah berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sampai dengan 29% pada 2030 dengan kemampuan sendiri dan 41 % dengan bantuan internasional.
Komitmen negara-negara yang tergabung dalam Perjanjian Paris untuk membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5% salah satunya melalui dekarbonisasi. Dekarbonisasi adalah proses penggantian bahan bakar fosil dengan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan. Kebijakan dekarbonisasi yang efektif dapat ditempuh melalui penetapan harga karbon. Karena harga karbon akan mengurangi emisi dengan membuat rendah energi dan nol karbon.
Dalam Effective Carbon Rates 2021, OECD mengupas bagaimana 44 negara OECD dan G20 yang bertanggung jawab atas sekitar 80% emisi karbon global menentukan harga emisi karbon mereka. Komponen Effective Carbon Rate meliputi: harga emisi karbon yang dapat diperdagangkan, pajak karbon, dan pajak cukai. Pajak karbon diyakini sebagai salah satu instrumen pengendalian iklim dalam mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan (sustainable), sesuai prinsip pencemar membayar (polluter pays principle).
Puluhan negara yang dianalisis pada 2018 tersebut memiliki Carbon Pricing Score (CPS) 19% pada EUR60 patokan (CPS60) dari semua emisi karbon. Meskipun kekuatan harga karbon bervariasi di lintas sektor. Seperti di sektor jalan, tahun 2018 CPS60 sebesar 80%, sektor kelistrikan CPS60 adalah 5%, sektor industri CPS60 sebesar 5%, dan sektor perumahan dan komersial CPS60 adalah 10%.
CPS digunakan untuk mengukur sejauh mana suatu negara telah mencapai tujuan penetapan harga atas semua emisi karbon yang muncul karena penggunaan energi fosil. Penghitungan CPS menggunakan nilai biaya karbon sesuai nilai tolok ukur yang ditentukan. Dengan CPS 19%, artinya 44 negara OECD dan G20 yang dianalisis mencapai 19% dari harga semua emisi sebesar EUR60 atau lebih per ton CO2.
Bahkan Swiss, Luksemburg, dan Norwegia secara keseluruhan CPS60 mendekati 70% pada 2018. CPS menjadi dasar penetapan pajak karbon. Negara-negara yang telah mencapai skor harga karbon tinggi, tergolong sebagai negara ekonomi maju. Apa kabar pajak karbon Indonesia?
Implementasi Pajak Karbon
Indonesia telah menunjukkan keseriusan untuk mengurangi pemanasan global melalui penetapan regulasi pajak karbon dengan memasukkan klausulnya dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Hanya saja aturan pelaksanaan dari UU tersebut sampai saat ini belum juga diterbitkan.
Dalam Bab VI UU Nomor 7 Tahun 2021 dijabarkan bahwa pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Pajak tersebut terutang atas pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu pada periode tertentu.
Tarif pajak karbon paling rendah yang dipatok dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 adalah Rp30 per kilogram CO2. Misalkan saja kita berhitung dengan tarif terendah tersebut. Kita bandingkan dengan 44 negara OECD dan G20 dengan skor harga karbon EUR60 per ton, maka tarif pajak karbon per ton Indonesia dengan menggunakan kurs Rp16.277,00 saat ini adalah sebesar EUR1,8 per ton. Sangat jauh dari skor harga karbon di negara-negara OECD dan G20 yang telah mencapai EUR60 per ton.
Terjadinya kesenjangan nilai ekonomi karbon di negara maju dengan negara berkembang ini salah satunya dipicu pemikiran bahwa nilai ekonomi karbon di negara maju perlu dihargai tinggi karena modal yang dibutuhkan untuk membangun infrastruktur ramah lingkungan di negara maju cenderung lebih mahal. Sebaliknya nilai karbon di negara berkembang dipandang lebih murah karena investasi ramah lingkungan di negara berkembang tidak memerlukan modal besar. Tentu saja sebuah pemikiran yang keliru.
Kesenjangan tersebut menjadi salah satu hambatan pemerintah Indonesia untuk segera mengimplementasikan pengenaan pajak karbon karena akan memengaruhi pendapatan ekonomi makro. Karena itu, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah antisipatif sebagai berikut: pertama, terus melakukan negosiasi di dunia internasional untuk menghilangkan kesenjangan nilai ekonomi karbon Indonesia dengan negara maju lainnya.
Kedua, menerbitkan aturan pelaksanaan yang efektif dan aplikatif dari UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang mengatur tentang pajak karbon. Ketiga, memberi kemudahan dan fasilitas perpajakan bagi pengusaha yang bersedia menanamkan modal membangun infrastruktur energi berkelanjutan dengan memanfaatkan sumber daya alam seperti: air, panas bumi, matahari, angin, biomassa, dan lainnya.
Langkah-langkah antisipatif tersebut harus terus diperjuangkan agar Indonesia tak hanya menangguk keuntungan dari berkah tersembunyi sebuah perang untuk mendanai pembangunan nasional.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 1701 kali dilihat