Implementasi Pajak Karbon Pasca-Berlakunya Bursa Karbon

Oleh: M.S. Wahyu Muzakki, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Indonesia secara resmi mengadopsi kebijakan pajak karbon melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pajak karbon merupakan perwujudan salah satu fungsi pajak sebagai regulerend. Fungsi regurelend pajak merupakan fungsi mengatur di bidang tertentu, baik di bidang ekonomi maupun sosial untuk mencapai suatu tujuan. Dalam hal pajak karbon ini, bidang yang diatur adalah di bidang lingkungan hidup dalam rangka mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca nasional sebagaimana tercantum dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC). Indonesia secara resmi menjadi jurisdiksi kedua di Asia Tenggara yang mengundangkan ketentuan tentang pajak karbon setelah Singapura yang menerbitkan ketentuan pada tahun 2018 dan efektif berlaku pada 1 Januari 2019. Meskipun di Indonesia telah diundangkan sejak tahun 2021, implementasi penerapan pajak karbon di sini tidak serta-merta dilakukan setelah ketentuan tersebut diundangkan.
Bursa perdagangan karbon sebagai salah satu bentuk pasar karbon yang disebutkan dalam UU HPP telah diluncurkan pada 26 September 2023 oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) melalui sebuah platform yang bernama IDX Carbon (Indonesia Carbon Exchange). Bursa Karbon Indonesia diselenggarakan oleh PT Bursa Efek Indonesia dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Bursa ini memperdagangkan surat berharga/efek berupa Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi-Pelaku Usaha (PTBAE-PU) dan Sertifikat Pengurangan Emisi - Gas Rumah Kaca (SPE-GRK). PTBAE-PU merupakan batas emisi yang diberikan kepada pelaku usaha untuk mengemisikan gas rumah kaca dalam kurun waktu tertentu yang dinyatakan dalam ton karbon-dioksida ekuivalen (CO2e). PTBAE-PU merupakan bentuk penerapan mekanisme cap and tax sebagaimana diatur dalam UU HPP. Cap and tax merupakan mekanisme penerapan pajak karbon berdasarkan batas emisi yang diterapkan pada sektor pembangkit listrik terbatas pada pembangkit listrik tenaga batu bara. Berdasarkan mekanisme ini, Wajib Pajak karbon diberikan kuota untuk mengemisikan sejumlah batas tertentu gas rumah kaca ke atmosfer dalam satu periode kalender (tahun pajak). Apabila Wajib Pajak Karbon mengemisikan lebih dari jumlah batas emisi yang diatur, maka wajib pajak tersebut wajib membayar kelebihan emisi tersebut sesuai dengan tarif pajak karbon atau membeli PTBAE-PU dari Wajib Pajak karbon lainnya.
Selain perdagangan PTBAE-PU, bursa karbon juga memperdagangkan SPE-GRK. SPE-GRK adalah surat bentuk bukti pengurangan emisi oleh usaha dan/atau kegiatan yang telah melalui pengukuran, pelaporan, dan verifikasi atau measurement, reporting, and verification, serta tercatat dalam Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI). SRN-PPI menerbitkan nomor dan/atau kode registri dan diadministrasikan oleh Kementerian bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Berbeda dengan PTBAE-PU yang penjatahanya terbatas dan telah ditetapkan oleh Kementerian teknis pengampu, SPE-GRK ini merupakan efek yang dimiliki oleh penjual dan ditawarkan kepada pembeli melalui mekanisme bursa dan ketersediaannya tergantung kepada pasar. SPE-GRK ini lazim dikenal sebagai kredit karbon. Kredit karbon ini merupakan sertifikat yang dapat dibeli oleh pelaku usaha untuk memenuhi target pengurangan emisi baik secara mandatori atau sukarela. Dalam konteks pemenuhan target mandatori, SPE-GRK dapat digunakan untuk meng offset emisi gas rumah kaca yang melewati batas cap (PTBAE-PU) yang telah ditetapkan. Sedangkan dalam konteks perdagangan sukarela, SPE-GRK dapat digunakan oleh pelaku usaha untuk memenuhi target net zero emission atau carbon neutral yang ditetapkan secara mandiri oleh pelaku usaha. SPE-GRK didasarkan pada pengurangan emisi gas rumah kaca berbasis proyek pengurangan yang memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh Kementerian teknis bidang lingkungan hidup. Secara umum terdapat dua jenis proyek yang menjadi basis SPE-GRK, yakni proyek nature-based dan technology-based. Proyek nature based dilakukan pada sektor Agriculture, Forestry, dan Landused (AFOLU) atau masuk ke dalam sektor Pertanian dan Kehutanan. Sedangkan proyek technology-based dilakukan pada sektor selain AFOLU atau masuk ke dalam sektor energi, limbah, dan proses industri dan penggunaan produk.
Desain Kebijakan
Peran perdagangan karbon menjadi sangat penting dalam desain kebijakan pajak karbon di Indonesia. Pelunasan atas emisi gas rumah kaca melalui pembayaran pajak karbon akan menjadi mekanisme terakhir untuk pembayaran. Ketentuan pemajakan karbon di Indonesia akan mengutamakan Wajib Pajak Karbon untuk melakukan perdagangan karbon terlebih dahulu sebelum melakukan pembayaran pajak karbon. Wajib Pajak Karbon akan terdorong untuk membeli PTBAE-PU dari pelaku usaha lain atau SPE-GRK dari pemilik proyek pengurangan emisi karbon berbasis lingkungan maupun teknologi apabila harganya lebih rendah jika dibandingkan dengan tarif pajak karbon. Tarif pajak karbon di Indonesia akan ditetapkan bersifat floating mengikuti harga pada pasar karbon dengan tarif pajak yang lebih tinggi atau sama dengan harga karbon di pasar karbon domestik dengan batas bawah tarif pajak karbon sebesar Rp30,- per kg CO2e atau setara Rp30.000,-/ton CO2e. Penyelenggaraan bursa karbon sebagai sesuatu hal yang baru pastinya akan membutuhkan waktu untuk kenaikan nilai transaksi serta volume perdagangannya.
Dalam jeda waktu yang sudah cukup lama sejak ketentuan UU HPP diundangkan hingga saat tulisan ini dibuat, implementasi pemajakan karbon di Indonesia masih belum diterapkan. Prinsip kehati-hatian, kesiapan sektor usaha dan keseimbangan perekonomian nasional yang diusung dalam penyusunan ketentuan turunan pajak karbon bertujuan untuk memberikan waktu transisi yang cukup bagi para pelaku usaha untuk beradaptasi ke perubahan perilaku yang lebih ramah lingkungan dan hijau.
Meskipun ketentuan pajak karbon ini belum diimplementasikan, ketentuan pajak karbon dalam UU HPP secara garis besar telah memberikan gambaran yang cukup bagi pelaku usaha tentang kebijakan pajak atas emisi gas rumah kaca ke depannya. Dengan semakin banyaknya kebutuhan atas efek karbon seiring dengan perluasan sektor pemajakan karbon ke depan, hal ini akan memicu peningkatan kebutuhan dan akan mengerek harga karbon di pasar domestik. Implikasinya, tarif pajak karbon juga akan semakin naik mengikuti harga yang terbentuk pada pasar karbon. Pajak karbon yang tinggi akan menjadi disinsentif bagi pelaku usaha yang masih mengemisikan gas rumah kaca ke atmosfer dalam jumlah yang besar. Dengan demikian, para pelaku usaha akan terdorong untuk secara berangsur mengurangi emisi gas rumah kacanya karena sejatinya tujuan dari penerapan pajak karbon adalah untuk perubahan perilaku ke arah yang lebih ramah lingkungan. Tanpa adanya perubahan perilaku yang luas, maka target pengurangan emisi karbon dalam NDC akan sulit tercapai.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 1814 kali dilihat