Hundetaxe: Pajak yang Pernah Berlaku di Indonesia

Oleh: Sandra Puspita, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
“Aku punya anjing kecil. Kuberi nama Helly. Dia senang berlari-lari, sambil bernyanyi-nyanyi.”
Anjing merupakan hewan yang lumrah dipelihara oleh masyarakat Indonesia. Memelihara anjing diketahui memiliki banyak manfaat, terutama bagi kesehatan. Menurut American Heart Association, memelihara anjing dapat membantu menurunkan risiko penyakit jantung. Hal ini karena memelihara anjing mendorong pemiliknya untuk meningkatkan aktivitas fisik, seperti berjalan dan bermain dengan anjing peliharaan sehingga berdampak pada kesehatan kardiovaskular yang lebih baik secara keseluruhan.
Namun, di samping memberikan manfaat yang baik untuk kesehatan pemiliknya, memelihara anjing ternyata membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Biaya yang lumrah dikeluarkan untuk memelihara anjing di antaranya biaya makanan dan minuman, seperti dry food, wet food, snack anjing peliharaan; biaya perawatan, seperti biaya vaksin, biaya spa, biaya obat-obatan; dan biaya perlengkapan, seperti biaya kandang, biaya peralatan makan, biaya tali pengikat. Tetapi, jika Anda tinggal di belahan Eropa seperti Swiss atau Jerman, memiliki anjing sebagai hewan peliharaan melibatkan konsekuensi di bidang fiskal, lho! Mengapa demikian?
Penerapan di Jerman
Jerman memiliki tarif pengenaan pajak yang tinggi kepada penduduknya. Pemerintah Jerman menetapkan tarif yang cukup tinggi atas penghasilan yang diperoleh masyarakat, yakni sebesar 45% dari total penghasilan yang diperoleh dalam setahun. Tidak hanya itu, pemerintah Jerman juga menjadikan anjing peliharaan sebagai salah satu objek pajak yang wajib berkontribusi dalam penerimaan negara setempat.
Pajak atas anjing peliharaan, atau yang lumrah disebut Hundetaxe di Jerman ini sudah berlaku sejak abad ke-19. Awalnya, kebijakan ini difungsikan sebagai regulator untuk mengontrol penyebaran penyakit rabies di Jerman. Namun, seiring berjalannya waktu, pajak ini kemudian difungsikan sebagai tambahan pemasukan negara dalam melunasi utang-utang perang. Pada dasarnya, penerapan pajak anjing di Jerman merupakan pajak daerah yang diatur oleh regulasi negara bagian setempat.
Hundetaxe tidak semerta-merta dikenakan begitu saja kepada setiap penduduk Jerman yang memiliki anjing. Sebelum dapat ditetapkan sebagai ‘wajib pajak’, para pemilik anjing harus melewati beberapa prosedur yang telah diatur.
Setiap anjing di Jerman yang diadopsi maupun dibeli harus dipastikan dalam keadaan sehat. Hal ini harus dibuktikan dengan melakukan pemeriksaan kesehatan dan dipastikan melalui buku vaksin yang diakui Uni Eropa. Setelah anjing tersebut dipastikan dalam keadaan sehat, kemudian pemiliknya wajib mengurus izin administrasi ke kantor otoritas setempat. Di Frankfurt misalnya, pengajuan izin administrasi ini dilakukan di Burgerarmt City of Frankfurt.
Selanjutnya, setiap pemilik anjing yang pengajuan izin administrasinya yang telah disetujui oleh kantor otoritas setempat kemudian akan diberikan sebuah kalung chip yang berisi data anjing peliharaan dan informasi mengenai pemiliknya. Chip tersebut merupakan chip yang dikeluarkan secara resmi oleh pemerintah Jerman dan TASSO, organisasi yang menangani permasalahan hewan peliharaan di Jerman dan dikenali secara internasional di Uni Eropa.
Pemerintah Jerman berwenang untuk memajaki setiap pemilik anjing peliharaan yang telah diakui dan tercatat secara resmi oleh negara. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pajak atas anjing peliharaan merupakan bagian otonomi pemerintah negara bagian setempat sehingga terdapat perbedaan besaran pajak di setiap wilayahnya. Pajak tersebut wajib dibayarkan oleh setiap pemilik anjing dalam rumah tangga setiap tahunnya.
Di Berlin misalnya, setiap pemilik anjing peliharaan dibebankan pajak sebesar 120 euro per tahun atau sekitar Rp2 juta. Kebijakan pajak progresif juga diberlakukan apabila pemilik anjing memiliki tambahan anjing peliharaan. Beban pajak yang ditanggung oleh pemilik anjing akan meningkat menjadi 180 euro atau sekitar Rp3 juta per tahun untuk setiap tambahan anjing.
Berbeda halnya dengan wilayah Dusseldorf yang menetapkan kebijakan pajak yang lebih rendah dibandingkan Berlin. Setiap pemilik anjing peliharaan pada setiap rumah tangga akan dibebankan pajak sebesar 96 euro atau sekitar Rp1,6 juta per tahun. Sedangkan, untuk setiap tambahan anjing yang dimiliki akan dibebankan sebesar 150 euro atau sekitar Rp2,5 juta setiap tahunnya.
Pemerintah Jerman juga menetapkan regulasi tambahan seperti pembebanan pajak yang tinggi untuk setiap pemilik yang memiliki anjing petarung atau termasuk ke dalam kategori anjing berbahaya. Pembebanan pajak atas kepemilikan anjing tersebut bervariasi mulai dari 500 euro sampai dengan 800 euro atau sekitar Rp7 juta sampai dengan Rp13 juta dalam satu tahun tergantung pada kebijakan negara bagian setempat.
Penerapan pajak anjing yang bisa dikatakan sangat tinggi dan bervariasi ini memberikan dampak yang sangat positif pada realisasi penerimaan negara. Pemerintah Jerman mencatat realisasi penerimaan pajak anjing tahun 2020 tembus hingga 380,2 juta euro atau setara dengan Rp6,6 triliun. Setoran tersebut tumbuh sebesar 3% dibandingkan realisasi penerimaan pajak tahun 2019 senilai 370 juta euro. (Kantor Statistik Federal Jerman, 2021).
Implementasi Hundetaxe di Indonesia
Pengenaan pajak atas anjing peliharaan di Indonesia --tepatnya pada waktu itu masih bernama Hindia Belanda-- pada awalnya diterapkan pada era kolonial Belanda. Regulasi tersebut diatur dalam Staatsblad Nomor 283 tahun 1906 yang berisi perihal kewajiban pemilik untuk melaporkan jumlah anjing peliharaan, memberikan tanda pengenal anjing dan sanksi bagi pemilik anjing yang tidak memenuhi ketentuan tersebut.
Kebijakan atas penerapan pajak anjing terus bertahan hingga pasca kemerdekaan dengan ketentuan baru untuk melimpahkan kewenangan tersebut kepada pemerintah daerah setempat masing-masing. Kebijakan tersebut kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Darurat No. 11/1957 Pasal 14 huruf c. Pasal ini secara umum menjelaskan bahwa pajak anjing merupakan salah satu pajak yang dipungut oleh daerah tingkat II (kabupaten/kotamadya).
Beberapa daerah yang sempat menerapkan pajak atas anjing peliharaan pasca kemerdekaan adalah Yogyakarta, Surabaya, Purbalingga dan Surakarta. Daerah-daerah tersebut menerapkan pembebanan pajak yang berbeda-beda. Di Yogyakarta sendiri, pemilik anjing dibebankan pajak sebesar Rp5 setiap tahunnya, jauh lebih rendah disbanding daerah lainnya yang menetapkan pembebanan pajak mulai dari Rp25 hingga Rp150 per tahun.
Namun, pemberlakuan pajak anjing ini semakin lama kian mengalami penurunan. Hal ini disebabkan tidak ada lagi pengumuman atau maklumat dari pemerintah daerah setempat sehingga berdampak pada rendahnya kesadaran para pemilik anjing untuk melakukan pendataan administrasi terkait kepemilikan anjing dan membayar pajak anjing. Pajak anjing yang dulu sempat diberlakukan pun kini makin hilang dan hanya menyisakan imbauan terkait pendataan kepemilikan anjing saja.
Tentu saja bukan hal yang mudah bagi pemerintah apabila ingin menerapkan kembali pajak atas anjing peliharaan seperti yang diterapkan di negara-negara Eropa. Respons masyarakat merupakan salah satu tantangan terbesar bagi pemerintah untuk memberlakukan kembali kebijakan ini demi memeroleh peluang baru atas penerimaan negara. Perlu kajian mendalam dan penelitian lebih lanjut apabila ke depannya Indonesia hendak menerapkan kembali pajak atas anjing peliharaan yang pernah dicetuskan pada masa lalu. Bukan hal yang mustahil untuk menerapkan pajak tersebut demi mengontrol populasi anjing dan meminimalkan potensi penyebaran penyakit rabies sembari menggali potensi sebanyak-banyaknya untuk mengejar penerimaan negara. Namun demikian, pro-kontra serta aspirasi seluruh kalangan perlu dipertimbangkan secara matang.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 96 kali dilihat