Oleh: Rizqi Fitriana, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

"...Lewat radio aku sampaikan
Kerinduan yang lama terpendam
Terus mencari biar musim berganti
Radio, cerahkan hidupnya
Jika hingga nanti ku 'tak bisa menemukan hatinya
Menemukan hatinya
Menemukan hatinya lagi..."

Sepenggal lirik grup band tanah air Sheila on 7 telah mengingatkan kita bahwa pada tanggal 13 Februari diperingati sebagai Hari Radio Sedunia atau World Radio Day. Hari Radio Sedunia diinisiasi oleh negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bergerak di bidang pendidikan, pengetahuan, dan kebudayaan atau UNESCO. Hari radio Sedunia diproklamasikan oleh negara-negara anggota UNESCO pertama kali pada 2011. Selanjutnya, pada 14 Januari 2013, Majelis Umum PBB mengesahkan peringatan ini sebagai hari internasional.

Ya, radio merupakan salah satu media hiburan yang tidak pernah lekang oleh waktu. Masih melekat dalam ingatan, ketika duduk di bangku kelas 2 SMA hampir tiap hari saya dan teman-teman melakukan kebiasaan unik, yaitu meminta lagu favorit diputar dan titip salam lewat radio. Tahun 1980-1990, industri radio di Indonesia mengalami masa keemasan. Pada periode ini radio memiliki beragam program favorit yang sangat eksis di telinga pendengar. Hal ini diperkuat dengan data Outlook Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia 2020/2021, televisi dan radio mengalami pertumbuhan sebesar 10,42% pada 2020.

Radio masih eksis menjadi media yang dikonsumsi oleh masyarakat karena karakteristik uniknya mampu menjangkau khalayak seluas-luasnya dan merupakan media berbiaya rendah yang secara khusus tepat untuk menjangkau komunitas terpencil dan masyarakat rentan. Berkat bentuknya yang portabel, radio juga bisa dibawa ke mana saja. Di mobil, kamar tidur, bahkan di toilet pun kita bisa mendengarkan radio. Media ini juga memainkan peran penting dalam komunikasi darurat dan bantuan bencana. Peristiwa gempa bumi berkekuatan magnitudo 7,4 Skala Richter diikuti tsunami yang melanda pesisir Sulawesi Tengah pada tanggal 28 September 2018 menjadi bukti nyata bahwa akses informasi menjadi sangat penting. Informasi yang cepat dan akurat dapat membantu warga dalam mencari tempat yang aman untuk menyelamatkan diri dari bencana, tetapi bencana berskala besar tersebut merusak infrastruktur jaringan listrik, dan berdampak pada jaringan komunikasi dan sistem komunikasi nirkabel. Informasi pertama dari lokasi bencana dilaporkan oleh seorang anggota Organisasi Amatir Radio Indonesia (ORARI) melalui perangkat radio genggam atau HT.

Tahukah kalian jika berbicara masalah radio, terdapat sejarah panjang yang melekat pada media penyiaran ini. Selain eksistensinya sebagai media yang berperan menyampaikan informasi dan media hiburan, terdapat histori pengenaan pajak radio yang berlaku di Indonesia. Sejarah pengenaan pajak radio di Indonesia dapat ditelusuri kembali ke masa kolonial Belanda. Pada awal abad ke-20, pajak radio diperkenalkan sebagai salah satu sumber pendapatan untuk pemerintahan kolonial. Pada saat itu, radio masih merupakan teknologi baru dan mewah, sehingga penggunaan radio dikenai pajak sebagai bentuk kontribusi kepada pemerintah.

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, tradisi pengenaan pajak terus berlanjut. Pajak radio tetap ada sebagai salah satu sumber pendapatan bagi pemerintah. Pada era Orde Lama dan Orde Baru, pemerintah terus mengatur pajak radio sebagai bagian dari sistem perpajakan nasional. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi dan perubahan dalam pola konsumsi media, penggunaan radio mulai menurun, dan pajak radio menjadi kurang relevan. Seiring dengan itu, pemerintah mulai mempertimbangkan perubahan dalam kebijakan perpajakan terkait radio.

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1947 tentang Menetapkan Pajak Radio atas Semua Pesawat Penerimaan Radio (UU Pajak Radio), pajak radio adalah pajak yang dipungut pada pesawat penerimaan radio. Sementara yang dimaksud dengan pesawat penerimaan radio adalah segala alat yang dapat digunakan untuk menerima gelombang radio (Hertzche golven)  sebagaimana yang diuraikan pada Pasal 2 UU Pajak Radio.

Besarnya tarif pajak radio kala itu sebesar Rp5, sebagaimana diatur dalam Pasal 4. Pajak ini dikenakan pada pemegang pesawat penerimaan radio. Sesuai Pasal 7, pajak harus dibayar sebelum tanggal 15 hari bulan yang berjalan pada kantor pos dimana radio didaftarkan atau diminta pendaftaran telah dipindahkan. Pengenaan pajak radio saat itu dinilai tidak memberatkan wajib pajak karena pemegang pesawat radio dipandang sebagai orang dari kalangan ekonomi atas.

Seiring perkembangan waktu, jumlah pemegang pesawat radio meningkat, sehingga tarif pajak radio dinaikkan menjadi Rp7,5 per bulan sejak 1960. Selain faktor tersebut, penurunan nilai mata uang rupiah disebut-sebut sebagai alasan pemerintah menaikkan tarif pajak radio. Sehingga pemerintah mengambil langkah untuk melakukan perubahan ketentuan pajak radio melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1948  tentang Menambah dan Mengubah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1947 tentang Pajak Radio. Melalui ketentuan pajak radio tersebut, pemerintah memperluas jenis-jenis pesawat radio yang dibebaskan dari pengenaan pajak radio.

Dengan berkembangnya industri media, termasuk televisi, kabel, dan radio swasta, pemerintah mencoba menyesuaikan peraturan perpajakan dengan perkembangan teknologi dan tren konsumsi masyarakat yang terus berubah. Transformasi teknologi radio dari model yang besar dan berat ke radio transistor yang lebih kecil dan portabel adalah salah satu cermin dari evolusi teknologi komunikasi. Perkembangan ini memungkinkan orang untuk membawa radio ke mana-mana dengan lebih mudah, mengubah cara orang mengonsumsi konten audio dan informasi. Bahkan pernah ada masanya orang menenteng radio ke taman untuk sekedar duduk-duduk, menggelar tikar, dan mendengarkan radio.

Namun, fenomena tersebut sudah dianggap tidak relevan, karena radio bukan lagi barang mewah. Keberadaan radio telah tergeser seiring dengan proses digitalisasi. Digitalisasi media telah membawa sejumlah perubahan signifikan dalam cara orang mengonsumsi dan mendengarkan konten audio. Radio internet atau streaming audio menjadi semakin populer. Pendengar dapat mengakses stasiun radio dari seluruh dunia atau mendengarkan layanan streaming musik secara langsung melalui internet. Hal ini memberikan fleksibilitas yang lebih besar dalam pemilihan konten.

Walhasil, linimasa peraturan pajak radio berhenti pada tahun 1997. Pemerintah mencabut pengenaan pajak radio pada tahun tersebut. Pencabutan pengenaan pajak radio tersebut dilakukan seiring dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dan pada Mei 1998 melalui Instruksi Menteri Dalam Negeri kepada para kepala daerah, pajak radio juga resmi dicabut dari Pajak Daerah dan Retribusi daerah (PDRD).

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.