Hantu SP2DK dan Sang Dewa Penyelamat

Oleh: Dedi Kusnadi, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Bagaimana perasaan Anda ketika menerima SP2DK dari kantor pajak? Takut atau bingung harus berbuat apa? Bagai hantu, ia kadang menyeramkan. Terbayang kerepotan yang akan dihadapi ketika berhadapan dengan petugas pajak dan berharap datangnya Sang Dewa Penyelamat untuk menuntaskannya.
Sejatinya Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) adalah surat dari kantor pajak kepada wajib pajak untuk meminta penjelasan mengenai data atau keterangan yang berkaitan dengan kewajiban perpajakan.
Penerbitan SP2DK merupakan kelanjutan dari hasil pengolahan data yang diterima Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Sarana ini juga menjadi media untuk menggali potensi pajak. Sebagaimana dipahami bahwa DJP mengemban amanat yang sangat besar menghimpun dana untuk mengisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dikutip dari laman kemenkeu.go.id, porsi penerimaan perpajakan pada APBN 2020 sebesar 83,54 persen dari total penerimaan negara atau sekitar Rp1.865,7 triliun.
Sumber Data
Sejak terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 31 Tahun 2012 tentang pemberian dan penghimpunan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan, DJP telah menerima banyak data dari berbagai pihak.
PP tersebut memerintahkan instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP) memberikan data dan informasi kepada DJP, paling sedikit sekali dalam setahun. Data yang disampaikan terkait dengan kekayaan atau harta, utang, penghasilan, biaya, transaksi keuangan, dan kegiatan ekonomi, baik milik orang pribadi mau pun badan.
Beberapa pihak telah memberikan data sebagai tindaklanjut dari aturan tersebut. Sebut saja ada Bank Indonesia (BI) yang telah memberikan data informasi debitur di lembaga keuangan, PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengirim data pengguna daya di atas 6000 watt, dan Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Provinsi menyampaikan data kepemilikan kendaraan bermotor.
Selain dari sumber eksternal tadi, DJP juga memiliki sumber data internal, yaitu data dari laporan SPT Tahunan, alat keterangan, dan data hasil kunjungan kerja ke tempat usaha wajib pajak. Beberapa data muncul dari hasil pengembangan dan analisis atas informasi, data, laporan, serta pengaduan (IDLP).
Untuk memperkuat suplai data, pemerintah menerbitkan Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 2017 yang mengatur tentang akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan. UU ini berisi pengaturan tentang akses secara otomatis segala informasi keuangan di perbankan dan pasar modal.
UU ini terbit sebagai respon dari keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian internasional di bidang perpajakan. Perjanjian tersebut mengamanatkan bahwa pertukaran informasi keuangan secara otomatis dalam lingkup internasional (Automatic Exchange of Information - AEoI) harus segera diimplementasikan.
Dengan adanya UU ini maka semakin banyak data yang diterima oleh DJP. Data AEoI yang telah diterima antara lain berupa jumlah saldo rekening bank, baik di dalam mau pun di luar negeri, serta data penghasilan dari luar negeri lainnya seperti dividen, bunga, penjualan, dan data penghasilan sejenisnya.
Pada 2018, DJP telah menerima data saldo rekening di luar negeri senilai Rp2.742 triliun dan di dalam negeri Rp3.574 triliun. Sedangkan data penghasilan dari luar negeri yang telah diterima senilai Rp683 triliun.
Jumlah data saldo rekening yang telah terklarifikasi senilai Rp5.646 triliun milik 795.505 wajib pajak dan yang sedang dalam proses senilai Rp670 triliun milik 131.438 wajib pajak. Berikutnya data penghasilan dari luar negeri yang sudah terklarifikasi hanya Rp7 triliun dan sisanya Rp676 triliun milik 50.095 wajib pajak masih dalam proses klarifikasi.
Proses Penerbitan SP2DK
DJP menganalisis data-data yang diterima dan menyandingkannya dengan laporan SPT Tahunan. Hasilnya dikirim ke kantor pajak tempat wajib pajak terdaftar melalui sistem informasi yang terintegrasi.
Data tersebut diterima kantor pajak tujuan secara waktu nyata (real time) dan akan muncul secara otomatis di menu pengawasan kepala kantor, kepala seksi pengawasan, serta Account Representif (AR). Selanjutnya para AR inilah yang akan bergerak menindaklanjuti data tersebut dengan membuat SP2DK.
Konsep SP2DK yang dibuat AR terlebih dahulu diteliti oleh kepala seksi pengawasan, sebelum disetujui dan ditandatangani oleh kepala kantor.
Selanjutnya surat tersebut disampaikan ke wajib pajak melalui jasa pos, ekpedisi, kurir, atau faksimili. Namun, untuk data-data khusus atau sesuai pertimbangan kepala kantor surat dapat disampaikan secara langsung.
Wajib pajak harus memberikan tanggapan paling lama 14 hari setelah tanggal kirim surat atau setelah tanggal penyampaian surat secara langsung. Tanggapan dapat disampaikan secara langsung ke kantor pajak atau dapat melalui surat, dengan menyertakan dokumen pendukungnya.
Untuk wajib pajak yang tidak memberikan tanggapan, maka kantor pajak dapat memberikan perpanjangan jangka waktu, melakukan kunjungan (visit) ke tempat usaha wajib pajak, atau mengusulkan untuk dilakukan pemeriksaan.
Cara Menghadapi SP2DK
Wajib pajak diminta tidak cemas ketika menerima SP2DK karena surat ini sifatnya hanya permintaan penjelasan atas data dari pihak ketiga yang diterima oleh kantor pajak.
Beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain: Pertama, baca dan teliti isi surat dengan seksama. Surat yang resmi menggunakan kepala surat (kop) dari kantor pajak setempat dan ditandatangani oleh kepala kantor. Surat ini merinci jenis dan jumlah data yang perlu diklarifikasi, serta nomor telepon AR sebagai narahubung jika diperlukan.
Jika ragu terhadap keabsahan surat, wajib pajak dapat menghubungi nomor telepon kantor pajak setempat seperti yang tercantum pada kop surat atau dapat mencari informasi melalui media lainnya.
Kedua, cari pengetahuan terkait aspek perpajakan atas data yang akan diklarifikasi. Jika memiliki uang lebih, maka disarankan menggunakan konsultan pajak resmi yang terdaftar di kementerian keuangan.
Namun bagi wajib pajak yang kemampuannya terbatas, maka dianjurkan berkonsultasi ke tempat-tempat yang menyediakan fasilitas konsultasi gratis, seperti tax center yang ada di beberapa perguruan tinggi. Wajib pajak juga dapat berkonsultasi di Help Desk kantor pajak setempat, namun harus bersabar karena volume layanan yang terbatas dan jumlah antrian yang cukup panjang.
Ketiga, siapkan semua dokumen pendukung terkait data dimaksud. Ini akan mempermudah dan mempercepat proses konseling/wawancara. Jika data benar dan diakui oleh wajib pajak, maka AR akan membantu menghitung pajak yang terutang dan membimbing bagaimana cara melakukan pembayaran pajak dan pembetulan SPT Tahunan. Namun jika data keliru dan wajib pajak dapat membuktikannya, maka proses permintaan penjelasan dianggap selesai.
Program Pengungkapan Sukarela
Data yang disampaikan melalui SP2DK umumnya benar dan diakui oleh wajib pajak, namun jumlah pajak yang masih harus dibayar sangat besar. Ini terjadi karena pajak yang terutang dihitung dengan tarif maksimum 30 persen ditambah sanksi administrasi.
Sementara di sisi lain, kemampuan ekonomi wajib pajak sangat menurut akibat hantaman pandemi Covid-19, maka pemerintah memberikan solusi dengan meluncurkan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yang akan berlangsung mulai 1 Januari 2022 – 30 Juni 2022. Dalam program ini, tarifnya terbilang rendah hanya 12 persen dan tidak ada tambahan sanksi administrasi. Ketentuan ini termuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Keuntungan lainnya jika mengikuti program ini adalah tidak diterbitkan ketetapan pajak untuk kewajiban mulai 2016-2020 dan adanya perlindungan data. Perlindungan yang dimaksud menyatakan bahwa data harta yang diungkap tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan pidana terhadap wajib pajak.
Pemerintah telah memberikan pilihan cara penyelesaian kewajiban perpajakan, maka tinggal bagaimana wajib pajak memanfaatkannya. Dengan adanya informasi yang jelas, diharapkan SP2DK tidak lagi menjadi hantu yang menakutkan dan program PPS bisa menjadi Dewa Penyelamat saat dibutuhkan.
*)Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.
- 1101 kali dilihat