Penulis: Edmalia Rohmani, pegawai Direktorat Jenderal Pajak


Belakangan ini, jagat maya dihebohkan oleh seorang pemuda yang berhasil menjual swafotonya sebagai produk Non Fungible Token (NFT) di platform OpenSea dengan harga yang fantastis. Dikutip dari Republika.co.id (13/1), koleksi berjenama Ghozali Everyday tersebut telah terjual sebanyak 194 ETH (Ethereum) atau senilai USD560 ribu.

Sejak November 2021, konferensi tahunan NFT ketiga yang diselenggarakan di New York City menandai berkembangnya tren baru yang menguntungkan dunia blockchain. Teknologi NFT menetapkan kepemilikan aset digital sehingga para pemilik konten digital tersebut dapat menjual dan memperdagangkannya di dalam sistem blockchain.

Hasil dari penjualan NFT tersebut dapat ditransfer dari dompet kripto penjual ke alamat dompet kripto yang berada di cryptocurrency exchange (perusahaan broker yang memberikan akses dan fasilitas kepada investor untuk bertransaksi dan membeli mata uang kripto di pasar kripto). Dari proses inilah mata uang kripto tersebut dapat dikonversi ke mata uang rupiah dan ditarik oleh penjual aset digital untuk ditransfer ke rekening bank yang dimilikinya.

Selain Ghozali, tercatat beberapa artis dan seniman tanah air memanfaatkan NFT untuk menjual karyanya. Sebut saja Syahrini yang berhasil menjual 17.800 unit aset NFT dengan nilai 20 Binance USD (BUSD) atau sekitar Rp286 ribu per NFT. Bila angka tersebut dikalikan dengan jumlah NFT yang dijual, tentu dapat dihitung berapa penghasilan totalnya.


Aspek Perpajakan Hasil Penjualan NFT
Berdasarkan Penjelasan Pasal 4 Undang-Undang (UU) Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Cipta Kerja, Indonesia menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak tersebut.

Dalam memperhitungkan jumlah pajak yang harus dibayar, semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak.

Dengan demikian, dalam hal penjual NFT sudah memiliki NPWP, maka penghasilan dari penjualan tersebut harus dilaporkan dalam SPT Tahunan. Bila diketahui nilai penghasilannya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), maka selisih nilai tersebut akan dikalikan tarif untuk mengetahui jumlah pajak yang harus disetorkan ke negara.

Apabila penjual NFT tersebut belum memiliki NPWP, maka sesuai Penjelasan Pasal 2 Ayat (2) UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, dia wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP ketika telah memenuhi ketentuan subjektif yaitu menerima penghasilan di atas PTKP. Batasan PTKP untuk diri wajib pajak orang pribadi diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-101/PMK.010/2016 sebesar Rp54 juta setahun atau Rp4,5 juta sebulan.


Belum Ada Mekanisme Pemotongan
Hingga saat ini, belum ada mekanisme pemotongan PPh oleh pihak ketiga pada saat proses penarikan uang kripto di bursa kripto. Sehingga, atas penghasilan yang diterima dari penjualan NFT ini pemajakannya bersifat self assessment yaitu wajib pajak yang harus berinisiatif untuk mendaftarkan diri untuk ber-NPWP, menghitung pajak yang harus disetorkan, membayar pajak, dan melaporkan pajak tersebut secara mandiri.

Di titik inilah rawan terjadi ketidakpatuhan wajib pajak, biasanya disebabkan karena kurangnya pemahaman yang benar terkait kapan harus mendaftar, bagaimana cara mendaftar, dan bagaimana cara menghitung pajaknya. Selain pengetahuan perpajakan, kesadaran pajak juga memengaruhi. Kesadaran pajak tidak bisa dengan serta merta terbentuk di dalam diri seseorang sebab dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan.

Apabila kesadaran pajak dan pemahaman perpajakan masih rendah, maka potensi penerimaan pajak tidak akan dapat tergali dengan optimal. Hal ini disebabkan jumlah wajib pajak dan calon wajib pajak yang perlu diawasi otoritas pajak jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah petugas pajak yang mengawasi. Oleh karena itu, dibutuhkan aturan yang memudahkan negara untuk memungut pajak dari subjek pajak dalam negeri yang mendapatkan penghasilan dari NFT (dan aset kripto lainnya).

Terkait hal ini, Pasal 32A Ayat (1) dan (2) UU HPP menyebutkan bahwa “(1) Menteri Keuangan menunjuk pihak lain untuk melakukan pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.  (2) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pihak yang terlibat langsung atau memfasilitasi transaksi antarpihak yang bertransaksi.”

Ke depannya, pemerintah dapat menunjuk pihak tertentu untuk melakukan pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak terkait transaksi tersebut. Namun, opsi ini memerlukan kajian mendalam terutama di proses mana dapat dilakukan pemotongan atau pemungutan pajak serta mempertimbangkan praktik perpajakan transaksi NFT secara global.

Alternatif lainnya, pemerintah dapat memberlakukan skema perpajakan yang lebih sederhana bagi penjual NFT seperti PPh Final UMKM sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018. Menurut penulis, wajib pajak dapat menggunakan skema PPh Final UMKM dengan tarif 0,5% selama memenuhi ketentuan seperti: omzet penjualan NFT tidak melebihi Rp4,8 miliar setahun; berada dalam jangka waktu tertentu (tujuh tahun bagi wajib pajak orang pribadi); dan bukan merupakan penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas seperti pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang iklan, penari, dan sebagainya. Alternatif ini memang masih memerlukan kajian lebih lanjut terutama pada isu optimalisasi potensi perpajakan dibandingkan bila menggunakan skema PPh menurut UU PPh.

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.