Oleh: Teddy Ferdian, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Indonesia baru saja dinyatakan resmi bergabung menjadi anggota organisasi blok ekonomi Brazil, Russia, India, China, and South Africa (BRICS) sejak 6 Januari 2025. Organisasi yang namanya merupakan singkatan dari nama-nama negara pendirinya menerima Indonesia menjadi negara kesepuluh sebagai anggota.

Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan boleh dikatakan sebagai pendiri organisasi. Empat negara yang disebutkan di awal merupakan negara pelopor yang menggagas wadah ini pada tahun 2006, sampai akhirnya resmi berdiri pada 16 Juni 2009. Afrika Selatan kemudian bergabung menjadi anggota pada tahun 2010.

Bergabungnya Indonesia menggenapkan jumlah anggota BRICS menjadi sepuluh menyusul empat negara lain yang lebih dahulu bergabung pada tahun 2024, yaitu Iran, Mesir, Ethiopia, dan Uni Emirat Arab. Selain anggota, BRICS juga memiliki delapan negara mitra, yaitu Belarusia, Bolivia, Kuba, Kazakhstan, Malaysia, Thailand, Uganda dan Uzbekistan.

BRICS merupakan organisasi ekonomi besar yang menggabungkan negara-negara berkembang dengan potensi ekonomi yang cukup menjanjikan. Perlahan, BRICS malah berangsur menjelma sebagai kekuatan geopolitik dunia yang bahkan bisa menjadi pesaing Group of Seven (G7) yang dihuni negara-negara maju.

Sebelum resmi bergabung menjadi anggota BRICS, rencana Indonesia untuk bergabung sudah menuai pro dan kontra. Pihak yang mendukung mengemukakan keuntungan dan manfaat bagi Indonesia jika bergabung dengan BRICS. Peluang ekonomi dan investasi serta potensi kemitraan dengan negara berkembang dunia yang semakin luas menjadi alasannya.

Namun, ada juga yang menyayangkan rencana ini. Bergabungnya Indonesia dengan BRICS dianggap mengkhianati prinsip politik luar negeri Indonesia yang tidak bergabung dengan salah satu blok di dunia (nonblok). Alasan lain adalah bahwa dominasi Rusia dan Tiongkok dalam organisasi ini akan membuat Indonesia terjebak dalam pengaruh dan ada di bawah dominasi dua negara tersebut.

“Bergabung dengan BRICS akan membahayakan hubungan Indonesia dengan pihak barat, Jepang, dan Korea Selatan karena mereka akan menganggap kita sudah berpihak,” salah satu cuitan di media sosial yang mengemukakan hal ini.

Manfaat bagi Perpajakan Indonesia

Ketika memutuskan bergabung, pemerintah pastinya sudah melakukan analisis mendalam tentang manfaat yang akan diperoleh, termasuk potensi kerugian yang mungkin dialami Indonesia. Bukan hal yang mudah pastinya. Buktinya, penjajakan dilakukan sudah cukup lama.

Pada bulan Agustus 2023, Indonesia diundang untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS di Johannesburg, Afrika Selatan. Saat itu, posisi Indonesia hanya sebagai undangan dan belum memutuskan untuk bergabung. Indonesia kembali memenuhi undangan dalam KTT BRICS di Kazan, Rusia pada tanggal 23 24 Oktober 2024. Dalam KTT ini, Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Sugiono menyampaikan secara resmi keinginan Indonesia untuk bergabung dalam BRICS.

Salah satu manfaat yang diperoleh Indonesia sebagai anggota BRICS adalah dalam hal perpajakan. Bergabung dengan BRICS dapat  menjanjikan kerja sama multilateral yang intens antaranggota dan juga negara mitra. Kesempatan untuk terlibat secara lebih aktif dalam pasar perdagangan internasional serta peluang investasi menjadi semakin terbuka lebar bagi Indonesia.

Mengutip data dari Institusi Federal Amerika Serikat (AS), negara-negara yang tergabung dalam BRICS (sebelum Indonesia bergabung) mewakili sekitar 45 persen populasi dunia, 28 persen output perekonomian dunia, dan 47 persen minyak mentah global. Bergabungnya Indonesia bahkan semakin meningkatkan angka-angka tersebut. Lebih jauh lagi, sepuluh anggota BRICS dan delapan negara mitra dapat dikatakan mewakili 41 persen Produk Domestik Bruto (PDB) global (diukur dari paritas daya beli).

Potensi peningkatan ekonomi yang akan terjadi jika Indonesia bergabung dengan BRICS tentu saja memberikan angin segar bagi aspek perpajakan di Indonesia. Pajak masih menjadi tumpuan harapan negara sebagai sumber penerimaan utama bagi negara. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2025, penerimaan perpajakan direncanakan sebesar Rp2.490,9 triliun dari total rencana pendapatan negara sebesar Rp3.005,1 triliun. Artinya, 82,89 persen pendapatan negara dalam APBN tahun 2025 bersumber dari penerimaan pajak.

Dalam hal ini, program-program pemerintah untuk melaksanakan delapan misi Asta Cita sudah dicanangkan yang artinya kebutuhan pembiayaan juga sudah diperlukan. Dalam pidatonya tanggal 16 Januari 2025 di Musyawarah Nasional (Munas) Konsolidasi Persatuan Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Presiden Prabowo membantah bahwa dirinya akan menghentikan pembangunan infrastruktur.

Artinya, kebutuhan pembangunan infrastruktur di Indonesia masih ada. Walaupun dikatakan bahwa sebagian besar pembangunan akan dilakukan swasta, keterlibatan pemerintah tentu masih diperlukan, dan pembiayaan untuk itu kemungkinan juga masih tetap ada. Kinerja otoritas perpajakan pun semakin diharapkan sebagai garda terdepan dalam menyukseskan program-program yang telah dicanangkan oleh pemerintah.

Oleh karena itu, harapan meningkatnya perekonomian negara dengan bergabungnya Indonesia sebagai anggota BRICS menjadi kabar baik yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh otoritas perpajakan. Dalam kondisi normal, peningkatan ekonomi tentunya berdampak pada meningkatnya penerimaan negara dari sektor perpajakan.

Optimalisasi Kerja Sama Multilateral Perpajakan

Sektor perpajakan sangat mungkin menjadi salah satu sektor yang mendapat perhatian dalam kerja sama multilateral yang semakin luas dibangun oleh Indonesia. Hal ini menjadi keuntungan bagi Indonesia karena Indonesia merupakan negara besar dengan jumlah penduduk yang banyak. Semakin meluasnya peluang ekonomi dan investasi sangat memungkinkan pelaku ekonomi di Indonesia melebarkan sayap ke luar negeri. Ini yang menjadi potensi bagi Indonesia, khususnya ketika kerja sama dengan negara lain sudah dilakukan.

Pertukaran data untuk keperluan perpajakan sudah dilakukan oleh Indonesia melalui kerja sama dengan negara lain melalui Automatic Exchange of Information (AEoI). Kerja sama ini harus dipertahankan dan dapat terus ditingkatkan. Dulu, pernah ada peluang untuk di kemudian hari bagi kegiatan penegakan hukum perpajakan, misalnya penagihan pajak, untuk dapat dilakukan terhadap aset wajib pajak di negara lain melalui kerja sama multilateral. Hal ini akan sangat berdampak positif bagi kinerja perpajakan di Indonesia dan tentunya hal ini bukan hal yang mustahil untuk diwujudkan.

Akhirnya, bergabungnya Indonesia sebagai anggota BRICS perlu disikapi dengan bijak. Pasti ada sisi positif yang bisa diperoleh oleh Indonesia. Yang perlu dilakukan sekarang adalah memastikan manfaat bagi Indonesia agar benar-benar dapat terealisasi dan berupaya seoptimal mungkin untuk menekan dampak negatif yang mungkin dapat terjadi. Dukungan semua pihak sangat diperlukan untuk mewujudkan Indonesia yang semakin baik dan masyarakat yang semakin sejahtera.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.