Oleh: Linda Ayu Wulandari, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Pernahkah terpikirkan di benak Anda, berapa kali Anda mengeluarkan uang untuk membeli makanan, pakaian, atau barang-barang lain setiap harinya? Tentu sudah tidak dapat dihitung kembali jumlahnya. Indonesia terkenal sebagai salah satu negara dengan tingkat konsumsi paling tinggi di dunia, julukan tersebut sudah tidak dapat diragukan lagi kebenarannya.

Salah satu bukti bahwa negara Indonesia memiliki tingkat konsumsi yang tinggi adalah saat Indonesia mengalami krisis ekonomi pada 1998, Indonesia seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Bahkan saat Indonesia menginjak tahun 2000, tingkat konsumsi tersebut sama sekali tidak berkurang, justru meningkat semakin tinggi.

Tingkat konsumtif masyarakat Indonesia inilah yang menjadi alasan bagi sebagian masyarakat untuk membuka lapak usaha, baik itu dari berjualan makanan, minuman, pakaian, aksesoris, barang-barang, dan masih banyak yang lainnya. Dengan semakin banyaknya masyarakat Indonesia yang membuka lapak usaha, maka tidak heran apabila untuk mencari sesuatu hal yang kita perlukan menjadi sangat mudah.

Sebagai contoh apabila di pagi hari kita merasa lapar, maka tidak perlu kita repot-repot memasak karena sudah dapat dipastikan di tepi-tepi jalan banyak sekali masyarakat yang berjualan makanan, belum lagi apabila mereka menjajakan dagangan mereka tersebut lewat jejaring media sosial. Mereka akan semakin mudah memasarkan dagangannya.

Dengan kemudahan-kemudahan di masa sekarang inilah yang mendorong masyarakat untuk membuka usaha mereka sendiri. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah atau yang biasa kita singkat dengan istilah UMKM ini mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia.

Usaha mandiri yang dijalankan oleh masyarakat ini meskipun hanya usaha kecil, tetapi memiliki pengaruh yang sangat besar pada perputaran roda perekonomian negara. Dari seluruh kegiatan bisnis yang berjalan dari Sabang hingga Merauke, UMKM menduduki peringkat paling tinggi yaitu sebesar 99%. Selain itu penyumbang Produk Domestik Bruto paling tinggi di Indonesia adalah usaha kecil dengan kisaran sebesar 93,4 persen, setelah itu di posisi kedua adalah usaha menengah dengan sumbangan sebesar 5,1 persen, dan yang terakhir adalah usaha besar sejumlah satu persen.

Peningkatan jumlah UMKM dari tahun ke tahun tidak bisa dipungkiri lagi. Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan Pusat Statistik, dan United Nation Population Fund, jumlah pelaku UMKM di Indonesia pada 2018 sekitar 58,97 juta jiwa. Sedangkan jumlah keseluruhan penduduk Indonesia pada 2018 mencapai sekitar 265 juta jiwa. Bisa dibayangkan bahwa UMKM memiliki peranan yang sangat signifikan di perputaran roda ekonomi bangsa.

Hal tersebut jugalah yang mendasari diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013. PP ini sendiri memiliki tujuan di saat penerbitannya antara lain untuk memberikan kemudahan dan penyederhanaan aturan perpajakan, mengedukasi masyarakat untuk tertib administrasi, mengedukasi masyarakat untuk transparansi, memberikan kesempatan masyarakat untuk berkontribusi dalam penyelenggaraan negara, kemudahan bagi masyarakat dalam melaksanakan kewajiban perpajakan, meningkatnya pengetahuan tentang manfaat perpajakan bagi masyarakat, dan terciptanya kondisi kontrol sosial dalam memenuhi kewajiban perpajakan.

Beleid ini mengenakan pajak pada penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak dengan peredaran bruto (omzet) yang tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam satu tahun pajak. Namun pada 1 Juli 2018, pemerintah mengeluarkan PP Nomor 23 Tahun 2018 mengenai tarif baru Pajak Penghasilan Final UMKM sebagai pengganti PP Nomor 46 Tahun 2013.

Tarif PPh Final yang awalnya dikenakan sejumlah 1% dipangkas menjadi hanya 0,5% dengan ketentuan sebagai berikut.

Wajib Pajak Orang Pribadi bisa menikmati tarif PPh Final 0,5% dalam jangka waktu 7 tahun, sedangkan untuk Wajib Pajak Badan seperti Koperasi, Persekutuan Komanditer (CV), dan Firma hanya bisa menikmati tarif PPh Final 0,5% dalam jangka waktu 4 tahun, kemudian untuk wajib pajak Perseroan Terbatas hanya bisa menikmati tarif PPh Final 0,5% dalam jangka waktu 3 tahun.

Penggantian PP Nomor 46 Tahun 2013 dengan PP Nomor 23 Tahun 2018 bukannya tanpa alasan. Utamanya membawa banyak sekali keuntungan bagi para pelaku usaha.  Pertama, pemerintah ingin membuat stigma pajak hanya sebagai momok dan beban bagi kehidupan masyarakat menjadi hilang.

Kedua, pemerintah ingin membantu bisnis UMKM terus berkembang dan dapat menjaga aliran keuangannya (cash flow) untuk digunakan sebagai tambahan modal usaha karena dengan tarifnya yang turun maka kelebihan dari pembayaran pajak dapat digunakan sebagai tambahan modal.

Ketiga, dengan tarif yang telah turun tersebut para pelaku bisnis dapat lebih tertib dalam membayarkan pajaknya. Para pelaku usaha UMKM dapat membayarkan pajaknya dengan sangat mudah dan sederhana, yaitu tinggal mengalikan peredaran bruto usaha mereka dalam sebulan dengan tarif PPh Final UMKM sebesar 0,5%. Tarif tersebut berlaku bagi seluruh pemilik usaha UMKM baik itu daring (online) maupun luring (offline).

Keempat, ketentuan ini akan memunculkan lebih banyak lagi para pelaku bisnis UMKM lain yang ikut terjun ke dalam dunia bisnis. [law][rz]

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.