Oleh: Mukhamad Wisnu Nagoro, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Manusia sebagai makhluk sosial mengenal berbagai kegiatan ekonomi sebagai bentuk dari interaksi langsung antarindividu. Kegiatan jual beli dan praktik ekonomi lain lazim dilakukan dalam masyarakat untuk mendapatkan kebutuhan satu sama lain. Berbagai efek lanjutan dari fenomena ini pun bermunculan. Mulai dari efek yang bernilai positif hingga efek yang distortif dan cenderung merugikan. Salah satunya shadow economy.

Apa itu shadow economy? Menurut IMF (2018) dalam working paper yang mereka terbitkan, shadow economy adalah dalam semua kegiatan ekonomi yang disembunyikan dari otoritas resmi karena alasan moneter (monetary reasons), pengaturan (regulatory reasons), dan kelembagaan (institutional reasons). Dari pengertian itu, dapat kita ringkas bahwa shadow economy adalah fenomena kegiatan perekonomian yang sengaja disembunyikan oleh para pelakunya dengan berbagai motif, namun yang utama adalah untuk menghindari regulasi pemerintah.

Lantas apa tujuan menghindari regulasi pemerintah? Bermacam-macam tujuannya, yang paling umum adalah untuk menghindari regulasi pemerintah yang dianggap merugikan para pelakunya seperti regulasi pajak dan kebijakan fiskal lain. Ada juga yang melakukan praktik ekonomi ilegal sehingga tidak terdeteksi oleh pemerintah karena memang transaksinya cenderung “haram” seperti perdagangan narkotika, barang terlarang, satwa dilindungi hingga penyelundupan yang dilarang oleh undang-undang.

Shadow economy sendiri terbagi atas empat jenis aktivitas menurut Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yaitu aktivitas produksi bawah tanah, produksi ilegal, produksi sektor informal, dan produksi rumah tangga. Menariknya, menurut OECD pula, pengaruh shadow economy menjadi salah satu faktor yang berdampak terhadap perekonomian suatu negara. Sehingga, shadow economy menjadi salah satu momok yang membayang-bayangi perekonomian suatu negara saat ini.

 

Shadow Economy dan Pajak

Di Indonesia sendiri, tax ratio  yang masih rendah salah satunya dipengaruhi oleh perilaku shadow economy. Menurut OECD, ada 57% porsi tenaga kerja di Indonesia terdapat di sektor informal. Artinya, sektor ini cenderung tidak dapat dilihat oleh regulasi pemerintah secara langsung dan tidak tersentuh.

Sektor informal sendiri banyak macamnya dan memang otoritas pajak acap kali tidak dapat menjangkau sektor ini karena peraturan sulit diterapkan kepada mereka. Ini membuat banyak potensi penerimaan pajak lepas begitu saja. Padahal jika diproyeksikan, memungkinkan untuk menambah penerimaan negara secara signifikan.

Para pelaku shadow economy layaknya ikan-ikan kecil yang dijaring menggunakan jaring berlubang besar. Banyak diantara mereka mencatatkan penghasilannya di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Alhasil, mereka tidak wajib mendaftarkan diri sebagai wajib pajak serta memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan tidak dapat dikenai pajak sesuai dengan peraturan yang ada.

Sebagai gambaran, mari kita bicara tentang UMKM yang merepresentasikan sektor rumah tangga. Jumlah UMKM berdasarkan data Kementerian Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah per tahun 2022 terdapat 8,71 juta UMKM. Data ini tidak bisa ditelan mentah-mentah begitu saja bahwa benar-benar penghasilan yang didapat dari 8,71 pelaku usaha ini masuk dalam kategori usaha mikro maupun usaha kecil.

UMKM sendiri termasuk ke dalam salah satu jenis pelaku usaha yang rawan terjadi praktik shadow economy. Asumsikan saja ada satu juta UMKM yang secara regulasi belum tersentuh aturan PPh Final UMKM karena belum mendaftarkan diri sebagai wajib pajak. Dari satu juta UMKM tersebut asumsikan juga penghasilan per tahun mereka adalah Rp600 juta. Lalu dengan batasan tidak kena pajak sesuai PP 23 Tahun 2018, Rp100 juta penghasilan mereka akan dikenai tarif PPh Final UMKM setengah persen.

Kira-kira Rp500 ribu pajak penghasilan yang dibayarkan oleh satu pelaku UMKM. Bagaimana dengan 1 juta UMKM? Ada Rp 500 milyar pendapatan pajak yang berpotensi hilang akibat dari shadow economy yang terjadi. Hanya karena aturan belum dapat menjangkau para pelakunya dengan regulasi yang ada. Dan ini baru dari UMKM yang notabene mencerminkan sector rumah tangga atau informal. Bagaimana dengan sector lain?

Apalagi selama ini kewajiban mendaftarkan diri sebagai wajib pajak dan memiliki NPWP adalah kewajiban sukarela. Semakin sulit menjangkau dan mengidentifikasi kebenaran nilai transaksi yang dilakukan para pelaku ekonomi bawah tanah ini. Dan parahnya, semakin lama dibiarkan, akan semakin besar potensi yang hilang dari pajak yang seharusnya dibayarkan oleh mereka.

Menanggapi hal ini, pemerintah tidak tinggal diam begitu saja. Beberapa langkah yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan cara mengubah beberapa regulasi. Antara lain menerapkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai identitas pemajakan menggantikan NPWP per 1 Januari 2024. Dengan berlakunya aturan ini, diharapkan dapat mengatasi jaring yang terlalu lebar. Paling tidak, sektor informal yang belum tersentuh oleh regulasi dapat terlihat terlebih dahulu untuk kemudian diambil kebijakan yang paling tepat nantinya untuk mereka.

Kemudian, untuk pelaku ekonomi sektor rumah tangga dalam hal ini UMKM, pemerintah mengatur bahwa sektor ekonomi dengan omzet di bawah Rp500 juta tidak dikenai pajak penghasilan. Paling tidak aturan ini dapat mengurangi celah tax ratio yang ada. Sehingga penerapan peraturan perpajakan yang ada dapat dioptimalkan kembali. Selain itu, beleid ini juga dapat mendorong para pelaku sektor ekonomi rumah tangga untuk naik kelas ke jenjang berikutnya. Ketika mereka naik kelas, aturan pemajakan atas usaha mereka akan lebih jelas dan lebih adil. Demikian diharapkan dapat mengurangi praktik-praktik shadow economy.

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.