oleh: Direktorat P2Humas, Direktorat Jenderal Pajak

Peradaban dunia kian mengalami perubahan. Interaksi antarmasyarakat dunia semakin mudah dengan pesatnya perkembangan teknologi. Keadaan ini memunculkan tatanan baru yang disebut Thomas L. Friedman sebagai dunia tanpa tapal batas (borderless world) dalam bukunya The World Is Flat.

Kondisi yang disebut globalisasi ini semakin membuat jarak antarnegara kian lama kian dekat. Meski dengan munculnya Covid-19 yang belakangan dikatakan berpotensi menyebabkan deglobalisasi, namun tak dapat dimungkiri arus digitalisasi membuat interaksi antarmasyarakat dunia dalam berbagai bidang masih relatif tinggi, termasuk di sektor perdagangan. Perdagangan antarnegara ini mendatangkan isu baru mengenai ”siapa yang berhak memajaki”.

Untuk menjawab isu pemajakan atas transaksi lintas negara, umumnya dilakukan perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) atau tax treaty secara bilateral. Perumusan perjanjian antarkedua negara ini pada dasarnya bersumber dari suatu model yang telah disepakati oleh negara-negara di dunia. Sehingga bisa dikatakan, P3B merupakan hasil negosiasi dari negara-negara yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan mengenai pemajakan berganda.

Pada pertengahan Agustus lalu, Direktorat Jenderal Pajak, sebagai otoritas pajak di Indonesia mengesahkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 16/PJ/2020 tentang Penanganan Permintaan Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dan Penyelesaian Tindak Lanjut Persetujuan Bersama.

Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) ini disusun untuk memastikan bahwa Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure/MAP) di Indonesia dapat dilaksanakan secara efektif guna mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda dan pengelakan pajak atas transaksi antarnegara. Lebih lanjut lagi, beleid ini juga dimaksudkan untuk memastikan bahwa ketentuan domestik Indonesia telah sepenuhnya mengadopsi standar minimum dalam rencana aksi OECD/G20 BEPS nomor 14.

Ada beberapa hal yang diatur dalam Perdirjen ini yang merupakan aturan pelaksanaan dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama.

Pertama, wajib pajak diberikan hak untuk mengajukan usulan permintaan pelaksanaan MAP apabila menurut wajib pajak terjadi perlakuan perpajakan oleh Direktur Jenderal Pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan P3B. Hal tersebut sejalan dengan komitmen Indonesia untuk memberikan akses pengajuan MAP yang lebih luas kepada Wajib Pajak sesuai ketentuan dalam Pasal 25 ayat (1) Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Indonesia dengan negara mitra.

Kedua, Direktur Jenderal Pajak dan Pejabat Berwenang Mitra P3B dapat menyepakati pembaruan permintaan pelaksanaan MAP dan dilanjutkannya perundingan MAP dalam hal proses perundingan telah menunjukkan kemajuan yang signifikan. Hal tersebut merupakan bukti keseriusan Direktorat Jenderal Pajak untuk bersungguh-sungguh dalam mengupayakan tercapainya kesepakatan atas sengketa perpajakan internasional sesuai ketentuan dalam Pasal 25 ayat (2) P3B.

Ketiga, Direktur Jenderal Pajak membentuk Komite Pembahas MAP dalam rangka meningkatkan tata kelola (good governance) penanganan sengketa perpajakan internasional yang lebih berkualitas di Indonesia.

Dengan diterbitkannya Peraturan Direktur Jenderal ini, upaya penanganan sengketa perpajakan internasional diharapkan dapat dilaksanakan secara lebih efektif dan mampu mendorong terciptanya kepastian hukum yang lebih baik bagi dunia usaha di Indonesia.